Berita Bali

WNA Korban Pengeroyokan Kecewa Vonis Ringan, Psikiatri Forensik Ungkap Bahaya Pengasingan Ortu

Meski Pasal 170 KUHP mengancam pidana hingga 5 tahun 3 bulan, pelaku hanya dituntut 1 tahun 8 bulan dan akhirnya divonis 1 tahun 3 bulan.

TRIBUN BALI/ADRIAN AMURWONEGORO
BERI KETERANGAN - Paul Lionel La Fontaine (tengah) didampingi kuasa hukumnya Andreas menceritakan perkara yang menimpanya. 

TRIBUN-BALI.COM - Paul Lionel La Fontaine, seorang warga negara asing (WNA) asal Australia, korban kasus pengeroyokan mempertanyakan vonis hakim di pengadilan dan putusan Mahkamah Agung yang tak berjalan dalam perkara yang menimpanya.

Selain kecewa atas vonis ringan dalam kasus pengeroyokan yang menimpanya, Paul juga masih berjuang untuk mendapatkan hak asuh anak kembarnya yang hingga kini belum terlaksana meski sudah ada putusan Mahkamah Agung (MA).

Kuasa hukum Paul, H.M.P. Andreas N, S.H., menjelaskan bahwa kasus pengeroyokan dialaminya ketika Paul berusaha memberikan hadiah ulang tahun untuk anak kembarnya. 

Baca juga: PERBAIKAN Pasar Ubud Gianyar Masih Proses Relokasi, Kadisperindag: Pedagang Tetap berjualan

Baca juga: BMKG Pilih Sanur Kauh Denpasar Bali sebagai Kegiatan SLG, Begini Sebabnya

Namun, alih-alih bisa bertemu, Paul justru menjadi korban pengeroyokan oleh sejumlah pria. Barang-barangnya, termasuk bingkai foto dan hadiah ulang tahun untuk sang anak pun ikut dirusak.

Meski Pasal 170 KUHP mengancam pidana hingga 5 tahun 3 bulan, pelaku hanya dituntut 1 tahun 8 bulan dan akhirnya divonis 1 tahun 3 bulan.

“Ancaman hukuman bisa lebih dari 5 tahun, tetapi tuntutan dan vonis hanya sekitar 1 tahun, nilai keadilan yang seharusnya ditegakkan,” ucap pria yang karib disapa Andreas di Denpasar, Kamis (2/10).

Andreas menambahkan, persoalan hak asuh anak Paul dengan mantan istrinya, AVP sudah memiliki putusan hukum tetap. Putusan Mahkamah Agung menegaskan hak asuh anak dilakukan secara 50:50. Namun, hingga kini Paul tidak pernah mendapatkan akses bertemu anaknya. 

“Sudah jelas putusan MA bahwa hak asuh anak klien kami lima puluh – lima puluh. Tetapi klien kami tidak diberi akses untuk bertemu dengan anaknya, bahkan terkesan dihilangkan," tutur dia.

"Kami sedang menyiapkan gugatan lanjutan terkait hak asuh ini,” jelas Andreas.

Ia juga mengungkapkan bahwa pengadilan telah mengirimkan surat ke tiga alamat berbeda yang berkaitan dengan AVP, namun tidak ada tindak lanjut. 

Kasus ini juga mendapat perhatian dari kalangan medis. dr. Lely Setyawati Kurniawan, Sp.KJ (K), seorang konsultan psikiatri forensik, dalam laporannya menyatakan bahwa apa yang dialami Paul dan anak-anaknya dapat dikategorikan sebagai Parental Alienation atau pengasingan orang tua.

Menurut dr. Lely, kondisi ini bisa memberikan dampak serius terhadap perkembangan mental anak, baik saat ini maupun di masa mendatang. 

“Parental Alienation adalah bentuk kekerasan psikis terhadap anak. Jika dibiarkan, anak berisiko mengalami gangguan psikologis, seperti rendahnya rasa percaya diri, kecemasan berlebih, kesulitan menjalin hubungan sosial, hingga trauma jangka panjang dalam relasi keluarga,” jelasnya.

Di lain sisi, saat dikonfirmasi awak media melalui pesan WhatsApp, AVP memberikan tanggapan berbeda. Ia menegaskan bahwa persoalan hak asuh tidak bisa dipaksakan semata-mata dengan eksekusi hukum.

“Saya sudah bertemu dengan pihak pengadilan dan menjelaskan bahwa anak-anak tidak mau bertemu bapaknya. Jadi sudah jelas, anak bukan barang yang bisa dieksekusi seenaknya,” tegas AVP. (ian)

 

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved