Galungan 2023
Makna Sugihan Jawa dan Sugihan Bali Jelang Galungan Bagi Umat Hindu di Pulau Dewata!
Makna Sugihan Jawa dan Sugihan Bali terkadang masih ada yang belum paham. Adalah bagian dari hari raya Galungan.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Anak Agung Seri Kusniarti
"Sehingga daging parebuan, sesungguhnya adalah sarana untuk membersihkan pikiran dan kekotoran dalam diri manusia," ujar beliau.
Dalam menyongsong datangnya hari suci Galungan, maka manusia harus siap dalam keadaan bersih, baik itu bersih lahir maupun batin.
Sebab upacara parebuan berasal dari kata rebu yang kemudian menjadi kata marebu, ngarebu, dan menjadi parebuan.
"Kata rebu menurut kamus Kawi-Indonesia oleh Prof.Drs.S. Wojowasito, artinya adalah menghibur. Sedangkan arti kata ngarebu juga berarti ngerebut," ucapnya. Sehingga kata kata parebuan, ngarebu, marebu dalam konteks upacara rahinan sugihan adalah upacara merebut-rebutan untuk bersenang-senang dalam menyambut Galungan.
"Yang artinya bahwa upacara marebu yang dilaksanakan pada rahinan sugihan, adalah bertujuan untuk menyucikan atau menghilangkan pikiran atau hal-hal negatif dalam diri manusia, sehingga kita bisa bersuka-ria dan dalam hati yang jernih dan bersih menghadapi turunnya Sang Bhuta Tiga Galungan," sebut beliau.
Sebab Sang Bhuta Tiga Galungan yang dipercaya selalu menggoda kehidupan umat manusia.
Oleh sebab itu, dalam ajaran Hindu di Bali disampaikan agar hati-hati dan selalu berhati bersih dan suci disaat menyongsong datangnya Galungan.
"Sebab sebelum Buda Kliwon Dungulan atau hari raya Galungan, maka Sang Bhuta Tiga Galungan akan turun menggoda manusia. Sehingga manusia harus bisa menahan hal-hal negatif dalam diri atau bisa anyekung jnana suda nirmala yaitu mengendalikan diri dari hal yang negatif.
Maka untuk menyucikan di dalam diri (bhuana alit) akan dilakukan parebuan, sedangkan pembersihan alam semesta (bhuana agung) ditandai dengan melaksanakan bersih-bersih di lingkungan pura atau merajan.
Sejatinya upacara parebuan, marebu, ngarebu, marerebu saat rahinan sugihan itu bertujuan untuk menyatukan keluarga, kerabat sehingga bisa bersenang-senang menghadapi hari raya Galungan.
"Oleh sebab itu sarana upacara marebu ini, terdiri dari makanan berupa guling babi, guling bebek, guling telor dan sebagainya," sebut beliau.
Sarana upacara marerebu seperti makanan tersebut, sepatutnya dan harus dimakan bersama-sama di pura atau di merajan setelah matur piuning upacara sugihan selesai.
"Pada zaman dahulu pada rahinan sugihan di saat marebu, maka biasanya orang akan membawa nasi dalam satu tempat dan daging parebuan juga dalam satu tempat," ujar ida.
Setelah selesai sembahyang maka keluarga atau kerabat akan makan bersama-sama di pura atau di merajan, sehingga akan terjadi perebutan makanan (karena tempatnya satu wadah) dengan suka ria.
Nah dalam perebutan makanan ini sering terjadi sengolan dan obrolan tentang hal-hal yang menyenangkan, sehingga kegembiraan muncul.
Bahkan orang yang tadinya dulu saling bersitegang, karena kondisi yang riang gembira, hatinya bersama-sama menjadi luluh.
Dengan demikian yang tadinya ada rasa marah, rasa dendam, akan sirna karena telah melaksanakan makan bersama-sama dalam situasi gembira. Maka parebuan ini sesungguhnya adalah ritual penyucian atau pembersihan ke dalam hati sendiri.
Sehingga rasa kedamaian akan muncul. Hal ini bisa dibandingkan dengan upacara bakar batu bagi suku-suku yang berada di pedalaman Papua.
Di mana upacara perdamaian setelah perang suku ditandai dengan pesta bakar batu, makan bersama antara suku yang tadinya bermusuhan.
"Sehingga makna dari upacara marebu saat Sugihan adalah simbol penyucian atau pembersihan bhuana alit yang berupa pikiran, perilaku, bahkan perbuatan untuk menyongsong datangnya hari raya Galungan yang sangat disucikan," sebut beliau. Dengan jalan memakan atau menyucikan organ dalam.
Oleh karena itu setelah melakukan parebuan, diusahakan makan bersama-sama di pura atau merajan dan jangan disimpan sendiri dibawa pulang. Karena spirit kebersamaan akan menimbulkan ketenangan batin dan pikiran, sehingga hati menjadi suci dan bersih.
Parebuan tidak harus dengan babi guling, parebuan disesuaikan dengan kemampuan dan jumlah orang yang akan diajak menikmati upacara parebuan itu.
Marebu boleh menggunakan babi guling bagi yang mampu, boleh itik guling, bahkan boleh telor guling bagi yang kurang mampu.
Sebab dalam beragama tidak ada paksaan dan beragama sebenarnya untuk ketenangan dan kebahagiaan serta kedamaian.
Oleh sebab itu melakukan upacara marebu saat sugihan, tidak harus dengan babi guling, boleh dengan yang lebih kecil sesuai dengan kemampuannya.
"Karena sesungguhnya parebuan, yang berupa guling adalah bukan dipersembahkan kepada ida bhatara-bhatari, tetapi hanya matur piuning, dan akan digunakan untuk sarana penyucian manusia dalam mencapai kebahagiaan," sebut beliau."
"Sehingga upacara marebu pada rahinan sugihan memiliki makna dan nilai filosofis untuk menyucikan atau membersihkan bhuana alit (manusia) berupa rohani pikiran dan perilaku, sedangkan Sugihan Jawa adalah pembersihan bhuana agung (alam semesta), untuk menyongsong datangnya hari raya besar suci Galungan. (*)
Dinkes: Tolong Waspadai Meningitis, Wanti-Wanti Ingatkan Mebat Daging Matang |
![]() |
---|
Dinkes Minta Tolong Waspadai Meningitis! Wanti-wanti Ingatkan Mebat Daging Matang |
![]() |
---|
100 Mahasiswa Bantu Periksa 1.127 Ekor Babi, Antisipasi Menginitis Jelang Galungan di Badung |
![]() |
---|
DISKON Buah & Promo Menarik Lainnya di Pepito, Masyarakat Berburu Jelang Galungan 2 Hari Lagi! |
![]() |
---|
RPH Denpasar Potong 200 Ekor Babi Sehari Jelang Penampahan Galungan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.