Berita Nasional

Komisi Yudisial Tak Berdaya, Tak Punya Kewenangan Menindak Berujung Maraknya Mafia Peradilan 

Komisi Yudisial Tak Berdaya, Tak Punya Kewenangan Menindak Berujung Maraknya Mafia Peradilan 

istimewa
Agus Widjajanto 

4. Naikan gaji secara signifikan, katakanlah 10 kali lipat dan tunjungan kesejahteraan juga 10 kali lipat, agar mereka bisa bekerja dengan tenang untuk menghidupi kebutuhan keluarga. 

5. Memberikan KY kewenangan dalam menindak secara profesional yusticia  terhadap hakim yang telah terbukti melakukan tindakan yang sangat tercela termasuk menguntungkan diri sendiri. Diantaranya  dengan cara membuat sebuah putusan yang jauh dari rasa keadilan dan kaidah kaidah dalam format keadilan yang bertentangan dengan aturan yang berlaku.

6. Hilangkan fit and propert tes di DPR, untuk menghindari terjadinya kepentingan transaksional baik secara politis maupun secara praktis. Cukup atas persetujuan dari Menteri Koordinator  Bidang  Hukum yang disetujui KY  yang memang mempunyai tugas investigasi latar belakang dari calon Hakim Agung tersebut.

Tanpa hal-hal diatas, untuk dilakukan sebagai sebuah tindakan kebijakan maka  mustahil kondisi kebobrokan sistem peradilan hukum kita teratasi.  Sehingga  bisa obyektif dalam menjalankan tugas  terbebas dari pengaruh manapun yang bersifat mandiri. 

Atau jikalau memang tidak ada niat untuk memperkuat KY melalui alat penindakan yang bersifat final dan mengikat yang mempunyai nilai pro yudisial maka, lebih baik Komisi Yudisial dibubarkan saja.

Caranya, melakukan amandemen terbatas pada UUD 1945, sekaligus mengembalikan kedudukan dan wewenang MPR (Majelis Permusyawaratan Rakat) dalam membuat TAP MPR soal repelita baik jangka panjang, menengah dan pendek dalam pembangunan dan lebih kepada penguatan dan menjaga obyektifitas.

Menunjuk orang orang yang punya komitmen menjaga keadilan dan  kebersihan untuk ditempatkan di  bagian pengawasan pada Mahkamah Agung RI. Ini untuk melahirkan para hakim- hakim yang mempunyai jiwa keadilan dan jiwa nasionalis tinggi untuk menegakan keadilan melalui kekuasaannya sebagai hakim dan berpikir progresif dalam menjatuhkan putusanya.

Bahwa sesungguhnya hukum dibuat untuk mengatur manusia  bukan manusia dibuat untuk hukum. Hukum senantiasa berkembang dan bergerak sesuai perkembangan masyarakat  dan hukum harus menjadi garda terdepan sebagai panglima. 

Pendapat penulis  ini memang bertabrakan dengan semangat saat dibentuknya KY sesuai yang termuat dalam pasal 24 B ayat (1) yang dimaksudkan sebagai implementasi sistem pengelolaan pengadilan satu atap (One Roof System) untuk lebih menjamin kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman dan kebebasan hakim sebagai mahkota kekuasaan kehakiman vide pasal 24 UUD 1945. 

Untuk itu Penulis juga  meminta pendapat dari Guru Besar Senior hukum tata negara dan administrasi negara Dari Universitas Padjajaran Bandung yakni Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa. 

Guru Besar asal Bali ini menguraikan soal kewenangan KY dan carut marutnya dunia peradilan di negeri ini dan menurut pendapat Prof. Pantja Astawa, 
Pertama: mengembalikan kedudukan hakim yang secara administratif dan keuangan berada di bawah Kemenkum (dulu Departemen Kehakiman) justru berlawanan dengan Sistem Pengelolaan Pengadilan Satu Atap (One roof system).

Sistem satu atap didasarkan pada pemikiran untuk lebih menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebebasan hakim (sebagai mahkota dari kekuasaan kehakiman- vide Psl. 24 UUD 1945).

Keikutsertaan pemerintah mengelola organisasi, administrasi dan finansial kekuasaan kehakiman, dipandang dapat secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebebasan hakim. Selain untuk lebih menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebebasan hakim.

Sistem Satu Atap (One Roof System) juga penting ditinjau dari sistem administrasi pengelolaan. Dengan Satu Atap, pengelolaan yang berada "satu tangan" dapat lebih efisien dan produktif. 

Kedua: Dasar pemikiran diaturnya KY dalam Pasal 24 B (amandemen III) UUD 1945 bukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai organ penunjang (state auxiliary organ) di lingkungan cabang kekuasaan yudisial, dimaksudkan membantu MA (yang waktu itu dinilai overload dengan banyaknya tunggakan perkara) melakukan pengawasan secara ekternal dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Jadi lebih pada tataran etik dan sejak awal pengaturan dan pembentukannya, KY memang tidak dibekali wewenang polisional yakni menindak dan menghukum hakim-hakim yang diawasinya (Hakim Agung tidak termasuk yang diawasi oleh KY).

Halaman
123
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved