Viral Wacana Pemakzulan Terhadap Jokowi, Lantas Apa Arti dari Pemakzulan Menurut UUD 1945?

Sebuah wacana sempat viral soal pemakzulan terhadap Presiden Indonesia, Lantas, apa yang dimaksud dengan Pemakzulan atau impeachment ini?

Pixabay
Ilustrasi Persidangan - Viral Wacana Pemakzulan Terhadap Jokowi, Lantas Apa Arti dari Pemakzulan Menurut UUD 1945? 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Sebuah wacana sempat viral soal pemakzulan terhadap Presiden Indonesia saat ini, Joko Widodo soal dugaan kecurangan Pemilu 2024.

Sejumlah tokoh yang mengatasnamakan diri sebagai Petisi 100 jadi kelompok yang menyuarakan hingga pelengseran Presiden Joko Widodo.

Lantas, apa yang dimaksud dengan Pemakzulan atau impeachment ini?

Dilansir dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pemakzulan berasal dari kata makzul yang berarti berhenti memegang jabatan; turun takhta.

Baca juga: Bemula Dari Asam Lambung, Hingga Berbudidaya Madu Kale

Memakzulkan:

1. Menurunkan dari takhta, memberhentikan dari jabatan;

2. Meletakkan jabatannya (sendiri) sebagai raja; berhenti sebagai raja.

Menurut Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 1, Februari 2010, Syarat pemakzulan Ihwal pemakzulan terhadap Presiden diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Menurut Pasal 7 UUD 1945, Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Namun, sebelum tuntas masa jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Mengacu Pasal 7A UUD 1945, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam situasi tertentu, yakni:

Apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya;

Melakukan perbuatan tercela; Apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Baca juga: Perumda Tirta Hita Akan Pasang Booster Spam Cegah Gangguan Layanan di Kota

Persidangan dilakukan oleh Pleno Hakim yang sekurang kurangnya oleh 7 orang hakim konstitusi. Sidang Pleno dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi dan bersifat terbuka untuk umum [Pasal 9 ayat (1) dan (2)].

Persidangan berlangsung dalam 6 tahap sebagai berikut:

a. Tahap I : Sidang Pemeriksaan Pendahuluan.

b. Tahap II : Tanggapan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

c. Tahap III : Pembuktian oleh DPR.

d. Tahap IV : Pembuktian oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden

e. Tahap V : Kesimpulan, baik oleh DPR maupun oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

f. Tahap VI : Pengucapan Putusan. (Pasal 9)

Dalam persidangan Tahap II, Presiden dan/atau Wakil Presiden wajib hadir secara pribadi dan dapat didampingi oleh kuasa hukumnya untuk menyampaikan tanggapan terhadap Pendapat DPR. Tanggapan dapat berupa:

a. Sah atau tidaknya proses pengambilan keputusan Pendapat DPR;

b. Materi muatan Pendapat DPR; dan;

c. Perolehan dan penilaian alat-alat bukti tulis yang diajukan oleh DPR kepada Mahkamah. (Pasal 12)

Baca juga: Hujan di Gianyar Sebabkan Sejumlah Tanah Longsor

Dalam persidangan Tahap II, mahkamah memberikan kesempatan kepada Pimpinan DPR dan/atau kuasa hukumnya untuk memberikan tanggapan balik.

Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada hakim untuk mengajukan pertanyaan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 13).

Dalam persidangan Tahap III, DPR wajib membuktikan dalildalilnya dengan alat bukti, sebagai berikut:

a. Alat bukti surat;

b. Keterangan Saksi;

c. Keterangan Ahli;

d. Petunjuk;

e. Alat bukti lainnya, seperti halnya informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu.

Putusan Mahkamah terhadap Pendapat DPR wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 90 hari sejak permohonan dicatat dalam BRPK.

Putusan Mahkamah yang diputuskan dalam RPH dibacakan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum.

Amar putusan mahkamah dapat menyatakan:

a. Permohonan tidak dapat diterima apabila tidak memenuhi syarat;

b. Membenarkan Pendapat DPR apabila Mahkamah berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan atau pendapat Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;

c. Permohonan ditolak apabila Pendapat DPR tidak terbukti. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved