Peristiwa penari rangda tewas tertusuk keris saat masolah atau menari cukup mengejutkan banyak pihak.
Jero Mangku Ketut Maliarsa, juga tak kalah kaget mendengar kabar duka ini.
“Saya pribadi tidak berani berkomentar banyak, karena ini menyangkut hal magis, misteri, dan sangat sakral,” sebutnya kepada Tribun Bali, Jumat 5 Februari 2021.
Ia menjelaskan biasanya rangda bersanding dengan barong saat pementasan atau masolah.
Kegiatan itu pun harus didahului dengan melakukan ritual keagamaan dengan menghaturkan sesajen atau pecaruan agar tidak terjadi hal-hal di luar keinginan atau hal buruk dan negatif lainnya.
Kemudian setelah ritual pecaruan itu, semua pragina yang akan masolah menghaturkan sembah bakti kepada Tuhan.
Memohon agar mendapat anugerah kekuatan, sehingga acara sesolahan berjalan baik tidak ada insiden buruk.
“Jika sudah ritual itu dilaksanakan sesuai dengan pakemnya, dan setelah penarinya kerasukan roh atau disebut ‘trance’ yang memberi kekuatan. Jangankan mati karena tertusuk keris, tergores pun tidak karena ada kekuatan di luar kesadaran manusia itu sendiri yang merasuk,” tegasnya.
Hal ini disebabkan adanya kekuatan di luar kuasa manusia, yaitu roh lain yang mendapat kekuatan suci dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Fenomena ini, kata dia, sulit dijelaskan secara ilmiah sebab hal tersebut menyangkut kekuatan niskala.
“Maka orang yang menekuni sebagai pragina rangda atau barong, tidak boleh mengabaikan ritualnya untuk memohon kekuatan dari Tuhan serta ida sesuhunan atau Ida Sang Hyang Parama Wisesa,” katanya.
Ditegaskan, wajib hukumnya adanya ritual keagamaan sebelum masolah sehingga pelaksanaannya aman dan damai, serta memberikan vibrasi positif bukan justru musibah seperti adanya penari rangda yang tewas tertusuk keris.
(riz/sar/ask)