Sampah di Bali

Plastik Bening Sumbang Tumpukan Sampah Hingga 16,2 Persen di Bali, Agung Susruta Komentari

Kebijakan yang melarang produksi dan distribusi air minum, dalam kemasan plastik berukuran di bawah satu liter ini dinilai tidak berdasarkan data

ISTIMEWA
SAMPAH PLASTIK - Agung Susruta menyoroti bahwa yang menjadi masalah utama bukanlah plastik itu sendiri, melainkan perilaku manusia dalam membuang dan memilah sampah.  

TRIBUN-BALI.COM - Kritik terhadap Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 terus mengalir.

Kebijakan yang melarang produksi dan distribusi air minum, dalam kemasan plastik berukuran di bawah satu liter ini dinilai tidak berdasarkan data yang akurat.

Berpotensi merugikan ekonomi rakyat kecil serta melemahkan industri daur ulang. Tokoh masyarakat Bali, Anak Agung Susruta Ngurah Putra, secara tegas menilai kebijakan ini justru menyasar pihak yang salah.

Padahal, dia mengatakan bahwa SE ini memiliki tujuan baik yakni mengajak peran serta masyarakat untuk mengurangi sampah plastik, namun tidak pada poin pelarangan produksi dan distubusi air kemasan di bawah 1 liter.

Baca juga: EVAKUASI Korban KMP Tunu Pratama Jaya, Penebalan Wilayah, Lanal Denpasar Minta Armada Dari Surabaya!

Baca juga: PELAMPUNG di Tengah Laut Ditemukan, SAR Gabungan Fokus Sisir Selatan dan Timur Perairan Gilimanuk 

ILUSTRASI - Kritik terhadap Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 terus mengalir.

Kebijakan yang melarang produksi dan distribusi air minum, dalam kemasan plastik berukuran di bawah satu liter ini dinilai tidak berdasarkan data yang akurat.
ILUSTRASI - Kritik terhadap Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 terus mengalir. Kebijakan yang melarang produksi dan distribusi air minum, dalam kemasan plastik berukuran di bawah satu liter ini dinilai tidak berdasarkan data yang akurat. (Istimewa)

"Tujuannya memang bagus, untuk mendorong pengelolaan sampah yang baik. Tapi kenapa justru botol plastik jadi korban. Padahal itu punya nilai ekonomi, dan menjadi tulang punggung komunitas pemulung serta pelaku daur ulang," katanya.

Agung Susruta menyoroti bahwa yang menjadi masalah utama bukanlah plastik itu sendiri, melainkan perilaku manusia dalam membuang dan memilah sampah

Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus pada mendisiplinkan masyarakat, bukan serta-merta melarang produk yang sebenarnya sudah mempunyai sistem ekonomi sirkular yang berjalan.

"Botol PET itu dipungut karena bernilai. Tapi sampah multilayer seperti sachet itu yang sulit dan tidak punya nilai ekonomi," tegasnya.

Mantan anggota DPRD Provinsi Bali itu juga mengingatkan bahwa dalam SE itu, larangan tidak hanya berlaku untuk air minum kemasan (AMDK) tetapi semua minuman berkemasan plastik, termasuk teh, kopi, yogurt.

Bahkan hingga minuman UMKM, yang banyak dijual dalam botol kecil. Dia berkelakar, minuman-minuman tersebut justru malah memberikan penyakit bagi masyarakat.

"Kalau semua minuman botol dilarang, mau minum kopi harus 1 liter? atau yakult 1 liter? bisa mencret atau asam lambung kita semua," sindirnya.

Menurutnya, Gubernur Wayan Koster mengeluarkan kebijakan tidak berpijak pada riset yang memadai. Data dari organisasi lingkungan independen seperti Sungai Watch menunjukkan bahwa botol PET menyumbang sekitar 4,4 persen dari sampah plastik, jauh di bawah sachet yang mencapai 5,5 persen, kantong plastik 15,2 persen, dan plastik bening 16,2 persen.

“Kalau memang berdasarkan data, harusnya sachet yang lebih dulu dilarang. Tapi kenapa yang dikorbankan botol plastik yang justru lebih mudah didaur ulang?,” tanya Susruta.

Ia mengingatkan Gubernur Koster agar tidak keras kepala, dan mendengar suara masyarakat, bukan sekadar bersandar pada pendapat para ahli yang belum tentu independen.

Menurutnya, sikap keras kepala hanya akan berujung pada gugatan di pengadilan nantinya mengingat SE hanya imbauan yang tidak memiliki dasar hukum.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved