Sejarah, Peradaban dan Alih Fungsi Jineng, Dulu Tempat Penyimpanan Padi dan Cermin Status Sosial

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Suasana pelaksaanaan seminar kajian koleksi Jineng yang digelar oleh Dinas Kebudayaan bersama UPTD Musueum Subak Tabanan di ruang pertemuan Musueum Subak Tabanan, Jumat (27/11/2020).

TRIBUN-BALI.COM, TABANAN - Dinas Kebudayaan bersama UPTD Musueum Subak Tabanan menggelar seminar kajian koleksi "Jineng" di ruang pertemuan Museum Subak Tabanan, Jumat (27/11/2020).

Seminar yang diikuti juga oleh seniman muda Tabanan ini mengupas tentang sejarah, peradaban, serta alih fungsi "jineng" di Tabanan.

Pembahasan koleksi jineng ini merupakan kajian yang terakhir di tahun ini. Sebab sebelumnya sudah membahas mengenai tika, kepuakan, okoka, serta ketungan.

Baca juga: Cabuli Keponakan yang Masih di Bawah Umur, Yusa Dituntut 10 Tahun Penjara

Baca juga: Tiba di Bali, Mayjen TNI Maruli Simanjuntak Disambut Tradisi Tepung Tawar

Baca juga: Hari Disabilitas Internasional, PJS Bupati Badung: Momentum Selesaikan Persoalan Para Penyandang

Dulunya, setiap KK memikiki satu jineng atau glebeg di halaman rumahnya yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan utama padi dan bahan makanan lainnya.

Selain itu juga mencerminkan sebagai status sosial.

Status sosial bisa dilihat dari jumlah saka (tiang) pada jineng tersebut, ketika jumlah tiang glebeg lebih banyak maka status sosial masyarakat tersebut dianggap lebih mampu. 

Baca juga: Pembangunan Bandar Udara Bali Utara Masuk Daftar Proyek Strategis Nasional

Baca juga: Hibur Masyarakat, Denbondres Tampil Live Streaming di Denpasar Festival Saat Pandemi Covid-19

Baca juga: Polisi Ungkap Identitas Dua Artis Muda yang Layani Threesome di Kamar Hotel, Bintang Utama Sinetron

Namun ternyata kini peradaban jineng mulai jarang ditemukan terutama di wilayah perkotaan.

Selain itu fungsinya juga berubah tak lagi sebagai tempat penyimpanan padi.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan peradaban dan alih fungsi glebeg ini seperti sudah bergantinya varietas padi saat ini.

Saat ini varietas padi tak lagi dipanen bersama tangkainya melainkan sudah menjadi gabah.

Hal ini menyebabkan kesulitan menyimpan padi yang sudah dibungkus karung ke dalam glebeg.

Kemudian mengenai peradabannya saat ini mulai jarang lantaran halaman rumah warga tak seluas dahulu. 

Baca juga: Polisi Ungkap Identitas Dua Artis Muda yang Layani Threesome di Kamar Hotel, Bintang Utama Sinetron

Baca juga: Dikabarkan Segera Menikah, Ini Potret Canti Tachril, Calon Istri Adipati Dolken

Baca juga: Cegah Penyebaran Covid-19, AAUI Cabang Denpasar Siapkan Puluhan Wastafel Portabel 

"Secara umum bentuk jineng ini sama, namun sekarang sudah banyak yang tidak digunakan. Sehingga kita lakukan kajian, salah satu penyebabnya adalah peralihan penanaman padi varietas baru."

"Jadi sekarang, padi dipanen itu tanpa tangkainya atau sudah rontok sehingga sulit disimpan diglebeg atau jineng ini. Sedangkan jika dulu, padi lokal itu masih dipanen dengan tangkainya kemudian diikat lalu disimpan di jineng bagian atas tersebut," jelas Kepala UPTD Museum Subak Tabanan, Ida Ayu Ratna Pawitrani, Jumat (27/11/2020). 

Dia melanjutkan, untuk peradaban jineng saat ini masih dilestarikan oleh Desa Wongaya Gede, Kecamatan Penebel.

Hal tersebut terbukti dari setiap KK memiliki satu jineng. Sehingga ketika asa 5 KK dalam satu pekarangan rumah tersebut, ada lima jineng yang dibangun di rumha tersebut.

Baca juga: Update Covid-19 di Bali - Positif: 82 Orang, Sembuh: 53 Orang dan Meninggal: Nihil

Baca juga: Metode Pembelajaran Merdeka Belajar di Masa Pandemi, Wawa Sebut Bisa Tingkatkan Prestasi Siswa

Di sana, usia jineng atau glebeg ini sudah 50 tahun lebih. 

Kemudian mengenai fungsinya sekarang memang tak lagi sebagai tempat penyimpanan beras melainkaan hanya sebagai status sosial.

Jineng saat ini juga sudah banyak ditiru untuk digunakan sebagai alomodasi pariwisata.

Jika dilihat tempat wisata seperti di Ubud, sebuah tempat penginapan memang distruktur atau dibuat bentukanya seperti jineng. 

"Kalau fungsi jineng sekarang lebih banyak ke status sosial. Karena ketika jineng memiliki saka (tiang) enam artinya memiliki sawah yang luas begitu juga sebaliknya," katanya.

Ke depan Museum Subak akan lakukan kajian lanjutan lagi khushs untuk ritual. Musueum subak bersama tim kajiaannya nanti mendata serta mendokumentasikan segala hal tentang ritual acara yang dilaksanakan di Subak itu sendiri.

Artinya mendata informasi serta dokumentasi sejak awal proses ritual yang dilaksanakan di sawah.

"Ini memang salah satu cara dari Museum Subak untuk mendata, mendokumentasikan, mencari informasi segala hal tentang subak yang kita lakukan secara bertahap ini," tandasnya.

Dalam seminar tersebut ada empat orang narasumber yang memberikan pemaparan terkait jineng atau yang lebih dikenal dengan nama glebeg ini.

Di tengah acara seminar, salah satu narasumber juga mengkritisi keadaan subak di Bali saat ini. Adalah I Gusti Putu Bawa Samar Gantang, seorang seniman Tabanan yang getol menyuarakan kritik lewat puisi.

Saat itu, ia mengkritisi dengan membacakan puisi tentang subak yang saat ini digonjang ganjing atau dibutakan oleh Dollar. Ia menggambarkan kondisi Subak di Bali saat ibi.

Di mana, banyak uma (sawah) dan tegalan di Bali pada umumnya sudah banyak beralih fungsi menjadi hotel, homestay, restoran bar dan lainnya demi kepentingan Dollar itu sendiri. 

Selain itu, subak juga sudah diserang oleh bahan kimia, hama dan lainnya hingga akhirnya alam marah dan meminta untuk segala aktivitasnya tersebut istirahat lewat Covid-19 ini. (*)

Berita Terkini