Berita Bali
Stop Perkawinan Anak! LSM Bali Sruti Kampanyekan Raih Ijazah Sebelum Akta Nikah!
Sejumlah persoalan yang dialami anak-anak, baik pernikahan di bawah umur, pelecehan seksual, hingga kekerasan anak memberi dampak psikologis
Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Anak Agung Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Sambut Hari Anak Nasional 23 Juli 2023, Institut Kapal Perempuan, LSM Bali Sruti dan stakeholder lainnya adakan kampanye bersama mencegah dan menyetop perkawinan anak. Kampanye bertema ‘Raih Ijazah Sebelum Akta Nikah’.
Ketua LSM Bali Sruti, Luh Riniti Rahayu, menjelaskan pengaruh ekonomi dan lingkungan tidak dipungkiri membawa pengaruh terhadap kontrol orang tua di dalam mengawasi anak-anaknya.
Sejumlah persoalan yang dialami anak-anak, baik pernikahan di bawah umur, pelecehan seksual, hingga kekerasan anak memberi dampak psikologis, dan dampak buruk terhadap masa depan anak.
Kondisi anak-anak tentunya harus diperhatikan setiap hari, meski tidak 24 jam mengawasi anak, tentunya langkah nyata untuk saling mendukung masa depan anak.
Apabila anak sampai menikah dini, tentu hak-haknya sudah hilang untuk bermain dan mencapai cita-citanya.
Baca juga: Minat Terhadap Investasi Emas Meningkat, Pembiayaan Cicil Emas BSI di Bali Tumbuh 280 Persen
Baca juga: Hadirkan 33 Musisi Nasional dan Lokal Bali, 10 Ribu Tiket TGIF 2023 Ludes Terjual

“Orang tua bertanggung jawab di rumah, tetapi juga tidak bisa 24 jam. Di luar atau di sekolah juga akan diawasi guru, di lingkungan bermain anak-anak juga diawasi kawan-kawannya.
Semua unsur masyarakat harus peduli dan ikut berkontribusi, untuk perlindungan anak serta mencegah kasus perkawinan anak,” jelas, Riniti pada, Jumat 14 Juli 2023.
Meski dianggap tidak ada data riil atas perkawinan anak, tetapi di Bali masih ada dan perkawinan anak dimaksud tidak didaftarkan dan diungkap.
Di catatan sipil kita tidak akan pernah melihat perkawinan anak, yang ada hanya dispensasi, itu pun hanya beberapa saja.
Yang melakukan perkawinan anak secara adat, itu banyak sekali karena mereka akan didaftarkan ke catatan sipil bilamana usianya sudah mencapai dewasa," tambahnya.
Akibatnya, anak yang dilahirkan dari anak ini, akan memiliki akta atas nama ibu, dan hak atas nama ayah akan hilang.
Akhirnya anak yang dilahirkan oleh anak akan mengalami masalah yang besar. Rata-rata karena kehamilan yang tidak diinginkan, dan itu dinikahkan karena dianggap akan menghilangkan aib, padahal akan menimbulkan depresi baru.

Ketua Institut Kapal Perempuan, Misiyah, mengatakan seluruh pihak kini bertanggung jawab dan bersuara untuk menghapus kekerasan anak dan perempuan, termasuk perkawinan anak di bawah umur.
Hal penting lainnya adalah pencegahan dari dalam keluarga, komunitas terkecil di desa, hingga nasional.
“Perkawinan anak merupakan perkawinan di bawah usia 18 Tahun, di mana telah diatur UU Perkawinan usia 19 Tahun. Jadi sebelum usia 19 tahun menikah, artinya melanggar perkawinan anak.
Kalau penegakan hukumnya sudah ada, apalagi ini diatur dalam UU Perkawinan yang direvisi pada tahun 2019, yaitu UU Nomor 16. Perkawinan anak ini juga merupakan salah satu tindak pidana atas kekerasan seksual terhadap anak UU TPKS,” tegasnya.
Tantangan mengenai perkawinan anak juga disinggung Misiyah, atas adanya dispensasi dari Mahkamah Agung (MA).
Selain itu, adanya pandangan orang tua apabila si anak tidak lekas menikah, dikhawatirkan akan menjadi perawan tua (faktor budaya), termasuk pandangan kalau anak sudah menikah berarti sudah ada penanggung jawabnya padahal belum tentu demikian adanya.
“Ada laporan, seperti kepala desanya dilaporkan karena dia yang mengeluarkan surat (Perkawinan Anak), lalu tantangan terbesar adalah Hakim yang memutuskan dispensasi. Diketahui sudah diatur Mahkamah Agung (MA) bahwa untuk memberikan dispensasi, dinyatakan hamil harus hasil USG tidak boleh hanya sekadar bicara, lalu dispensasi dan dibiarkan boleh menikah,” tegasnya.
Sementara itu, Kadis Sosial Kota Denpasar I Gusti Ayu Laxmy Saraswati mengungkapkan dalam kondisi pandemi Covid-19 tidak dipungkiri sebelumnya banyak orang sibuk bekerja dan tidak mengawasi anak secara baik.
Kedua, adalah faktor pergaulan, dan Ketiga faktor media sosial. Dominasi anak-anak korban kekerasan seksual dan semacamnya berasal dari luar Bali.
“Kebanyakan anak-anak putus sekolah dari daerah asal, itu menyebabkan mereka memiliki waktu luang, di mana mereka berkenalan dengan seseorang di media sosial sehingga terjadilah pencabulan, kekerasan, penganiayaan, hingga pengeroyokan,” katanya.
Data Dinsos Kota Denpasar mencatat, untuk data anak terlantar Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) Tahun 2022 sebanyak 210 orang.
Kemudian data disabilitas anak PPKS Tahun 2022 sebanyak 124 orang; dan data anak berhadapan dengan hukum mencapai 65 orang. (*)
Puluhan Anak Jalanan Masuk Bali Terciduk di Gilimanuk, Lakukan Aksi Memalak Pengguna Jalan |
![]() |
---|
Perayaan Banyupinaruh: Tak Hanya Melukat, Tapi Juga Belajar dan Mengendalikan Diri |
![]() |
---|
Memaknai Banyupinaruh di Bali, Tak Hanya Melukat, Tapi Juga Belajar dan Mengendalikan Diri |
![]() |
---|
Menperin Agus Gumiwang Kunjungi Art Center, Berbelanja Lebih Dari Rp200 Juta di IKM Bali Bangkit |
![]() |
---|
254 Film dari 59 Negara Dihadirkan di Festival Film Pendek MFW11 yang Digelar di Bali |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.