Untuk itu, jelas beliau, dalam upacara yadnya Hindu di Bali ada banyak rentetannya.
Tujuannya adalah membantu roh-roh atau arwah yang telah meninggal, bisa kembali ke alam yang seharusnya atau menuju cahaya ilahi.
“Makanya kalau ada yang meninggal, apalagi salah pati dan ulah pati, ada upacara penebusan di tempat kejadian. Lalu perempatan agung, di setra dan sebagainya,” jelas mantan akademisi ini.
Apalagi jika kasus kematian karena ulah pati, seperti bunuh diri dimana yang seharusnya belum meninggal namun telah membunuh dirinya.
Sehingga rohnya belum bisa diterima, karena waktunya memang belum untuk meninggal.
“Makanya ritual penebusan itu ada,” imbuh beliau.
Bahkan dalam upacara yang lebih besar, ada disebut nilapati.
“Sebab apabila meninggal tidak wajar, atau tidak patut, maka masuk ke dalam katagori mati ternoda."
"Hal ini tidak bisa ditebus dengan upacara kecil, harus melalui upacara yang lebih besar seperti nilapati,” kata beliau.
Sebab jika tidak demikian, maka roh orang yang meninggal tidak wajar ini akan menjadi roh tersesat atau yang dikenal dengan arwah penasaran.
Layaknya seperti manusia yang meninggal karena kecelakaan, dan meninggal di tempat.
Terkadang rohnya belum sadar bahwa fisik manusianya telah tiada.
Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda pun mengamini hal ini.
Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda saat menceritakan kisah hidupnya (Tribun bali/Ida Ayu Made Sadnyari)
Beliau mengatakan, jangankan meninggal karena salah pati atau ulah pati, meninggal secara wajar saja pun, belum tentu roh tersebut bisa langsung rilis menuju cahaya atau bereinkarnasi.
“Tatkala meninggal, badan kasar mengalami pembusukan maka badan itu mengeluarkan energi tersendiri. Energi yang dihasilkan tentu saja bersifat negatif, dan energi tersebutlah yang mengungkung roh itu. Sehingga roh ini tidak mengalami pembebasan,” kata beliau.
Karena bagaimanapun gravitasi alam semesta mempengaruhi roh untuk bisa rilis.
Beliau menjelaskan pengetahuan tentang roh sangat penting dipahami dan bukan hal yang sederhana.
Beliau pula menegaskan, walaupun manusia yang meninggal adalah anak-anak maka juga berpotensi menjadi penasaran.
Sebab roh yang tidak disucikan maka belum bisa menjadi dewata.
“Roh yang suci murni pun, ketika berinteraksi dengan badan material maka akan terkontaminasi juga,” jelas beliau.
“Begitu sang roh tersentuh material, otomatis sang atma itu sudah ternodai,” tegasnya.
Untuk itu, dalam Hindu Bali dikenal istilah upacara pengabenan.
Kemudian di dalam upacara pengabenan ada penebusan.
Sehingga walaupun tidak 100 persen membebaskan roh itu, namun sedikit tidaknya membantu prosesnya.
“Tidak hanya sekedar doa, ada transfer energi dalam proses ritual untuk melepaskan energi negatif pada roh itu sehingga bisa segera rilis,” imbuh beliau.
Untuk itu, beliau mengingatkan bahwa jangan pernah menganggap upacara ngaben itu sepele.
Ibarat kata, roh itu dibungkus baju kotor, dan proses upacara ngaben itu untuk mencuci baju kotor ini agar si roh semakin bersih.
“Nah pembersih itu lah seperti ritual upacara, ada berbagai tingkatannya. Sama seperti naga banda kan ada tujuannya itu,” imbuh beliau.
Kehidupan dunia yang kian kompleks, membuat ikatan manusia akan nafsu duniawi dengan panca indria juga kian kuat. Sehingga meningkatkan keterikatan pada roh itu sendiri.
Bahkan menurut beliau, ada banyak cerita yang datang ke gria bahwa keluarga yang meninggal sudah diupacarai.
“Sudah ngaben, nyekah, sampai ngelinggihang, namun masih roh itu gentayangan mencari keluarganya. Setelah dicek, ternyata ada perilaku ritual yang belum dilakukan. Penebusan di tempat kejadian, atau menyadarkan roh sudah meninggal dan lain sebagainya,” ucap beliau.
Nyatanya, kata beliau, banyak roh yang belum siap berpisah dengan keluarganya.
Untuk itulah dibutuhkan rasa ikhlas, baik dari keluarga yang ditinggalkan maupun dari roh yang meninggal itu sendiri.
(*)