Berita Jembrana
16 Kasus Kekerasan Seksual di Jembrana Terjadi Selama 2023, Didominasi Perkara Persetubuhan Anak
Kasus kekerasan seksual di Kabupaten Jembrana cukup memprihatinkan. Tercatat ada 16 kasus dengan korban di bawah umur.
Penulis: I Made Prasetia Aryawan | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
TRIBUN-BALI.COM, JEMBRANA - Kasus kekerasan seksual di Kabupaten Jembrana cukup memprihatinkan.
Sebab, kasusnya juga banyak menyeret anak di bawah umur sebagai korban.
Ini harus menjadi atensi serius berbagai pihak termasuk aparat penegak hukum.
Baca juga: Antisipasi Peristiwa Terseret Arus Kembali Terjadi Jembrana, Minimal Bawa Pelampung Sendiri
Kejaksaan Negeri Jembrana mencatat, selama tahun 2023 ini ada 16 kasus PPA khususnya kekerasan seksual.
Menurut data yang diperoleh, dari 16 kasus yang tercatat didominasi oleh persetubuhan anak di bawah umur.
Rinciannya, 12 kasus persetubuhan terhadap anak dan empat kasus pencabulan terhadap anak.
Rata-rata, ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun.
Baca juga: 126 Dus Surat Suara Pilpres Tiba di Jembrana, Bawaslu Temukan Beberapa Rusak di Hari Pertama
Kasus terakhir yang berhasil diungkap adalah seorang pria 51 tahun berinisial HRY yang mengaku sebagai orang spiritual kemudian menggagahi anak gadis berusia 14 tahun.
Bahkan, korbannya saat ini hamil 30-an minggu.
Kasi Pidana Umum (Pidum) Kejari Jembrana, Delfi Trimariono mengakui sangat miris dan prihatin dengan kondisi tersebut.
Baca juga: Pemerintah Kabupaten Jembrana Mengucapkan Selamat Hari Natal 2023 dan Tahun Baru 2024
Setiap tahun, kasus yang melibatkan perempuan dan anak selalu meningkat.
Sehingga, pihaknya lebih menekankan kepada seluruh elemen terutama pemerintah untuk lebih mengedepankan upaya preventif.
Dalam beberapa kesempatan, pihak Kejari Jembrana juga kerap menjadi narasumber atau pemateri untuk memberikan pemahaman terkait hukum seperti terkait UU perlindungan anak, UU tindak pidana kekerasan seksual, UU nomor 21 tahun 2007 tentang TPPO (tindak pidana perdagangan orang), hingga UU pornografi juga. Tujuannya agar masyarakat menjadi paham dengan apa yang terjadi di lapangan.
Baca juga: Baru Bekerja 17 Hari, Karyawan Rumah Makan di Jembrana Terseret Arus, Sempat Terlihat Bingung
"Dalam beberapa kesempatan kami berpartisipasi untuk menyampaikan tentang penerangan hukum kepada masyarakat agar semakin paham," jelas Delfi saat dikonfirmasi, Senin 25 Desember 2023.
Dia menegaskan, upaya preventif yang dilakukan adalah seperti memberikan penyuluhan, menyediakan pelayanan pengaduan atau pelaporan hingga penyediaan rumah aman.
Layanan pengaduan ini menjadi urgent karena selama ini korban juatru cenderung takut melapor dengan berbagai faktor.
Misalnya, masih ada hubungan darah dengan pelaku sehingga takut aib keluarga terbongkar, menerima ancaman atau intimidasi dan lainnya.
Di sisi lain, hingga saat ini Kabupaten Jembrana belum memiliki rumah aman.
"Setiap daerah sebenarnya wajib punya rumah aman dan menyediakan layanan pelaporan atau pengaduan khusus dari masyarakat terkait PPA. Kami harap bisa segera direalisasikan," tegasnya.
Sebelumnya, Kepala UPTD PPA Jembrana, Ida Ayu Sri Utami Dewi mengatakan, terungkapnya kasus kekerasan seksual persetubuhan anak di bawah umur sangat patut diapresiasi.
Sehingga, modus mengaku sebagai orang spiritual tersebut bisa terhenti dan tidak sampai menambah korban.
"Awalnya ditakutkan menambah korban terus. Tapi syukurnya sudah terungkap hanya dalam hitungan hari sejak dilaporkan," ungkap Sri Utami saat dikonfirmasi belum lama ini.
Menurutnya, dengan terungkapnya kasus ini juga beriringan dengan harapan agar pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur ini bisa dituntut hukuman maksimal.
Namun nantinya tetap diputuskan oleh pihak terkait.
"Kami tetap berharap pelaku dihukum maksimal. Karena bagi kami pelaku itu sudah merusak masa depan korban," tegasnya.
Sri Utami menceritakan, selain menimbulkan trauma berkepanjangan, masa lalu juga mengancam keberlangsungan hidup korban.
Sebab, berkaca dari pengalaman sebelumnya, korban kekerasan seksual kadang ditolak oleh keluarga pasangannya karena mengetahui masa lalunya.
Dan jengkelnya, kata dia, apa yang terjadi pada korban tak diperhitungkan pelaku dan juga orang lain.
Terkadang, ada pelaku atau keluarganya yang dengan entengnya meminta maaf kepada korban serta keluarganya tanpa mempertimbangkan psikologis korban.
"Kadang kami sangat geram ketika ada pelaku atau keluarga dengan entengnya meminta maaf. Kenapa mereka merasa gampang sekali?," tuturnya.
Hal tersebut juga diperparah ketika proses hukum kasus kekerasan seksual terhadap anak sudah selesai. Proses hukum biasanya hanya sampai vonis hukuman pelaku. Namun, kondisi dan keadaan korban ke depannya tidak ada yang peduli.
"Kadang, begitu kasus sudah selesai, pelaku divonis hukuman, ya sudah (selesai). Tapi, korban gimana ? Sudah malu, tersiksa batin, dikucilkan lingkungan, dan banyak lagi. Siapa yang peduli?" tanyanya.
"Sehingga mari kita bersama-sama untuk mencegah dan menekan kasus terhadap anak di Jembrana. Segala halnya harus kita lakukan, mulai pendampingan korban, pengawasan terhadap pelaku dan sebagainya," tandasnya. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.