Perlahan-lahan akhirnya semua hutang lunas. Ketika ada pendapatan masuk, dirinya juga harus membayar karyawan terlebih dahulu. Sehingga, untuk mengurus kebutuhan dirinya sampai tidak terpikir lagi.
“Saya waktu itu yang penting adalah anak-anak (pegawai) saya. Istri dan anak di rumah sudah tidak terpikir lagi. Dari situ kami bangkit. Karyawan kembali bersemangat untuk bekerja,” jelasnya.
Cipto mengaku, bahwa bisnis kulinernya semakin maju. Dari yang dulu hanya warung kecil saja akhirnya pindah dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit uang dan membeli tanah di desa Kaliakah. Di pinggir jalan raya yang saat ini menjadi tempatnya tinggal pula.
Di warung itu ia mendirikan warung pada 2012 lalu itu nyaris tak pernah sepi. Saban hari bisa 1.000 hingga 2.000 orang mampir untuk makan dan membersihkan diri.
“Dulu waktu tidak terkena pandemi, sebulan Rp 200 hingga 300 juta sebulan kotor masih bisa mendapat mas. Sekarang, waduh untuk biaya pegawai saja dan listrik sudah Alhamdullilah. Tapi beruntung belakangan ini sudah mulai ramai lagi. Dan harapan lebih besar dengan tidak adanya Rapid tes. Semoga pariwisata Bali bangkit lagi,” ungkapnya.
Cipto menambahkan, pada waktu pandemi membuatnya kalang kabut. Dimana dahulu dirinya sebelum pandemi bisa mempekerjakan 60 orang. Kini berkurang hingga hanya tersisa 10 orang.
Namun, dirinya tidak patah semangat dimana dari sisa-sisa tabungan kemudian dirinya membuat inovasi dengan ternak ayam yang tidak berbau dengan maggot sebagai pakan utama.
Kemudian, membuat kolam lele, yang hasilnya selain dijual juga untuk konsumsi di warung. Kemudian bisnis ikan hias koi dan ikan nila mas untuk dijual pula.
“Jadi pesan saya jangan pernah patah semangat. Semua susah. Tapi, begini ya mas. Saya itu sudah diberikan belasan tahun nikmat dari Tuhan, masa dengan cobaan dua tahun saya harus menyerah,” bebernya. (*)
Artikel lainnya di Berita Jembrana