Berita Bali

Ditinggal Mati Made Widarta, Ruri Tak Bisa Asuh Anak Kandungnya, Polda Bali Diminta Turun Tangan

Ditinggal Mati Made Widarta, Ruri Tak Bisa Asuh Anak Kandungnya, Polda Bali Diminta Turun Tangan

|
istimewa
Ditinggal Mati Made Widarta, Ruri Tak Bisa Asuh Anak Kandungnya, Polda Bali Diminta Turun Tangan 

TRIBUN-BALI.COM - Nasib Ruri Manggarsari (40) tidak seberuntung wanita lain yang bisa mengasuh dan melihat tumbuh kembang anaknya.

Pasalnya, sejak suaminya, I Made Ada Widarta (48) meninggal dunia, 26 Mei 2024 silam, wanita kelahiran Solo, Jawa Tengah ini merasa dijauhkan dari putranya tunggalnya yang masih berusia 12 tahun oleh paman sampingnya atau orang yang tidak ada hubungan langsung dengan almarhum suaminya. 

Atas kejadian itu, Ruri Manggarsari didampingi pengacaranya Siti Sapurah atau Ipung melaporkan orang yang disebut paman samping (terlapor) ke Polda Bali, Rabu (21/8).

Baca juga: TINGKAH Wisatawan Asing Kian Mengkhawatirkan, Viral di Nusa Penida Tak Mau Bayar Makan Rp 1,2 Juta

Ditemui usai melapor, Ipung mengatakan, pihaknya melapor ke Polisi karena terlapor diduga menghalangi Ruri Manggarsari (pelapor) untuk bertemu dengan anak kandungnya.  

“Alasan terlapor menghalangi klien saya (pelapor) untuk mengasuh anaknya karena terlapor menganggap anak klien kami adalah anak angkatnya.

Dan dari sini kami juga menduga bahwa anak kandung klien kami ini akan dimasukkan ke dalam KK (Kartu Keluarga) dari terlapor,” ujar Ipung kepada wartawan. 

Baca juga: CALON Gubernur Bali dari PDIP Akan Diumumkan Besok! Sisa Lagi 169 Bakal Calon Kepala Daerah

Ipung menambahkan, pihaknya melaporkan terlapor dengan dugaan melanggar Pasal 76 b Jo Pasal 77 UU No 35 tahun 2014 tentang perubahan pertama dari UU 23 tahun 2002 tentang perlindungan Anak.

“Pasal ini menyebutkan, barang siapa dilarang menempatkan perlakuan salah terhadap anak dan atau penelantaran anak, dan anak dilarang dilakukan secara diskriminasi,” jelas Ipung

“Walaupun sempat terjadi perdebatan antara saya dengan anggota polisi yang bertugas menerima laporan, tapi akhirnya laporan kami diterima.

Harapan kami setelah laporan ini diterima, tidak pakai lama atau satu dua hari polisi harus sudah bisa menyelamatkan anak dan mengembalikan ke ibu kandungnya,” harapnya sembari mengatakan jika anak dari kliennya itu menderita sakit medis yang butuh perawatan. 

“Jadi ada rekomendasi dari salah satu rumah sakit di Jakarta untuk merujuk anak klien kami ini di salah satu rumah sakit di Bali. Jadi ini menjadi sangat penting karena anak sakit yang diderita anak pelapor ini butuh penanganan medis segera,” lanjutnya. 

Ipung lalu menceritakan bagaimana anak dari klien itu bisa dikuasai oleh terlapor.

Berawal saat suami korban meninggal dunia.

Dari sinilah korban mulai dibatasi oleh pelapor untuk bertemu dengan anaknya.

”Untuk bertemu wajib di rumah terlapor, mau ngasih makan saja harus di rumah terlapor, ini bagaimana bisa pelapor atau korban ini ibu kandungnya,” beber Ipung

Atas perlakuan itu, Ipung mengatakan jika kliennya sempat melapor ke dua lembaga.

Yang pertama ke Dinas Sosial Kabupaten Tabanan. Awalnya pihak dinas merespon baik laporan ini, tapi seiring berjalannya waktu malah tidak ada kabar.

Yang kedua, kata Ipung, korban melapor ke WCC (Women's Crisis Center), tapi tidak juga ada hasil. 

Ditempat yang sama, Ruri Manggarsari juga menceritakan awalnya mula masalah ini.

Diakuinya dia menikah dengan suaminya pada tahun 2012. Tapi setelah dikaruniai satu putra, Ruri pisah rumah dan baru di tahun 2018 turun putusan cerai dari Pengadilan. Dimana dalam putusan itu anak diasuh bersama.  

“Selama mantan suami saya masih hidup, untuk hak asuh anak tidak pernah ada masalah.

Masalah muncul ketika mantan suami meninggal, disana saya mulai dibatasi untuk bertemu dengan anak saya oleh pamannya yang juga mengaku sebagai bapak angkatnya,” ungkap Ruri.

Karena itu, dengan laporan ini dia berharap, sebagai seorang ibu dapat merawat anaknya dan memberikannya hak-hak sebagai anak

Ruri juga mengaku, masalah ini sebenarnya juga sudah pernah dilaporkan ke desa, tapi pihak desa malah terkesan membela paman yang saat ini mengasuh anaknya itu.

Ipung lalu menimpali dengan mengatakan jika anak kliennya saat ini tidak mendapatkan haknya, seperti hak memperoleh pendidikan, hak bermain dan hak-hak lainya karena faktanya anak malah diminta untuk berjualan nasi jinggo.(*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved