Sehingga, Agus Mulyawan mengaku tengah mendalami hal tersebut dan berencana membuat laporan polisi.
Selain menduga kliennya dijebak, Agus Mulyawan juga menduga adanya upaya provokasi dalam kasus tersebut.
Hal ini dilihatnya dari pelaporan awal yang tersebar di media sosial, yang mengatakan adanya kasus dugaan pemerkosaan.
Namun dalam undangan klarifikasi yang dikirimkan oleh Polres Tabanan, Jero Dasaran Alit diklarifikasi soal dugaan pelecehan seksual.
Sementara itu, terkait kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan pemangku, Ketua PHDI Bali, I Nyoman Kenak mengatakan, salah satu syarat menjadi pemangku harus memperhatikan etika dan logika.
Menurutnya, tak sembarang orang bisa menjadi seorang pemangku atau jero.
Ada sesana atau aturan yang harus dipegang seorang pemangku yang mengikat tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Apalagi seorang pemangku, harus melewati sebuah proses ekajati atau pawintenan.
“Salah satu syarat sebelum menjadi pemangku atau jero tentu harus sehat lahir batin, memiliki pengetahuan tentang agama, tidak buta huruf, dan tidak ceda angga atau cacat fisik, karena akan berkaitan dengan pelayanan umat. Kalau sudah menjadi pemangku mengalami kecelakaan dan ceda angga tidak masalah, tapi sebelum jadi pemangku itu harus diperhatikan,” kata Nyoman Kenak, Selasa 26 September 2023.
Selain itu, secara umum, seyogyanya orang yang menjadi pemangku adalah yang sudah berkeluarga, kecuali kasuistik sesuai dengan dresta adat suatu daerah.
“Orang yang sudah berkeluarga setidaknya emosinya sudah lebih stabil. Kalau belum dewasa, apalagi masih belasan dan melakukan loka pala sraya menggunakan genta, tentu emosinya masih labil,” katanya.
Seorang pemangku juga tidak boleh sepihak, dimana jika suami diwininten, istri juga harus diwinten.
Jika seorang pemangku masih remaja dan melakukan hubungan berpacaran, hal itu menurutnya akan menimbulkan cemer.
Kenak menambahkan, seorang pemangku juga sesuai dengan guna dan karma atau sesuai dengan tugas dan fungsinya.
“Karena ada banyak jenis pawintenan dan pemangku, ada yang pawintenan saraswati, pawintenan bunga, hingga pawintenan gede yang biasanya untuk pemangku di kahyangan tiga,” katanya.
Meskipun seorang pemangku masih terikat keduniawian, namun mental seorang pemangku harus stabil.
Atribut yang digunakan sama dengan seorang walaka, namun saat ke pura menggunakan busana serba putih.
Namun, untuk syarat umur menjadi pemangku sampai saat ini belum ada dalam kesatuan tafsir maupun bhisama.
Usia yang diatur hanya untuk sulinggih yakni minimal 40 tahun.
“Intinya sudah dewasa, emosi sudah stabil, sehat lahir batin dan berpengetahuan. Menjalankan Panca Yama dan Niyama Brara, Yama Brata,” katanya. (ang/mah/sup)
Kumpulan Artikel Bali