10 Fakta Mengejutkan Evakuasi Petapa Mahaguru Aertrya di Hutan Kawasan Buleleng

Pertapa tersebut dievakuasi dari dalam hutan negara yang dilindungi di lereng perbukitan Desa Tambakan, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng

Tribun Bali/Ratu Ayu Astri Desiani
Seorang pengikut Maha Guru Aertrya, Komang Awik (kanan) mengungkapkan sang guru telah meninggalkan Desa Tambakan, dan kembali melanjutkan pertapaannya di Goa Panca Pendawa yang terletak di kawasan hutan Dusun Mengandang, Desa Pakisan, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng. 

Bertapa adalah satu di antara jenis keyakinan, dan seharusnya tidak dilarang oleh negara yang mengakui keberadaan Hindu.

Kalau bertapa dipertanyakan, itu berarti negara juga mempertanyakan keyakinan Hindu.

“Kalau Hindu diakui, maka dalam Hindu diketahui ada empat tingkat kehidupan yang harus diakomodasi. Kalau petugas itu mengerti agama, pasti tahu catur asrama. Itu hak si pertapa melaksanakan wanaprasta, walaupun kini konteksnya di era modern. Hal sepele kemudian diekspos, dan dilakukan penindakan. Bagi saya lucu, dan ini dilakukan di Bali. Kalau Bali masih menjunjung etika moral Hindu, saya yakin hal ini tak mungkin terjadi,” keluhnya.

PHDI Cek

Susena mengatakan, dirinya bersama Puskor Hindunesia hari ini akan melayangkan surat protes ke Dinas Kehutanan Provinsi Bali terkait kasus evakuasi seorang spiritualis yang menjalani pertapaan.

Puskor Hindunesia sangat menyesalkan tindakan Dinas Kehutanan yang mengevakuasi Mahaguru Aertrya yang bertapa.

Ia juga mempertanyakan mengapa Dinas Kehutanan Pemprov Bali tidak berkoordinasi terlebih dahulu dengan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebelum evakuasi.

“Ini langsung menggerebek seorang spiritualis, sehingga ibaratnya seperti mengerdilkan agama Hindu. Selama memang benar bertapa, seharusnya dibiarkan. Tapi kalau terbukti merambah hutan, kita pasti salahkan apalagi melakukan penebangan liar,” katanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Pemprov Bali, I Gede Nyoman Wiranata mengatakan pihaknya mengevakuasi Mahaguru Aertrya Narayana karena tinggal tanpa izin dalam kawasan hutan lindung.

Ia menjelaskan, warga masyarakat yang ingin bertapa bisa memohon izin ke Pemprov Bali, karena menurut Undang Undang (UU) tidak boleh seorangpun tinggal di kawasan hutan lindung.

“Kan memang tidak ada izin. Kalau sebelumnya ada koordinasi, ya tidak apa-apa. Juga kita khawatirkan dari segi keamanan di dalam kawasan hutan lindung. Walaupun kita tidak curiga terlalu jauh, namun secara UU memang tidak boleh tinggal di kawasan hutan lindung,” jelasnya.

Disebutkan Wiranata, jika pertapa tersebut memang bagian dari Hindu, seharusnya ada lembaga resmi yang mengayominya.

Misalnya, ada rekomendasi dari PHDI untuk bertapa.

Ia mencontohkan seperti penggunaan daging penyu dalam upacara.

Walaupun penyu dilarang dipakai karena merupakan satwa dilindungi, tetapi dengan mendapatkan rekomendasi dari Dinas Kelautan, maka penyu masih bisa untuk upacara.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved