Istri Perwira TNI Terjerat UU ITE
Korban Perselingkuhan Kecewa, Kuasa Hukum AP Pertanyakan RJ, Polresta Denpasar Sebut Damai Dulu
Kuasa hukum menyebut, benar anak pertama AP dalam pendampingan psikiater terdampak trauma karena perkara yang menimpa ibundanya atas ulah suaminya.
Penulis: Adrian Amurwonegoro | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kuasa hukum tersangka drg AP, Agustinus Nahak membeberkan ada beberapa hal yang bertolak belakang setelah melihat hasil konferensi pers Polda Bali dan Kodam IX/Udayana.
Agustinus mengatakan, sejatinya tidak ada keinginan dari kliennya untuk mengunggah bukti-bukti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) hingga bukti dugaan perselingkuhan yang dilakukan suaminya, Lettu Ckm drg MHA tersebut di media sosial.
Justru kuasa hukum mempertanyakan kapasitas atau legal standing HSA, pemilik akun Ayo Berani Laporkan yang memposting atau mengunggah dugaan bukti perselingkuhan di media sosial tanpa seizin kliennya AP.
Ditegaskannya, bukti tersebut hanya diberikan kepada pengacara sebelumnya berinisial R untuk kepentingan pendampingan atas laporannya ke instansi tempat suaminya berdinas.
Baca juga: Kasus Istri Perwira TNI Terjerat UU ITE Usai Postingan Suami Selingkuh, Tak Mau Tempuh Jalur Mediasi
Dibeberkan pula, HSA pemilik akun Ayo Berani Laporkan 6 tersebut merupakan partner yang tertera di surat kuasa pengacara sebelumnya yang kemudian menjadi awal mula persoalan terjadi.
"Dari AP tidak pernah menyuruh HSA memblow-up, soal tanda tangan itu, AP tandatangani (sebagaimana disebut polisi, Red) itu kalau memang proses mencari keadilan, harapannya agar bisa didampingi, supaya proses ini bisa jalan dan naik. Bagaimana blow-up itu AP tidak ikut campur, HSA memposting sendiri dan AP tidak pernah intervensi," kata Agus saat dihubungi Tribun Bali, Selasa 16 April 2024.
"Bukti itu diserahkan kepada kantor hukum, tapi ABL ini memang ada dalam surat kuasa. Bukti itu seharusnya kerahasiaan klien. Bukan untuk diposting di media sosial. Unggahan itu tidak seizin AP," kata
Kemudian mengenai jawaban "Mantap" dari AP yang menjadi salah satu bukti yang disebutkan polisi dalam konferensi pers, Agus menjelaskan, respons mantap bukan khusus ditujukan atas unggahan narasi perempuan berinisial BA di akun Ayo Berani Laporkan tersebut.
Namun ditujukan untuk merespons semua link-link pemberitan yang disampaikan HSA sebagai rekanan dari kuasa hukumnya di surat kuasa.
Dalam bukti percakapan WhatsApp juga diungkapkan bahwa sejatinya AP sudah menegaskan tidak menyetujui HSA untuk memblow-up narasi-narasi tentang BA. Bahkan AP juga menilai narasi yang diunggah HSA terlalu bar-bar.
"Semua link kasus dikirim. Jadi mantap yang link berita yang mana. Kami ungkap semua bukti di sidang praperadilan," ungkapnya.
"AP justru tidak setuju dan melarang postingan apapun di medsos sebab dirinya hanya memberikan bukti-bukti itu hanya untuk keperluan bahan-bahan pendukung saat pendampingan atas laporannya ke instansi tentara tersebut. Kami ada beberapa bukti chat yang memperlihatkan komplain AP terhadap HSA karena tujuannya bukan publikasi di media sosial perempuan yang menjadi selingkuhan suaminya," sambungnya.
Pihaknya juga mempertanyakan tidak diberikan peluang untuk melakukan upaya hukum restorative justice (RJ) sebagaimana yang diatur dalam penanganan kasus UU ITE.
Seharusnya ada tahapan mediasi maupun restorative justice dalam perkara tersebut.
Saat ini pihaknya sedang mempersiapkan pra peradilan bagi AP.
"Jadi kalau ada yang bilang sudah pernah dilakukan mediasi sebelumnya, itu sama sekali tidak benar," tegasnya.
Ia menyebut, penetapan tersangka dan penangkapan AP terkesan dipaksakan bak pelaku kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Padahal kliennya selalu kooperatif.
Sementara itu dalam konferensi pers, polisi menyebut penangkapan AP agar yang bersangkutan tidak melarikan diri dan menghilangkan barang bukti.
Dibeberkannya pula secepat apa penangkapan itu sampai akhirnya AP ditahan di UPTD PPA Rumah Aman Pemogan bersama bayinya berusia 1,5 tahun karena harus mendapatkan ASI dan hak tumbuh kembang anak.
"Ini kan kasus pelanggaran UU ITE, tanggal 3 ditetapkan tersangka. Kemudian tanggal 4 saya menerima suratnya pukul 10 pagi. Dan saya minta pertemuan dengan klien di Senayan City pukul 4 sore. Jam 2 klien kami ditangkap di SPBU Cibubur Jawa Barat dan diperlakukan seperti tahanan perkara yang luar biasa. Belum lagi saat penangkapan Anandira juga sedang menggendong bayinya. Padahal selama ini klien kami kooperatif," kata Agus.
Perkembangannya, kasus yang menimpa AP mendapat atensi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindunga Anak (PPPA) Bintang Puspayoga, yang mengunjungi AP secara langsung di UPTD PPA Rumah Aman Pemogan.
Setelah itu muncul kabar terbit penahanan ditangguhkan. Disebutkan polisi, penangguhan tersebut dengan alasan anak AP memiliki kebutuhan khusus dan atas dasar kemanusiaan.
Kuasa hukum menyebut, benar anak pertama AP dalam pendampingan psikiater terdampak trauma karena perkara yang menimpa ibundanya atas ulah suaminya.
"Anaknya trauma karena memang kondisi anak pertamanya itu dalam pengawasan psikiater akibat banyak menyaksikan ibunya diperlakukan tak baik. AP ini merupakan istri yang sangat menderita. Dia korban KDRT dan dugaan perselingkuhan," ujarnya.
Kasat Reskrim Polresta Denpasar Kompol Laorens Rajamangapul Heselo membeberkan, restorative justice (RJ) memang ada dalam rangka penyelesaian perkara.
Namun mekanismenya, perlu terjadi perdamaian antara kedua belah pihak.
Hal tersebut dikatakan terjadi di luar kepolisian.
“Mekanismenya, terjadi perdamaian antara kedua belah pihak. Itu di luar kita. Kalau sudah ada kedua belah pihak, baru kita bisa lakukan restorative justice,” ungkap Kompol Laorens saat dihubungi Tribun Bali, Selasa 16 April 2024.
Setelah kedua belah pihak sepakat berdamai, maka mereka kemudian melaporkannya ke kepolisian guna ditindaklanjuti sebagai penyelesaian perkara dengan jalur RJ.
“Jadi bukan polisi yang ngurus RJ (Restorative Justice) itu. Kedua belah pihak. Kalau sudah ada perdamaian kedua belah pihak, baru kita lakukan RJ. Lapor ke kita, kita selesaikan. Itu yang disebut Restorative Justice,” imbuhnya.
Kompol Laorens mengatakan, waktu penangguhan penahanan sejatinya dapat digunakan untuk berdamai.
Hal tersebut juga dikatakan sebagai upaya polisi membuka peluang terjadinya mediasi.
“Kita sebenarnya memberikan dia waktu untuk dilakukan penangguhan. Kan itu kesempatan dia untuk melakukan itu. Karena kita sudah memberikan upaya, ‘oke mau nggak mediasi?’ Biar kita ajukan mediasi,” jelasnya.
Namun, pihak kuasa hukum dan tersangka AP justru disebut tak berkenan untuk menempuh jalur mediasi.
“Cuma waktu itu pada saat penangguhan, mereka nggak mau. Tersangka dan kuasa hukumnya nggak mau lagi untuk melalui jalur mediasi. Bukan kita memilih, kita menjembatani,” imbuh Kompol Laorens.
Soal upaya Praperadilan yang akan diajukan kuasa hukum AP, Kompol Laorens mengaku siap menghadapinya.
Sebab, Praperadilan disebut merupakan hak bagi kuasa hukum dan tersangka yang tak dapat dilarang kepolisian.
“Silakan saja (ajukan Praperadilan). Itu merupakan hak mereka. Itu memang sudah prosedur. Kami tidak bisa melarang. Intinya apapun prosesnya, kami siap. Kami standby. Tapi sampai saat ini pun kami belum ada menerima dari pengadilan undangan untuk Praperadilan,” kata Kompol Laorens. (ian/mah)

Korban Perselingkuhan Kecewa
AP, korban kasus dugaan perselingkuhan buka suara setelah melihat hasil konferensi pers Polda Bali dan Kodam IX/Udayana dalam kasus yang menyeretnya menjadi tersangka tindak pidana UU ITE.
Salah satu yang membuat kecewa adalah dalam konferensi pers yang berlangsung di Mapolda Bali, Senin 15 April 2024 tersebut, Komandan Polisi Militer IX/Udayana, Kolonel Cpm Unggul Wahyudi tidak menyebutkan bukti 3 buah rekaman yang berisi percakapan dirinya dengan BA dan Lettu Ckm MHA, di mana dalam rekaman tersebut terdapat pengakuan suaminya yang menyukai BA.
Selain itu, apa yang disampaikan Danpomdam mengenai suaminya berteman dengan BA sejak tahun 2010 itu juga tidak tepat.
AP menjelaskan, suaminya baru berkenalan dengan BA setelah pindah tugas dinas di Bali.
"Saya kecewa dengan press conference. Danpomdam mengurangi alat bukti. Alat bukti bukan hanya foto dan chat, tapi ada 3 buah rekaman. Satu rekaman berdurasi 1 jam dan 2 rekaman berdurasi sekitar 30 menit. Itu rekaman antara saya dan BA. Lalu saya, BA dan MHA," ungkap AP saat dihubungi melalui sambungan telepon seusai press conference tersebut.
"Di situpun Danpomdam bilang MHA dan BA berteman dari 2010. Itu tidak benar, karena di rekaman BA ngomong ke saya, dia baru kenal saat MHA pindah dinas ke Bali. Dan suami saya menyukai BA. BA pun bilang di situ suami saya chat ngomong I Miss You dan sebagainya ada. Saya kecewa Danpomdam, kok alat bukti itu tidak disebutkan," bebernya.
Selain itu, AP juga mengatakan berulangkali sudah memaafkan perselingkuhan suaminya dengan wanita lain.
Dan terakhir dengan BA, anak Kapolresta Malang itu menjadi titik di mana AP tak kuasa lagi menahan beban di pundaknya atas ulah sang suami.
AP menyampaikan, sejak menikah pada 24 Februari 2018 sudah terjadi perselingkuhan oleh suaminya dengan perempuan lain dan baru terungkap tahun 2020.
"Selingkuh aku maafin. Selingkuh lagi, aku maafin lagi. Selingkuh terakhir anak Kapolresta Malang itu, dengan perempuan BA, dia (MHA, Red) lepasin saya. Dari awal pernikahan, tapi baru ketahuan tahun 2020. Dari awal nikah dia sudah punya perempuan lain. Tidak ketahuan. Tahunya tahun 2020 karena semakin parah semakin berani selingkuhnya," ungkapnya.
Selain selingkuh, tak kalah parah, Lettu Ckm MHA juga sudah terbukti melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berupa penelantaran dan kekerasan psikis.
"Suami sudah sering lalai dalam menafkahi dari awal pernikahan. Jadi ketika komandan tegas, dia dimarahi. Takut dia. Lalu kasih nafkah. Nanti kalau dapat komandan cuek, dia semakin jadi. Sampai detik ini selingkuh terparah. Saya juga mendapat kekerasan psikis sehingga depresi dan harus mendapat penanganan psikiater," ujarnya.
Dampak yang memilukan adalah kepada anak pertamanya yang kini juga harus mendapatkan perawatan dari psikolog anak karena gangguan psikologis.
"Anak pertama saya sekarang terkena gangguan psikologi. Berobat ke psikiater. Anak terlalu sering lihat keributan. Sekarang dalam perawatan psikolog anak," tuturnya.
Sementara itu mengenai pernyataan cerai secara agama yang disebutkan Danpomdam, AP menceritakan, saat itu surat cerai tersebut dibuat ayah mertuanya dan suaminya berada di bawah tekanan keluarganya.
Dan mirisnya, saat itu AP tengah mengandung usia 5 bulan.
"Jadi ketika saya hamil 5 bulan, itu dia ninggalin saya dan menelantarkan saya dan anak pertama kami. Ayah mertua mengirimkan surat talak tiga. Ketika kemudian komandannya memarahi suami, dimediasi, suami langsung minta rujuk. Dan dia bilang surat cerai agama itu dalam keadaan di bawah tekanan keluarga pengakuan dia," ungkapnya.
"Saat dia minta rujuk dengan syarat saya tanya jatuh tidak talaknya, Ketua Pengadilan Agama Kupang bilang kalau dalam paksaan tidak sah karena harus disaksikan oleh dua orang saksi. Itu rujuk lagi kami. Sehabis itu dia belum talak lagi, tapi kami sepakat cerai, yang masih ditahan karena proses-proses Pomdam itu," jabarnya.
AP menambahkan, selama dirinya ditahan, anak pertama yang dalam pengawasan dokter psikolog anak tersebut sempat sakit.
Bahkan, tak hanya itu, suaminya juga tidak pernah beritikad untuk menjenguk dirinya bersama anaknya yang masih berusia 1,5 tahun yang sempat ditahan di UPTD PPA Rumah Aman Pemogan.
"Untuk melihat bayinya, dia tidak datang. Tidak peduli. Kondisi anak di rumah itu juga memang lagi sakit, lagi flu. Cuma sekarang sudah membaik dan sudah senang. Sebelumnya kan sempat stres dia karena saya berhari-hari tidak di rumah. Karena memang dokter psikolog anak itu menyuruh aku untuk nggak boleh pisah dulu sama dia gitu. Jangan sampai dia kehilangan sosok ibu juga. Jadi sekarang aku dampingi terus," katanya. (ian)
Kumpulan Artikel Bali
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.