Sejarah, Peradaban dan Alih Fungsi Jineng, Dulu Tempat Penyimpanan Padi dan Cermin Status Sosial

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Suasana pelaksaanaan seminar kajian koleksi Jineng yang digelar oleh Dinas Kebudayaan bersama UPTD Musueum Subak Tabanan di ruang pertemuan Musueum Subak Tabanan, Jumat (27/11/2020).

Hal tersebut terbukti dari setiap KK memiliki satu jineng. Sehingga ketika asa 5 KK dalam satu pekarangan rumah tersebut, ada lima jineng yang dibangun di rumha tersebut.

Baca juga: Update Covid-19 di Bali - Positif: 82 Orang, Sembuh: 53 Orang dan Meninggal: Nihil

Baca juga: Metode Pembelajaran Merdeka Belajar di Masa Pandemi, Wawa Sebut Bisa Tingkatkan Prestasi Siswa

Di sana, usia jineng atau glebeg ini sudah 50 tahun lebih. 

Kemudian mengenai fungsinya sekarang memang tak lagi sebagai tempat penyimpanan beras melainkaan hanya sebagai status sosial.

Jineng saat ini juga sudah banyak ditiru untuk digunakan sebagai alomodasi pariwisata.

Jika dilihat tempat wisata seperti di Ubud, sebuah tempat penginapan memang distruktur atau dibuat bentukanya seperti jineng. 

"Kalau fungsi jineng sekarang lebih banyak ke status sosial. Karena ketika jineng memiliki saka (tiang) enam artinya memiliki sawah yang luas begitu juga sebaliknya," katanya.

Ke depan Museum Subak akan lakukan kajian lanjutan lagi khushs untuk ritual. Musueum subak bersama tim kajiaannya nanti mendata serta mendokumentasikan segala hal tentang ritual acara yang dilaksanakan di Subak itu sendiri.

Artinya mendata informasi serta dokumentasi sejak awal proses ritual yang dilaksanakan di sawah.

"Ini memang salah satu cara dari Museum Subak untuk mendata, mendokumentasikan, mencari informasi segala hal tentang subak yang kita lakukan secara bertahap ini," tandasnya.

Dalam seminar tersebut ada empat orang narasumber yang memberikan pemaparan terkait jineng atau yang lebih dikenal dengan nama glebeg ini.

Di tengah acara seminar, salah satu narasumber juga mengkritisi keadaan subak di Bali saat ini. Adalah I Gusti Putu Bawa Samar Gantang, seorang seniman Tabanan yang getol menyuarakan kritik lewat puisi.

Saat itu, ia mengkritisi dengan membacakan puisi tentang subak yang saat ini digonjang ganjing atau dibutakan oleh Dollar. Ia menggambarkan kondisi Subak di Bali saat ibi.

Di mana, banyak uma (sawah) dan tegalan di Bali pada umumnya sudah banyak beralih fungsi menjadi hotel, homestay, restoran bar dan lainnya demi kepentingan Dollar itu sendiri. 

Selain itu, subak juga sudah diserang oleh bahan kimia, hama dan lainnya hingga akhirnya alam marah dan meminta untuk segala aktivitasnya tersebut istirahat lewat Covid-19 ini. (*)

Berita Terkini