Sampah di Bali

Produsen AMDK Lokal di Bali Akui Tak Pernah TTD Pernyataan Persetujuan Hentikan Produksi Bawah 1L

Kemasan plastik botol juga menjadi satu satunya sampah plastik, yang terbukti telah membuka lapangan kerja dan membantu ekonomi rakyat.

ISTIMEWA
Surat Edaran (SE) Gubernur Bali, I Wayan Koster, yang melarang agar industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) tidak memproduksi lagi produk kemasan, yang berukuran di bawah 1 liter sejak awal mendapat penolakan dari para produsen AMDK lokal di Bali. Hingga saat ini belum ada produsen lokal yang menandatangani pernyataan persetujuan.  

TRIBUN-BALI.COM - Surat Edaran (SE) Gubernur Bali, I Wayan Koster, yang melarang agar industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), tidak memproduksi lagi produk kemasan yang berukuran di bawah 1 liter, sejak awal mendapat penolakan dari para produsen AMDK lokal di Bali.

Hingga saat ini belum ada produsen lokal, yang menandatangani pernyataan persetujuan. Selain tidak memiliki kekuatan hukum mengikat keluar, dampak ekonomi paling dirasakan pelaku usaha dan masyarakat lokal. 

Kemasan plastik botol juga menjadi satu satunya sampah plastik, yang terbukti telah membuka lapangan kerja dan membantu ekonomi rakyat. Produsen meminta, gubernur mempertimbangkan kembali larangan ini. Produsen lokal siap mendukung Bali bersih lewat program CSR.

Baca juga: JENAZAH Sosok Pria Asal Jatim Kagetkan Nelayan Pesisir Pantai Pengumuman Gilimanuk, Polisi Selidiki

Baca juga: DLHK Bali Targetkan Tutupan Hutan Tuntas Tahun 2027, Koster Target Persoalan Sampah Selesai 2 Tahun 

Ilustrasi Botol Air Mineral
Ilustrasi Botol Air Mineral (Pixabay)

Stephanus Christiantoro, kuasa hukum CV Tirta Taman Bali, salah satu produsen AMDK lokal bermerek Nonmin, dengan tegas menyampaikan bahwa SE Gubernur Bali No. 9 Tahun 2025 yang melarang produk AMDK ukuran di bawah 1 liter itu telah menimbulkan tekanan terhadap pelaku usaha AMDK lokal di Bali, termasuk CV Tirta Taman Bali.

Pelarangan ini tidak saja berpotensi merugikan produsen, tetapi seluruh mata rantai yang terkait seperti distributor, agen warung-warung, maupun pedagang asongan.

Dia pun menegaskan, bahwa SE itu tidak memiliki kekuatan hukum, untuk bisa menghentikan industri AMDK lokal untuk tetap memproduksi. “Karena yang menerbitkan izin itu kan dari pusat, mulai dari Kementerian ESDM, PU, BPOM, Kemenkumham, dan Gubernur nggak bisa,” ujarnya. 

Dia menegaskan, SE itu bersifat imbauan yang hanya bisa mengikat secara internal birokrasi di bawahnya dan tidak berlaku umum. Menurutnya, SE itu hanya kebijakan dan bukan produk undang-undang.

Jadi lanjutnya, SE itu tidak boleh melampaui kewenangan Undang-undang di atasnya dan tidak memiliki kekuatan untuk memaksa. “Artinya, SE itu tidak boleh melakukan penyitaan. Kalau itu dilakukan, justru dari situ langsung kita bisa ajukan gugatan ke PTUN tanpa harus mengajukan keberatan administrasi nantinya,” ucapnya.

Dia menuturkan hingga saat ini belum ada AMDK lokal, yang menyatakan setuju akan membatasi produksi seperti yang ada dalam SE. Menurut manajemen Nonmin, para produsen AMDK lokal memang pernah diundang Pemprov Bali tapi bukan untuk dialog dan hanya diskusi satu arah. 

“Malas akhirnya karena ngapain kita lanjutkan dialog, karena nggak kasih solusi juga. Yang membuat tambah bingung, ada pertemuan lagi yang kedua tapi hanya untuk meminta para produsen AMDK lokal untuk menandatangani surat pernyataan kesediaan untuk membatasi produk kemasannya sampai ini Desember ini. Tidak ada yang mau tanda tangan waktu itu,” tuturnya. 
 
Pemilik AMDK Nonmin, I Gde Wiradhitya Samuhata, meminta agar SE tersebut ditinjau kembali. Menurutnya, keluarganya mendirikan usaha ini dengan mengantongi izin yang sudah ada standar regulasinya dari pemerintah pusat.

Tapi, lanjutnya, kemudian daerah semena-mena melarang dengan SE yang melarang industri AMDK untuk memproduksi AMDK di bawah 1 liter. “Jadi kami ingin itu diluruskan, karena masyarakat juga sudah takut duluan, seakan-akan itu sudah jadi Perda atau Pergub padahal ini baru SE.

Terus, bagaimana pemerintah itu melindungi para pengusaha dengan regulasi yang sudah ada, itu bagaimana tanggapan pemerintah pusat? ini kami mencari keadilan itu dan perlindungan secara hukum,” tukasnya.
 
Dia menyampaikan, bahwa SE ini dikeluarkan tanpa adanya sosialisasi terlebih dulu. “Tidak ada diskusi, tidak ada dialog, jadi tiba-tiba langsung keluar SE. Kita kaget dong,” katanya. Padahal, dia bercerita industri AMDK miliknya ini terhitung banyak membantu masyarakat sekitar lewat CSR atau Corporate Social Responsibility. 

Di antaranya, memberikan bantuan kepada masyarakat di sekitar tempat usaha di Kabupaten Bangli berupa 4 galon air per keluarga per bulan, secara gratis yang bila disetarakan dengan uang tunai sebesar Rp200-300 juta per tahun. Selain itu, perusahaan juga memberikan bantuan kepada semua pura untuk upacara. “Termasuk untuk pajak sumber air, kami juga setorkan ke Pemkab Bangli sebulan sekali,” ujarnya.
 
Disampaikan, industri AMDK Nonmin mulai dibangun pada 2003 dan mempekerjakan 130 karyawan di dua pabrik yang berada di Banjar Umanyar dan Banjar Jelekungkang, Desa Tamanbali Bangli, di mana 60 persennya adalah orang lokal.

“Selain itu, kami juga terus melakukan pembangunan-pembangunan di sekitar desa. Kami juga menyuplai air ke kantor desa dan instansi militer seperti Kodim, full kami bantu kebutuhan airnya,” ungkapnya. 

Tapi, dia menyayangkan kebijakan gubernur yang berpotensi menghambat perkembangan industri AMDK lokal yang justru sudah berkontribusi untuk memajukan pembangunan di Bali.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved