Berita Bali

Pelarangan Air Minum Kemasan di Bawah 1 Liter Dilema Bagi Masyarakat Bali Saat Ada Upacara Adat

Terutama masyarakat kurang mampu, saat ada upacara-upacara adat seperti pernikahan dan kematian atau ngaben.

ISTIMEWA
ILUSTRASI - Pelarangan penggunaan air minum kemasan di bawah satu liter, yang dilakukan Gubernur Bali, I Wayan Koster, menjadi dilema bagi masyarakat Bali. Terutama masyarakat kurang mampu, saat ada upacara-upacara adat seperti pernikahan dan kematian atau ngaben. 

“Harusnya, kalaupun mau melarang, ya sekalian saja melarang penggunaan semua jenis plastik, jangan pilih-pilih,” ucapnya. Masyarakat Bali lainnya yang tinggal di daerah Legian, Putu Budi, juga mengutarakan hal yang sama.

Dia mengatakan masyarakat Bali, sudah tidak peduli lagi dengan imbauan-imbauan Gubernur Koster. “Selama ini imbauan-imbauannya selalu tidak sesuai dengan kemauan masyarakat.

Contoh ajakan minum arak setiap pagi dan malam, yang banyak ditentang masyarakat Bali. Masyarakat lebih baik main FB Pro yang mendatangkan uang ketimbang mendengarkan imbauan Koster,” ungkapnya.

Ketua Fraksi Gerindra DPRD Bali, I Gede Harja Astawa, mengatakan dengan tegas menolak SE Gubernur Koster yang melarang produksi dan penjualan air minum kemasan berukuran kurang dari satu liter ini.

Dia beralasan peniadaan kemasan air minum tersebut, akan memberatkan saat pelaksanaan upacara adat di Bali. 

Menurut Gede Harja Astawa yang juga Ketua DPD Pemuda Hindu Kabupaten Buleleng ini, peniadaaan air minum kemasan di bawah satu liter itu, akan memunculkan beban baru bagi masyarakat Bali ketika melaksanakan kegiatan adat yang melibatkan warga banjar. 

"Karena semua upacara adat di Bali membutuhkan air kemasan plastik, terutama yang gelas dalam jumlah besar. Keberadaan air kemasan itu membuat banyak orang menjadi sangat simpel saat menjalankan kegiatan adat tersebut. Nah, jika itu dilarang, solusinya apa,” tandasnya.

Menurutnya, dengan melarang kemasan air minum plastik sekali pakai di bawah satu liter itu, masyarakat terpaksa harus menggantikannya dengan kemasan gelas kaca yang harganya mahal dan memerlukan tenaga fisik yang relatif lebih tinggi.

"Jadi yang gawe juga akan sangat repot kalau harus menyiapkan gelas, yang sangat banyak untuk pelaksanaan upacara adat dan tentu sama sekali tidak efisien juga kemasannya,” katanya.

Dia menyebutkan, solusi penyelesaian permasalahan sampah di Bali sebenarnya bisa dilakukan melalui mekanisme tanggung jawab bersama dan disertai sanksi tegas. 

Hal itu bertujuan agar kebijakan perlindungan lingkungan tetap berjalan, tanpa mengorbankan kebudayaan masyarakat adat.

Untuk itu, dia menegaskan perlunya keterlibatan semua stakeholder, dalam menyusun ketentuan agar tidak kembali ke masa lalu.

"Masakan kita kembali lagi ke masa lalu yang tidak ada plastik? apakah kita mau kembali ke zaman primitif. Kita tidak boleh anti teknologi, tetapi bagaimana setiap orang itu bisa mempertanggungjawabkan sampah-sampah plastik dari kegiatan mereka," ucapnya. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved