Berita Nasional
Cadangan Devisa RI Terus Turun, Selama The Fed Belum Pastikan Penurunan Suku Bunga Acuan
Diperkirakan kinerja ekspor pada Maret 2024 akan terkoreksi 10,73 persen YoY, dan tumbuh 8,27 persen MoM.
TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Posisi cadangan devisa Indonesia diperkirakan terus menurun, selama The Fed Bank Sentral Amerika Serikat belum memberikan kepastian mengenai waktu penurunan suku bunga acuannya.
Meski begitu The Fed diperkirakan akan menurunkan suku bunga acuannya pada semester II 2024, atau tepatnya pada Juni mendatang.
Staf Bidang Ekonomi, Industri, dan Global Markets dari Bank Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto memperkirakan, pada Juni 2024 saat ada persiapan penurunan suku bunga The Fed, posisi cadangan devisa Indonesia akan berkisar 138,7 miliar dolar AS.
Akan tetapi, setelah The Fed memangkas suku bunga acuannya, bahkan sampai tiga kali, Myrdal memperkirakan, pemangkasan tersebut akan menciptakan capital inflow baik di pasar keuangan maupun sektor riil.
Baca juga: Program Desa Devisa, Kopi Robusta Indonesia Berhasil Diekspor ke Mesir
“Hal ini yang akan membuat cadangan Indonesia dapat mencapai 151,5 miliar dolar AS pada akhir tahun 2024,” tutur Myrdal kepada Kontan, belum lama ini.
Meskipun cadangan devisa Indonesia mengalami penurunan, ia melihat pada saat aksi jual marak, investor malah melakukan aksi ‘buy on dip’ atau membeli aset saat harga menurun dan berada di titik rendah.
Hal tersebut lanjutnya, didorong oleh kondisi fundamental Indonesia yang masih solid dengan imbal hasil tinggi, sehingga membuat aset investasi Indonesia terlihat masih menarik.
Ia juga melihat kondisi nilai tukar rupiah masih akan terjaga di level resistance Rp 15,962 per dolar AS, selama kondisi neraca dagang Indonesia masih surplus dan berada di level lebih dari 600 juta dolar AS per bulan.
Di samping itu, posisi defisit neraca transaksi berjalan diharapkan masih di bawah 1,5 persen terhadap PDB, serta fundamental pertumbuhan ekonomi masih terjaga di kisaran 5 persen dan inflasi juga masih di bawah 3,5 persen year on year (YoY).
Sebagai informasi, posisi cadangan devisa Indonesia pada Maret 2024 melanjutkan tren penurunan. Bank Indonesia (BI) melaporkan, cadangan devisa Indonesia pada akhir Maret 2024 mencapai 140,4 miliar dolar AS, menurun dibandingkan posisi pada akhir Februari 2024 sebesar 144,0 miliar dolar AS.
Penurunan cadangan devisa pada Maret tersebut dinilai wajar, sebagai imbas dari langkah intervensi yang dilakukan Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas rupiah.
Hal tersebut dilakukan Bank Indonesia di tengah aksi profit taking investor global di pasar emerging markets saat terdapat ketidakpastian dari prospek penurunan bunga dari The Fed, yang berimbas pada tren penguatan dolar AS secara global.
Ia mencatat kondisi outflow di pasar Surat Berharga Negara (SBN) selama Maret 2024 sebesar Rp 26,47 triliun, dan kondisi pasar saham yang tercatat inflow sebesar 505,61 juta dolar AS.
Sementara itu, perekonomian berkembang di Asia dan Pasifik diperkirakan tumbuh rata-rata 4,9 persen tahun ini seiring pertumbuhan kawasan ini yang masih tetap bagus di tengah kuatnya permintaan domestik, membaiknya ekspor semikonduktor, dan pulihnya pariwisata.
Pertumbuhan akan berlanjut dengan tingkat yang sama pada tahun depan berdasarkan laporan Asian Development Outlook (ADO) April 2024 yang dirilis hari ini oleh Asian Development Bank (ADB).
Inflasi diperkirakan akan melandai pada 2024 dan 2025, setelah terdongkrak naik oleh peningkatan harga pangan di berbagai perekonomian selama dua tahun terakhir.
Pertumbuhan yang lebih kuat di Asia Selatan dan Tenggara, didorong oleh permintaan domestik dan ekspor, mengimbangi perlambatan di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) akibat kemerosotan pasar properti dan lemahnya konsumsi.
India diperkirakan akan tetap menjadi mesin pertumbuhan penting di Asia dan Pasifik, dengan pertumbuhan 7,0 persen tahun ini dan 7,2 persen tahun depan.
Pertumbuhan RRT diperkirakan melambat menjadi 4,8 persen tahun ini dan 4,5 persen tahun depan, dari sebelumnya 5,2 persen tahun lalu.
“Kami berpandangan bahwa pertumbuhan pada mayoritas perekonomian di kawasan Asia yang sedang berkembang akan stabil pada tahun ini dan tahun berikutnya,” kata Ekonom Kepala ADB, Albert Park dalam keterangan resminya, Kamis 11 April 2024.
Ia menyebut, keyakinan konsumen masih membaik dan investasi secara keseluruhan masih kuat.
Permintaan eksternal pun tampaknya sudah berbalik positif, terutama dalam hal semikonduktor.
Namun, para pembuat kebijakan harus tetap waspada karena masih ada sejumlah risiko.
Berbagai risiko itu termasuk gangguan rantai pasokan, ketidakpastian mengenai kebijakan moneter Amerika Serikat, efek cuaca ekstrem, dan berlanjutnya pelemahan pasar properti di RRT.
Inflasi di kawasan Asia dan Pasifik yang sedang berkembang diperkirakan akan turun ke 3,2 persen tahun ini dan 3,0 persen tahun depan, seiring berkurangnya tekanan harga global dan kebijakan moneter yang masih cukup ketat di banyak perekonomian.
Namun, di luar RRT, inflasi di kawasan ini masih lebih tinggi daripada sebelum terjadinya pandemi Covid-19. (kontan)
Kinerja Impor Melambat
KINERJA impor pada Maret 2024 diperkirakan turun imbas konsumsi masyarakat yang turun dan tidak setinggi Ramadan tahun lalu.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menyampaikan, penurunan konsumsi konsumsi masyarakat pada Ramadan tahun ini mengalami penurunan dari tahun lalu, karena kepercayaan konsumen yang tidak terlalu kuat.
Ia memperkirakan kinerja impor pada Maret akan terkoreksi 6,73 persen secara tahunan atau year on year (YoY), namun tumbuh 4,14 persen secara bulanan atau month on month (MoM).
“Impor secara tahunan melambat karena efek high base di bulan Maret tahun lalu sangat tinggi, dan dan ekspor volume coal tinggi setelah China reopening,” tutur David kepada Kontan, Minggu 14 April 2024.
Sementara itu, dari sisi ekspor secara tahunan juga diperkirakan akan melanjutkan tren perlambatan karena efek high base dari Maret 2023.
Diperkirakan kinerja ekspor pada Maret 2024 akan terkoreksi 10,73 persen YoY, dan tumbuh 8,27 persen MoM.
Meski begitu, David menyebut secara bulanan kinerja impor maupun ekspor mengalami peningkatan.
Hal ini dominan karena sebagian besar harga komoditas juga meningkat secara bulanan, paling tinggi biji cokelat meningkat 40 persen, crude palm oil (CPO) meningkat 9 persen, serta komoditas lainnya yang meningkat adalah batubara, minyak, dan sebagian besar komoditas lainnya.
Dengan demikian, David memperkirakan kinerja neraca perdagangan pada Maret 2024 akan mencatatkan surplus 1,7 miliar dolar AS, lebih tinggi dari Februari 2024 yang mencapai 0,87 miliar dolar AS. (kontan)
Kumpulan Artikel Nasional
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.