Gandha, kata dia, artinya bau wangi yang dibuat dengan asaban kayu cendana sehingga berbau harum yang dapat memberi aura ketenangan pikiran.
"Aksata artinya beras utuh (baas galih) dan tidak boleh patah-patah atau rusak. Hal ini menyimbolkan yang utuh akan mampu tumbuh dan berkembang dalam diri jiwa raga umat manusia, sehingga menjadi benih yang utama untuk mewujudkan benih-benih ke Siwa-an dalam bhuana alit setiap umat Hindu," tegasnya.
Hal ini dikatakan demikian, karena menurut Upanisad yang diyakini oleh para umat Hindu di Bali bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dikatakan memenuhi alam semesta dengan tanpa wujud tertentu dan beliau tidak ada di surga atau di dunia tertinggi.
Melainkan berada pada setiap ciptaan-Nya.
"Secara umum para umat Hindu memakai bija sesudah nunas tirta atau wangsuh pada yang befungsi untuk memantapkan keyakinan dalam menemukan kesucian badan (angga sarira) dan badan sukma (suksma sarira)," sebut mantan kepala sekolah ini.
Umat Hindu berkeyakinan tinggi, bahwa bija ini untuk berproses menanamkan benih-benih kesucian pikiran, kesucian perkataan, dan kesucian perilaku yang dilandasi dengan kesucian hati nurani yang juga dijiwai oleh benih-benih kesucian ke Siwa-an.
Bija juga dikatakan sebagai unsur utama, dalam mengarungi kehidupan umat manusia untuk memperoleh kesejahteraan, kesuburan, dan kehidupan yang jagadhita karena berkaitan dengan Sri Dewi Maha Laksmi, sebagai dewi pemberi kehidupan untuk mencapai kemakmuran.
Makanya bija dibuat dari beras yang utuh, lonjong dan baik karena diyakini sebagai niyasa atau simbol 'lingga' yang merupakan pranawa Bhatara Siwa itu sendiri.
"Bahkan bija ini dilambangkan juga 'Wijaksara' yaitu wija dan aksara sebagai yang berkekuatan dengan pranawa yaitu simbol aksara 'Om' yang diyakini sangat berhubungan dengan agar tumbuh dalam diri umat Hindu," imbuh pemangku Pura Campuhan Windhu Segara ini.
Sifat Dewi Sampat yaitu sifat-sifat kedewataan dan menghilangkan asuri sampat yaitu sifat-sifat keraksasaan.
Di samping itu, angka tiga pada bija yang ditaruh di kening, juga merujuk sebagai simbol 'Triveni' yaitu tiga pembuluh darah.
Diantaranya yaitu Ida, Pinggala, dan Sumsumna.
Ida adalah pembuluh darah, simbol bulan yang menghembuskan angin dingin melalui lubang hidung kiri pada malam hari.
Pinggala adalah simbol matahari yang menghembuskan udara melalui lubang hidung kanan pada siang hari.
Dan Sumsumna berhembus angin melalui lubang hidung kiri dan lubang hidung kanan bergantian sebagai pengatur jalannya pernafasan sehingga bisa hidup sempurna.