Berita Nasional

Hegemoni Indonesia Kedepan dan Falsafah Kepemimpinan yang Kuat

Bangsa ini pernah menjadi bangsa yang sangat perkasa hingga kekuasaannya meliputi seluruh teritorial negara Asia Tenggara

istimewa
Agus Widjajanto 

Dalam memasuki era globalisasi menuju dan menyongsong Indonesia kedepan yang oleh presiden terpilih  pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menyatakan "Menyongsong Indonesia Emas" tidaklah semudah membalikan telapak tangan untuk mencapai harapan tersebut.

Perlu kerja keras dan partisipasi seluruh elemen bangsa, baik pejabat, dunia usaha dan para pendidik, baik ditingkat Sekolah Dasar dan  sampai Perguruan Tingggi baik sekolah negeri maupun swasta, kaum agamawan, Budayawan (Penulis) dan anak - anak muda milenial yang kerap membuat kreator di media social dan tentu dari TNI dan Polri sebagai penyangga pertahanan dan keamanan.  

Semuanya bahu membahu bersatu menuju yang dicita-citakan – citakan,  mencapai  Indonesia Emas seperti yang didengungkan pada  pemerintahan Presiden Prabowo Subianto  yaitu sejahtera, adil makmur, gemah ripah loh jinawi, untuk seluruh rakyat.

Membicarakan perjalanan dan sejarah sebuah Bangsa tidak bisa dilepaskan dari sifat atau karakter dari para pemimpinannya dalam memimpin, termasuk Indonesia. 

Pada masa lalu saat di Jawa dan Nusantara ini berdiri kerajaan - kerajaan besar, kerajaan di Jawa sejak abad ke-7 telah menguasai Asia Tenggara. Hal ini untuk meluruskan sejarah, dimana ada yang  menganggap bahwa ekspansi Majapahit setelah Mahapatih Gajah Mada melakukan Sumpah Amukti Palapa, baru bisa menyatukan Nusantara adalah tidak tepat. 

Raja - raja sebelumnya, baik pada Kerajaan Medang (Mataram Hindu) pada abad ke-8, telah menguasai Kamboja. Ini bisa dilihat dari prasasti "Sdok Kak Thom" (Tahun 802 Masehi) yang isinya pertalian sejarah antara kerajaan Kmer Kamboja dengan Jawa. Dalam prasasti tersebut tertulis "Yang Mulia Parameswara telah datang dari Jawa kemudian jadi Raja di dikerajaan Indrapura". 

Kata Jawa tidak hanya didapatkan dari prasasti Sdok Kak Thom, akan tetapi juga ditemukan dalam prasasti Vat Samrong, disamping prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jayawarman II, prasasti Yang Tikuh yang tertulis tahun 799 Masehi. Isinya, kerajaan Kmer telah diserang oleh pasukan dari Jawa dan ini berlanjut hingga abad ke-11 akhir, saat Raja Singosari Kertanegara memberikan adik kandungnya,  Ratu Pakasi untuk menjadi permaisuri Raja Jayawarman ke-6. Nantinya dari Cicit Ratu Pakasi ini ada yang merantau ke Jawa dan menyebarkan agama Islam yang lebih dikenal dengan Raden Rahmat Sunan Ampel di Ampel Denta, Surabaya,  yang merupakan keponakan dari Ratu Dwarawati, istri dari Prabu Brawijaya V Majapahit

Tidak hanya itu di Philippina juga ditemukan prasasti Keping Tembaga, tertulis pada tahun 822 Saka atau 900 Masehi mengunakan bahasa sansekerta, yakni bahasa Jawa Kuno yang ditulis dengan aksara Kawi. isinya adanya pernyataan hutang emas kepada Raja Medang (Mataram Hindu). 

Kejayaan Nusantara ini pada waktu dan saat yang tepat sesuai perputaran siklus jaman (Cakra Manggilingan), kejayaan sebuah bangsa setiap 600 tahunan akan terwujud kembali. Sebetulnya, bangsa kita juga dikenal sebagai bangsa pelaut ulung, yang sering  melakukan ekpansi kekuasaan kewilayah lain. 

Sedangkan  falsafah yang diterapkan para pemimpin masa lalu yakni raja - raja besar saat itu, adalah "Adil Paramarta" baik dalam hukum negara, hukum agama, maupun hukum sosial dan politik.

Antara lain yang menerapkan sifat Adil Paramarta adalah, Raja Ratu Shima, abad ke-7 Masehi, Raja Samaratungga (Raja Medang tahun 1812- 833 M), Rakai Pikatan/Mpu Manuku (Medang tahun 838 - 885 M), Mpu Sendok (Raja Medang tahun 929 - 947 ),  Raden Wijaya (Dyah Wijaya, Raja Majapahit 1293- 1247 Masehi) dan Ratu Tribuwana Tunggal Dewi (Raja Wilwatikta Majapahit 1328 - 1350). 

Falsafah Adil Paramarta  dilakukan Ratu Shima saat menjatuhkan hukuman kepada setiap orang tanpa kecuali, termasuk terhadap putra mahkotanya yang mengambil dan menggeser tempayan uang pemujaan di perempatan jalan.

Raja Samaratungga menikahkan putrinya sendiri yakni Dyah Kusumawardani dengan Mpu Manuku yang dalam sejarah dikenal dengan Resi Gunadarma  atau yang dikenal dengan Rakai Pikatan yang berjasa membangun Candi Jinalaya (Candi Borobudur).

Raja Samaratungga memberikan apresiasi atas jasa Mpu Manuku sebagai arsitek dan kepala proyek pembangunan candi Budha terbesar tersebut meskipun Mpu Jinalaya ( Rakai Pikatan ) bukan beragama Budha Hinayana tapi beragama Hindu

Disamping menerapkan  falsafah Adil Paramarta, para raja besar di Jawa dan Nusantara ini juga menerapkan falsafah Memayu Hayuning Bawono, yang artinya adalah menjaga kelestarian dunia (Jagad Raya). Dalam pandangan spiritualitas Jawa terdiri dari Jagad Cilik (Mikrokosmos) dan Jagad Gede (Makrocosmos).

Halaman
1234
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved