Berita Bali

KASUS Adat Tak Lagi Ditangani Polisi & Kejaksaan, Perda Bale Kertha Juga Berlaku untuk Non Hindu

DRPD Bali membahas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Provinsi Bali tentang Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat di Bali.

TRIBUN BALI/ NI LUH PUTU WAHYUNI SRI UTAMI
RANPERDA –DRPD Bali menggelar pembahasan Raperda Provinsi Bali tentang Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat di Bali di Ruang Rapat Gabungan, Lantai III Kantor DPRD Provinsi Bali pada, Kamis (7/8). 

TRIBUN-BALI.COM — DRPD Bali membahas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Provinsi Bali tentang Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat di Bali. Pembahasan tersebut berlangsung di Ruang Rapat Gabungan, Lantai III Kantor DPRD Provinsi Bali, Kamis (7/8). 

Wakil Ketua II DPRD Bali, IGK Kresna Budi ketika ditemui pada rapat tersebut mengatakan, selama ini terdapat permasalahan-permasalahan kecil yang menyangkut tata etika dan perilaku di desa. 

“Ini yang akan diatur supaya tidak berkembang dengan masuknya Adhyaksa di desa. Misalkan hal-hal kecil, ada kejadian-kejadian ringan atau permasalahan yang ada di desa tidak bisa merembet ke hal yang lebih ke atas. Ini kan bisa diselesaikan di desa, antara ketidaksinkronan antarwarga bisa diselesaikan di desa,” jelasnya. 

Baca juga: UPAYA Atasi Kemacetan hingga Polusi, Dishub Denpasar Uji Coba 6 Shuttle Bus di Sanur 

Baca juga: LOGISTIK Tersendat! Lalin Ketapang-Gilimanuk Belum Normal, Sejumlah Proyek di Badung Terancam Molor 

Sehingga, lebih lanjutnya ia mengatakan penanganan masalah kecil tersebut tak harus ditangani kekejaksaan atau pun kepolisian. DPRD Bali bahkan mengatakan rasa terima kasihnya pada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali karena telah menginisiasi Perda ini. Diakuinya, selama ini sering terjadi hal-hal kecil di desa hingga masalah tersebut muncul ke atas. 

Selain itu, contoh kasus kesepekang yang sering terjadi di desa dapat diatur di desa. Intinya, termasuk artinya hal-hal yang menyangkut hak asasi serta hal-hal yang terlalu memberatkan tidak sesuai dengan aturan di atas. 

Sementara untuk kasus sengketa tanah adat jika memang dapat diselesaikan di tingkat desa, maka cukup sampai di desa. Karena justru yang lebih banyak mengetahui hal-hal di desa adalah Kertha Desa yang merupakan lembaga peradilan desa adat di Bali, warga pada desa tersebut dan bukan warga yang ada di luar desa.

“Harapan kita supaya tidak menumpuk berkas-berkas yang ada di kejaksaan terlalu banyak yang seharusnya bisa diselesaikan dengan musyawarah-mufakat di desa,” kata dia. 

Dengan Perda ini, ia mengaku sinkronisasi dengan hukum formal tidak ditemukan kendala. Sebab masalah hukum adat sudah diakui dalam KUHP. Bahkan Perda ini juga tak akan mempengaruhi keberadaan Majelis Desa Adat (MDA). 

Menurut Kresna Budi, Kajati Bali Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Bali, Ketut Sumedana sering melihat permasalahan viral yang seharusnya tidak sampai sebesar itu. Karena bagaimanapun juga di desa sudah terdapat orang-orang Kerta Desa untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada. 

Kresna mengatakan Ranperda ini merupakan kerja cepat karena adanya support atau dukungan untuk anggota DPRD. 

“Kalau bisa seminggu, kenapa tidak karena sudah klop (lengkap). Tidak ada yang perlu diubah, ada sedikit yang diubah selesai. Kecuali dalam rancangan itu banyak permasalahan bisa berbulan-bulan. Kalau bisa dipercepat, kenapa tidak?” katanya. 

Dalam Raerda ini, Kresna Budi menegaskan, bukan hanya bendesa, wewenang tersebut juga diambil oleh Kertha Desa. Sehingga semua hal di Desa yang menyangkut penglingsir, peranda masuk sebagai Dewan Pertimbangan dan mediator di desa. 

Raperda Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat ini sudah disosialisasikan selama tiga bulan terakhir. Hal tersebut diungkapkan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Bali, Ketut Sumedana. Sosialisasi dilakukan mulai dari Kabupaten Bangli, dan terakhir dilakukan di Kota Denpasar.  

“Sekarang dengan akhirnya Undang-Undang KUHP nomor 1 Tahun 2023 Ini menguatkan, meneguhkan lembaga adat di Bali. Di pasal 2, pasal 44, pasal 48 Undang-Undang KUHP yang akan diterapkan tanggal 1 Februari 2026. Itu sangat mengakui mengenai hukuman, material, dan kesepakatan yang ada di desa adat,” kata, dia. 

Hal ini yang mendasari untuk dilakukan revitalisasi antara hukum adat dan akan dikolaborasi dengan hukum nasional. Menurutnya, implementasi Perda Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat sangat dapat dilakukan di Bali.

Sebab tidak ada penyelesaian konflik di desa, padahal tidak ada satu desa di Indonesia ini tidak memiliki konflik terlebihnya lagi pada desa adat.

Perda Bale Kertha Adhyaksa Desa Adat ini harus memiliki penguatan-penguatan. Selain itu, ia menegaskan Perda tersebut l bukan program dari kejaksaan.

Ia mengaku hanya memberikan peluang serta penguatan ke lembaga desa adat. Selama ini ia melihat, di Desa Adat terdiri dari prajuru desa, bendesa adat, kerta desa, yang tidak berjalan dengan baik adalah kerta desa. 

Perda ini tak hanya berlaku pada umat Hindu saja. Siapapun yang berdiam di wilayah tersebut, akan diberlakukan. Karena ini perda yang berlakunya hanya dengan banten (sarana upacara).

Contohnya terdapat perkara pencurian di Bangli, karena yang mencuri orang luar Bali akan diberikan hukuman bersih-bersih masjid.

Ketika nanti Bendesa sudah selesai menangani perkara kemudian ada penyidik baru datang dari kepolisian, atau dari penyidik yang lain, dapat disampaikan bahwa permasalahan ini sudah selesai karena KUHP saat ini seperti itu.

“Sehingga tidak seperti sekarang. Perkaranya menumpuk bertahun-tahun. Dan ini menjadi dendam di desa masing-masing, ketika tidak ada solusi, kita berikan solusi di tingkat bawah. Makanya saya sebutnya pre iustitia, bukan pro iustitia. Kenapa? Niatnya adalah win-win solusinya. Niatnya adalah mengembalikan kepada, maruahnya hukum adat,” kata dia. (sar)

 

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved