Ulah Pati di Bali
Agama dan Adat Bukan Barometer untuk Deteksi Kesehatan Mental, Ulah Pati di Bali Naik 20 Persen
Bali dengan kegiatan pariwisatanya yang selalu disorot dunia malah sumbangkan angka ulah pati tertinggi
Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Bali Bisa Helpline pun telah melakukan studi orang yang melakukan bunuh diri di Bali meningkat 20 persen di tahun 2024.
Baca juga: NEKAT Ulah Pati di Bangli, Gadis 18 Tahun Depresi Akibat Tekanan Ekonomi
Karena banyaknya stigma, juga kurangnya kesadaran orang untuk melaporkan kasus bunuh diri.
Misalnya di Bali ada namanya Ulah Pati jadi begitu orang itu bunuh diri tidak dilaporkan karena dianggap Ulah Pati dan ada awig-awig yang jelas untuk itu.
Yang pasti di Indonesia factor laporan untuk kasus bunuh diri itu 300 persen under reporting.
Misal di Bali ada 100 kasus bunuh diri sebenarnya 400 orang bunuh diri, 300 orang sisanya ada reporting karena dengan ada tradisi yang mungkin secara tradisinya malu untuk melaporkan kalau ada saudaranya yang bunuh diri.
“Sebenarnya penyakit kesehatan mental ini ada namun tidak terlihat secara fisik jadi dikesampingkan oleh faktor utama yakni dukungan keluarga tidak ada. Jadi tendensi orang bunuh diri tidak ada support system yang bisa membantu mereka untuk mengcopy masalah-masalah yang mereka rasakan,” ujarnya.
“Penyebab bunuh diri di Bali terjadi karena di Bali budaya spiritual tinggi jadi apapun masalah yang dirasakan selalu disangkutpautkan dengan agama, adat dan tradisi. Misalnya ada yang stres masih bisa dilakukan assgement, namun sudah dicap orang gila, kurang sembayang, kurang melakukan ritual-ritual yang bisa memperbaiki mental. Karena apapun itu agama bukan satu-satunya barometer untuk deteksi orang itu punya kesulitan mental atau tidak,” paparnya.
Sementara itu, Direktur Clinical Bali Bisa Helpline, Hilman Gobel Hilman mengatakan rata-rata usia orang yang melakukan bunuh diri di Bali di bawah 30 tahun.
Dalam perkembangan zaman banyak sekali yang merekam secara live saat melakukan aksi bunuh diri sehingga membuat bunuh diri menjadi semacam penyakit social yang mana hal-hal seperti itu nampak biasa saja.
Belum lagi keterbukaan informasi sehingga para pelaku bunuh diri ini bisa melakukan self diagnostic, di mana mereka mencari tahu di internet tentang kesehatan mental mereka akhirnya mereka mediagnosa diri mereka sendiri.
Mereka menstigma diri mereka bukannya pergi mencari bantuan, malah mereka selesaikan sendiri apalagi stigma dari masyarakat orang dengan gangguan kesehatan mental itu dicap orang gila.
“Banyak client kami yang mereka memiliki gangguan kesehatan mental dicap oleh keluarganya sudah gila. Sebenarnya mereka butuh support, orang yang mau bunuh diri mereka butuh tempat untuk didengar,” ucap, Hilman.
Kumpulan Artikel Bali
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.