Berita Denpasar

Sidang Penyiksaan Monyet Ekor Panjang di PN Denpasar Jadi Langkah Bersejarah, Proses Perburuan Kejam

Induk monyet biasanya dibunuh terlebih dahulu agar bayinya bisa diambil dengan mudah. 

Istimewa/SIntesia
Persidangan kasus penyiksaan terhadap monyet ekor panjang (MEP) di PN Denpasar, pada Rabu 8 Oktober 2025. Sidang Penyiksaan Monyet Ekor Panjang di PN Denpasar Jadi Langkah Bersejarah, Proses Perburuan Kejam 

Menurutnya, perdagangan satwa liar menjadi isu yang penting, tidak hanya dari perspektif kesejahteraan hewan, namun juga kesehatan dan kesejahteraan manusia dan lingkungan. 

Dalam persidangan, SY menyampaikan bahwa beberapa burung yang dijual di Pasar Hewan Satria adalah spesies yang dilindungi.

Meskipun hal ini belum dapat dipastikan, ini menjadi isu penting yang harus ditangani secara kolaboratif. 

"Pada intinya, kontak yang dekat antara manusia dan satwa liar membawa konsekuensi besar yang dapat sangat merugikan," kata drh Sasa Vernandes.

Menanggapi populernya pemeliharaan satwa liar MEP, Dokter Hewan Gilang Maulana Putra menjelaskan bahwa proses perburuan monyet ekor panjang dilakukan dengan cara-cara yang kejam dan tidak manusiawi. 

Induk monyet biasanya dibunuh terlebih dahulu agar bayinya bisa diambil dengan mudah. 

Pembunuhan biasa dilakukan dengan menembak induk monyet menggunakan senapan, dilempari batu, atau dijerat. 

Bayi monyet kemudian diambil dari induknya, yang menyebabkan trauma fisik dan psikologis mendalam. 

Bayi-bayi tersebut ditampung sendirian tanpa induk, giginya dicabut, dan rambutnya dicukur agar tampak "lucu". 

Padahal, secara biologis, anak monyet seharusnya tetap bersama induknya hingga minimal usia 8 bulan. 

Pemisahan dini menyebabkan penurunan imunitas, gangguan gizi, serta stres kronis. 

"Mereka juga mengalami keterikatan abnormal terhadap manusia atau benda, serta menunjukkan perilaku menyimpang seperti agresivitas, kesulitan bersosialisasi, dan gejala deprivasi maternal," bebernya.

Perburuan semacam ini sering dilakukan untuk memenuhi permintaan pasar perdagangan satwa, baik sebagai hewan peliharaan maupun untuk kepentingan lainnya, tanpa memperhatikan aspek kesejahteraan dan perlindungan satwa liar.

Saat ini, populasi MEP sudah kian menurun, MEP atau Macaque fascicularis telah diklasifikasikan sebagai Endangered Species oleh IUCN, meskipun di Indonesia status ini masih belum ditetapkan. 

Ketua Sintesia, Jovand Imanuel Calvary, berharap putusan ini menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia untuk memperkuat perlindungan satwa melalui kebijakan lokal dan penegakan hukum yang tegas dan adil.

"Kami menyambut baik putusan ini sebagai langkah awal yang baik dalam menangani perdagangan satwa liar dan kesejahteraan hewan. Kami yakin bahwa putusan ini dibuat dengan pertimbangan khusus oleh hakim," ungkap Jovand. (*)

Kumpulan Artikel Denpasar

Sumber: Tribun Bali
Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved