Berita Tabanan

PN Tabanan Eksekusi Tanah Ayahan Banjar Adat Dajan Tenten, Desa Adat Akan Bawa ke Ranah Pidana

Pengadilan Negeri (PN) Tabanan melakukan proses eksekusi di tanah ayahan Banjar Adat Tenten, Desa Adat Banjar Anyar Kecamatan Kediri, Tabanan, Bali.

Penulis: I Made Ardhiangga Ismayana | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Tribun Bali/I Made Ardhiangga Ismayana
Eksekusi Tanah Ayahan di Banjar Adat Tenten, Desa Adat Banjar Anyar Kecamatan Kediri, Tabanan, Bali, Rabu 8 Maret 2023. 

Kemudian, dilakukan upaya hukum hingga tingkat banding di Pengadilan Tinggi Denpasar.

Namun, putusannya tetap sama atau menguatkan putusan di PN Tabanan.

“Karena tidak ada upaya kasasi dan waktu sudah habis. Sehingga putusan gugatan dari termohon menjadi inkrah, sehingga eksekusi tetap dilakukan,” paparnya, Rabu 8 Maret 2023.

Terpisah, Bendesa Adat Banjar Anyar Kediri Tabanan, I Made Raka menegaskan, bahwa desa adat sejatinya masih belum menerima keputusan ini.

Baca juga: 3 Kapolres di Bali Dimutasi, AKBP Leo Dedy Defretes Jadi Kapolres Tabanan

Sayangnya, berbagai upaya mulai dari PN Tabanan sampai tingkat PT Denpasar tidak membuahkan hasil alias putusan NO atau putusan yang menyatakan bahwa gugatan termohon tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil. 

“Upaya hukum sudah kami lakukan dan hasilnya NO atau kalah,” tegasnya.

Namun sambungnya, pihaknya tidak akan berhenti sampai di sini.

Pihaknya akan membawa kasus ini ke ranah pidana pemalsuan, sebab proses pensertifikatan lahan atau karang ayahan desa menjadi milik pribadi dan dijaminkan, ada perjanjian palsu atau bodong.

Sehingga ke depan, tidak terjadi lagi hal serupa seperti saat ini.

“Kami tidak akan berhenti. Kami menyayangkan kenapa begitu mudahnya karang ayahan desa disertifikatkan jadi milik pribadi,” bebernya.


Untuk diketahui, bahwa gugatan ini muncul ketika ada tanah ayahan desa seluas 469 meter persegi yang disertifikatkan menjadi tanah milik pribadi.

Di tanah adat tersebut, berdiri bangunan rumah yang selama ini ditempati Ni Nengah Sulatri semasa hidupnya.

Mendiang Nengah Sulastri ini punya dua anak laki-laki, satu nyentana dan satunya lagi meninggal dunia.

Sehingga itu dianggap putus atau putung.

Dengan sertifikat hak milik yang sebenarnya diduga bermasalah, ada oknum yang menyarankan membuat ahli waris bohongan.

Setelah Sulastri meninggal, tidak ada lagi yang menempati lahan dan bangunan tersebut. Seharusnya tanah tersebut dikembalikan kepada desa adat.   

Namun belakangan diketahui, tanah tersebut justru dijadikan agunan pinjaman kredit di salah satu bank di Denpasar dan akan dieksekusi. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved