Sampah di Bali

87 Persen Warga Klungkung Taat Memilah Sampah, Suwirta Ungkap Setiap Hari Naik Truk Ingatkan Warga!

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

PENGELOAN SAMPAH - Ketua Komisi IV DPRD Bali, I Nyoman Suwirta menjelaskan konsep pengelolaan sampah saat ditemui di kediamannya di Desa Kamasan, Klungkung, Rabu (6/8).

TRIBUN-BALI.COM - Permasalahan sampah di Bali menjadi perhatian publik, pasca larangan membawa sampah organik ke TPA Suwung.

Ditambah masyarakat di Bali belum terbiasa dalam memilah sampah secara mandiri di rumah tangga, semakin membuat persoalan sampah menjadi polemik.

Anggota Komisi IV DPRD Bali yang juga mantan Bupati Klungkung 2 periode I Nyoman Suwirta, ikut menyampaikan pendapat dan pengalamannya dalam upaya menuntaskan masalah sampah.

Menurutnya permasalahan sampah di Bali tidak akan pernah selesai jika hanya dibicarakan tanpa eksekusi nyata.

Ia tidak memungkiri pengelolaan sampah yang hingga kini masih menjadi tantangan besar di Bali. Suwirta yang dinilai cukup gencar mengatasi mengatasi masalah sampah saat menjadi Bupati Klungkung menceritakan pengalamannya.

Hingga Klungkung sempat beberapa kali mendapatkan bantuan Dana Insentif Daerah (DID) dari upaya mengatasi permasalahan sampah.

Baca juga: DEWAN Denpasar Soroti Akses Jalan Sekolah, Komisi III dan IV DPRD Denpasar Tinjau Proyek SMPN 17

Baca juga: SATPOL PP Kerahkan 2 Eskavator, Bongkar di Pantai Bingin Capai 30 persen, Tuntas Akhir Agustus?

PENGELOAN SAMPAH - Ketua Komisi IV DPRD Bali, I Nyoman Suwirta menjelaskan konsep pengelolaan sampah saat ditemui di kediamannya di Desa Kamasan, Klungkung, Rabu (6/8). (ISTIMEWA)


Mengawali karier sebagai Bupati Klungkung pada 2013, Suwirta mengisahkan, setiap hari dirinya harus berhadapan dengan masalah TPA Sente yang sering terbakar. Dari sanalah ia mulai serius memikirkan solusi jangka panjang terhadap sampah.

“Segala sesuatu harus melalui proses. Awalnya saya coba berbagai cara, seperti ecobrick, tapi hasilnya tidak maksimal,” ujar Suwirta saat ditemui di kediamannya, Rabu (6/8).

Solusi mulai tampak saat ia bertemu dengan tim dari STT PLN yang memperkenalkan konsep listrik kerakyatan, mengubah sampah menjadi briket bahan bakar untuk genset. Ia pun bekerja sama dengan Indonesia Power untuk mewujudkan konversi sampah menjadi energi terbarukan.

Namun, upaya tersebut terhenti di tengah jalan karena produksi briket tidak terserap sesuai harapan. “Banyak kami memproduksi briket, setengah jalan katanya briket ini mau dibeli, tapi ini tidak jalan,” jelas Suwirta.

Tak menyerah, Suwirta lalu mengembangkan konsep pengolahan sampah organik menjadi kompos Osaki. Konsep ini berjalan baik, dengan pemilahan sampah dari rumah yang baik dan konsisten.

Tahun 2017, ia menggencarkan kampanye pemilahan sampah dari rumah. “Setiap hari saya naik truk sampah, mengunjungi enam kelurahan untuk memastikan warga sudah memilah sampah. Kalau belum, saya sendiri yang turun ke gang-gang kecil,” kenangnya.

Upaya itu membuahkan hasil. Tahun 2018, sekitar 87 persen masyarakat Klungkung telah taat memilah sampah. Ia pun menegaskan kunci pengelolaan sampah ada pada pemilahan dari sumber, yakni rumah tangga.

Ia juga mengatakan, keberhasilan memilah sampah ini hanya akan berkelanjutan jika didukung oleh eksekusi, edukasi yang konsisten, serta sanksi yang tegas. “Kami bahkan terapkan sanksi tipiring bagi yang buang sampah sembarangan. Edukasi tanpa eksekusi hanya jadi teori,” tegasnya.

Menggencarkan kembali kebiasaan memilah sampah bagi masyarakat, Suwirta mendorong agar seluruh ASN dan pejabat menunjukkan aksi nyata dengan membuat video edukatif tentang pemilahan sampah dan membagikannya di media sosial. Menurutnya, langkah kecil dari para pemimpin akan menjadi contoh visual yang efektif bagi masyarakat.

“Pegawai, pejabat, masyarakat yang punya kepedulian akan masalah sampah, buat video gerakan bersama. Ramai-ramai posting di medsos secara berkelanjutan, agar memilah sampah ini menjadi kebiasaan,” jelas Suwirta.

Menyinggung rencana penutupan TPA Suwung pada Desember 2025, Suwirta mengingatkan pentingnya kesiapan desa-desa melalui pembangunan dan penguatan Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R).

“Saya pernah hentikan pengiriman ke TPA Sente dan menyiapkan TOSS. Tetapi saat 42 desa punya TPS3R, justru banyak warga yang tidak mau memilah. Artinya, pembangunan infrastruktur saja tidak cukup,” katanya.

Ia menyarankan ke depan agar alokasi dana desa tidak hanya difokuskan pada pembangunan fisik, melainkan juga pengelolaan sampah, termasuk peningkatan gaji petugas kebersihan yang menghadapi risiko kesehatan tinggi. “Anggaran jangan diremehkan. Kalau kita ingin sampah benar-benar selesai, hilirnya juga harus diperhatikan,” tambahnya.

Terakhir, Suwirta menyoroti pentingnya pemetaan dan pendataan desa yang sudah memiliki TPS3R. Ia mendesak agar Pemprov Bali memberikan relaksasi kebijakan selama masyarakat masih dalam tahap adaptasi pemilahan sampah. “Jangan habiskan waktu untuk debat masalah sampah. Mari mulai pilah sampah dari rumah. Semua pihak pejabat, ASN, masyarakat harus bergerak bersama,” ungkapnya. (mit)

Sementara itu, DPRD Provinsi Bali telah menyediakan teba modern untuk pengelolaan sampah organik. Teba modern di DPRD Bali ini berjumlah 4 yang berada 2 buah dekat ruang persidangan dan 2 buah sisanya berada di dekat Wantilan DPRD Bali. Teba modern ini telah dibuat oleh DPRD Bali pada Maret 2025 lalu. 

Ketika dikonfirmasi, Sekretaris DPRD Bali, Ketut Nayaka menjelaskan, Teba Modern telah tersedia di DPRD Bali sejak adanya imbauan oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Bali sebagai percepatan implementasi Pergub Nomor 97 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Serta program Gubernur terkait pengelolaan sampah berbasis sumber.

“Ini juga sebagai contoh dan mengedukasi masyarakat untuk mengelola sampah organik berbasis sumber. Sebenarnya dengan mengolah sampah pada sumbernya salah satunya juga memilah sampah,” jelasnya. 
Nantinya juga akan dilakukan imbauan pada Anggota Dewan juga untuk melakukan penerapan pemilahan sampah. “Walaupun mungkin anggota dewan juga sudah tahu ada Pergub dan program Pemprov Bali,” imbuhnya. 

Ke depannya, DPRD Bali juga akan menambah teba modern yang lebih besar lagi karena halaman perkantoran DPRD yang sangat luas dan banyak ditumbuhi pepohonan. “Kita juga rencana membuat teba modren yang lebih besar karena sampah organik terutama sampah daun di kantor sangat banyak dan luas,” tutupnya. 

Bantah Video Viral

Di sisi lain, Postingan wisatawan mancanegara (Wisman) yang menunjukkan kondisi sampah di ruang terbuka hijau, ramai diperbincangkan warganet. Terlebih lagi, ada yang menyebut sampah tersebut berada di Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. 

Kepala Inspektorat Pemkab Gianyar, I Gusti Ngurah Bagus Adi Widhya Utama mengatakan, instansi terkait di Pemkab Gianyar telah menelusuri lokasi sampah tersebut, mengingat ada yang menyebut lokasinya di Ubud. 

“Tim kemarin telah menelusuri kebenaran sampah tersebut, jika memang benar ada di wilayah Kabupaten Gianyar, tentu pemerintah tidak akan tinggal diam. Tentu kita bersihkan dan bekerjasama dengan desa setempat untuk mengawasi agar tidak ada lagi yang membuang sampah di sana,” ujar pria yang karib disapa Ngurah Bem itu.

Namun dalam penelusuran yang dilakukan, tidak ditemukan lokasi seperti demikian di Ubud. Ngurah Bem menyebut kawasan tersebut berada di luar Kabupaten Gianyar. “Lokasinya ternyata bukan di Ubud, pun bukan di kawasan Kabupaten Gianyar, itu terjadi di luar Gianyar," ujarnya.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Gianyar, Ni Made Mirnawati mengatakan, persoalan sampah yang dibuang sembarangan oleh oknum masyarakat, memang masih terjadi di Kabupaten Gianyar.

Namun pihaknya tak pernah membiarkan hal tersebut berlarut-larut. Terlebih lagi di kawasan pariwisata, yang menjadi penopang ekonomi masyarakat. Karena itu, petugas pun telah diturunkan untuk menelusuri kebenaran postingan tersebut, namun hasilnya nihil.

Mirna menjelaskan, selama ini, ketika menemukan tumpukan sampah yang dibuang sembarangan, baik di tempat publik maupun kawasan hijau, pihaknya akan langsung berkoordinasi dengan desa setempat, baik ada maupun dinas.

Pihaknya pun akan langsung melakukan pembersihan. Terbukti, hal tersebut berhasil menekan jumlah sampah yang dibuang sembarangan. 

"Mari kita saling menjaga dan mengingatkan untuk tidak membuang sampah sembarangan. Dan kami sendiri, tidak akan bosan-bosannya memberikan edukasi tentang pentingnya kebersihan lingkungan," tegasnya. (mit/sar/weg)

Jangan Diperdebatkan, Harus Dikerjakan

Pengelolaan sampah kembali menjadi isu di Bali, setelah pemerintah resmi melarang sampah organik untuk dibuang ke TPA Suwung. Pemerintah Bali terus gencar sosialisasi ke masyarakat, agar sampah dapat dikelola dari sumbernya atau dari rumah tangga.

Hal ini juga yang telah lama dilakukan Ketua Komisi IV DPRD Bali, I Nyoman Suwirta. Mantan Bupati Klungkung 2 periode itu, bahkan telah mengelola sampah organik secara mandiri di rumahnya sejak tahun 2016 silam.

Nyoman Suwirta kebetulan sedang mengelola sampah saat ditemui di kediamannya di Banjar Siku, Desa Kamasan, Rabu sore (6/8).

Di kediamannya ia menyediakan beberapa tempat sampah berukuran besar, untuk menampung sampah organik berupa sisa makanan dan sebagainya. Serta sampah anorganik, seperti sampah pelastik dan sejenisnya.

“Dari tahun 2016 saya sudah terbiasa pilah sampah. Ini saya sudah lama terapkan bersama keluarga,” ujar Suwirta sembari membuang sampah organik.

Ia mengatakan, sejak tahun 2016 atau saat masih menjabat sebagai bupati, pihaknya telah gencar berupaya merubah pola masyarakat di Klungkung untuk dapat mengelola sampah secara mandiri. Terutama membiasakan masyarakat untuk dapat memilah sampah dari rumah tangga.

“Karena bagaimanapun juga, masalah sampah ini tanggung jawab bersama. Perlu komitmen dan aksi untuk dapat mengelola sampah dari rumah tangga,” ungkapnya.

Suwirta menunjukan bagaimana ia mengelola sampah di rumah tangga. Ia menunjukan Bangdaus (lubang daur sampah), inovasi berupa lubang untuk daur ulang sampah organik yang telah dibuatnya sejak tahun 2016 silam. 

“Kalau dulu kami menyebutnya Bang Daus (lubang daur ulang sampah). Kalau sekarang dari bapak atau ibu gubernur menyebutnya Tebe Modern. Apapun namanya, konsepnya sama untuk memfermentasi sampah organik,” ungkapnya.

Setiap hari ia buang sampah organik di Bangdaus yang memiliki kedalaman sekitar 1,5 meter. Lalu setiap hari disiram dengan air dan ditutup.

Hasil pengelolaan sampah organik di Bangdaus itu biasanya dipanen setahun sekali, menghasilkan fermentasi untuk bahan baku pupuk organik. Sementara sampah plastik dikumpulkan setiap hari, dan dua minggu sekali diambil oleh DLHP atau desa untuk dikelola di TPS3R atau TOSS (tempat olah sampah setempat).

“Jadi selama ini sampah rumah tangga saya sudah bisa dikelola. Sampah organik tidak sampai ke luar rumah. Kalau ini bisa diterapkan seluruh masyrakat, alahngkah bagusnya,” ungkap tokoh asal Pulau Ceningan, Kecamatan Nusa Penida tersebut.

Ia berharap konsep-konsep kelola sampah seperti itu, bisa diterapkan tidak hanya di rumah tanggal. Termasuk di pelantoran, intansi swasta maupun negara, hingga ke sekolah-sekolah.

“Kalau ada komitmen dan kemauan, sebenarnya tidak susah (kelola sampah). Cuma masalah sampah kalau terus dibahas, terus diperdebatkan tidak akan pernah selesai. Harus berani memulai dikerjakan (kelola sampah mandiri),” kata Suwirta. (mit)

Berita Terkini