10 Fakta Mengejutkan Evakuasi Petapa Mahaguru Aertrya di Hutan Kawasan Buleleng
Pertapa tersebut dievakuasi dari dalam hutan negara yang dilindungi di lereng perbukitan Desa Tambakan, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng
Laporan Wartawan Tribun Bali, Ratu Ayu Astri Desiani
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Ketua Umum Pusat Koordinasi (Puskor) Hindunesia, Ida Bagus Susena, mengecam keras tindakan dari petugas Dinas Kehutanan Provinsi Bali yang mengevakuasi seorang pertapa bernama Maha Guru Aertrya Narayana.
Pertapa tersebut dievakuasi dari dalam hutan negara yang dilindungi di lereng perbukitan Desa Tambakan, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Bali, Jumat (18/8/2017) sore.
Baca: Ritual Pertapaan Maha Guru Aertrya Jadi Perbincangan, Diminta Urus Izin Bertapa di Goa Panca Pandawa
Baca: Demi Moksa, Mahaguru Aertrya Narayan Kembali Lanjutkan Tapa Semadinya di Goa Panca Pendawa
Berikut 7 Fakta Petapa yang Dievakuasi dari dalam Hutan di Buleleng:
1. Petapa dievakuasi dari dalam hutan negara yang dilindungi di lereng perbukitan Desa Tambakan bernama Maha Guru Aertrya Narayana
2. Evakuasi dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Bali
3. Alasan evakuasi, karena sang pertapa tinggal di dalam hutan lindung negara tanpa izin dari instansi yang terkait.
4. Dikhawatirkan menjadi contoh sehingga warga lain ikut menguasai hutan negara tersebut, maka tim sepakat untuk mengevakuasi yang bersangkutan.
5. Mahaguru Aertrya, yang para pengikutnya terbilang cukup banyak dan tersebar di Kabupaten Buleleng, diketahui memasuki hutan negara sejak 6 Juli.
6. Ketua Umum Pusat Koordinasi (Puskor) Hindunesia, Ida Bagus Susena, mengecam keras tindakan evakuasi tersebut
7. Ajaran Hindu mengenal empat tingkatan kehidupan atau catur asrama, yang satu diantaranya adalah wanaprasta asrama yakni pengasingan terhadap kehidupan duniawi keluarga.
8. Di zaman modern memang tidak banyak orang yang melakukan pertapaan.
9. Bertapa adalah satu di antara jenis keyakinan, dan seharusnya tidak dilarang oleh negara yang mengakui keberadaan Hindu.
10. Kepala Dinas Kehutanan Pemprov Bali, I Gede Nyoman Wiranata mengatakan pihaknya mengevakuasi Mahaguru Aertrya Narayana karena tinggal tanpa izin dalam kawasan hutan lindung. Ia menjelaskan, warga masyarakat yang ingin bertapa bisa memohon izin ke Pemprov Bali, karena menurut Undang Undang (UU) tidak boleh seorangpun tinggal di kawasan hutan lindung.
Evakuasi terhadap Mahaguru Aertrya Narayana dilakukan bersama oleh Sekretaris Desa (Sekdes) Tambakan, Kepala Resor Pemangkuan Hutan (KRPH) Provinsi Bali, Petugas Kehutanan Bali Utara, petugas Linmas Desa Tambakan, Bhabinkamtibmas dan Babinsa Desa Tambakan.
Diberitakan sebelumnya, evakuasi dilakukan setelah tim berkomunikasi dengan pihak keluarga untuk membujuk agar Mahaguru Aertya meninggalkan hutan negara.
Akan tetapi, dia menolak meninggalkan hutan.
Apalagi, juga ada komplain dari warga.
“Warga kami di Sanglangki komplain terkait penggunaan air," ungkap Perbekel Desa Tambakan, Nyoman Surama, ketika ditemui di kediamannya, Minggu (20/8/2017) sore.
Mahaguru Aertrya, yang para pengikutnya terbilang cukup banyak dan tersebar di Kabupaten Buleleng, diketahui memasuki hutan negara sejak 6 Juli.
Susena menegaskan, tindakan Dinas Kehutanan sesungguhnya sudah sebuah pemberangusan hak dalam menjalankan agama.
Disebutkan Susena, ajaran Hindu mengenal empat tingkatan kehidupan atau catur asrama, yang satu diantaranya adalah wanaprasta asrama yakni pengasingan terhadap kehidupan duniawi keluarga.
“Kami sangat sesalkan sikap dari Dinas Kehutanan, apalagi ini terjadi di Bali. Ini kita akan mintakan perhatian kepada gubernur. Semestinya, petugas berkoordinasi dulu dengan lembaga umat sebelum mengambil langkah. Ini memprihatinkan, karena kasus ini bisa melemahkan nilai-nilai Hindu, terutama kebebasan berkeyakinan. Ini juga sebuah diskriminasi dari orang kita terhadap umat kita sendiri,” terang Susena melalui telepon di Denpasar, Minggu (20/8/2017).
Di zaman modern, jelas dia, memang tidak banyak orang yang melakukan pertapaan.
Kendati demikian, evakuasi atau pengusiran secara halus terhadap pertapa baru ia dengar di Bali.
Di Jawa, ia mencontohkan, di kaki-kaki sejumlah gunung dan hutan banyak pertapa menjalankan semadi.
Tetapi, imbuh Susena, tidak pernah terdengar ada pihak yang turut campur dengan urusan itu, karena bertapa terkait dengan keyakinan seseorang.
Ia menjelaskan, spiritualitas dalam Hindu adalah dengan cara bertapa, dan bertapa identik dengan keyakinan Hindu.
Bertapa adalah satu di antara jenis keyakinan, dan seharusnya tidak dilarang oleh negara yang mengakui keberadaan Hindu.
Kalau bertapa dipertanyakan, itu berarti negara juga mempertanyakan keyakinan Hindu.
“Kalau Hindu diakui, maka dalam Hindu diketahui ada empat tingkat kehidupan yang harus diakomodasi. Kalau petugas itu mengerti agama, pasti tahu catur asrama. Itu hak si pertapa melaksanakan wanaprasta, walaupun kini konteksnya di era modern. Hal sepele kemudian diekspos, dan dilakukan penindakan. Bagi saya lucu, dan ini dilakukan di Bali. Kalau Bali masih menjunjung etika moral Hindu, saya yakin hal ini tak mungkin terjadi,” keluhnya.
PHDI Cek
Susena mengatakan, dirinya bersama Puskor Hindunesia hari ini akan melayangkan surat protes ke Dinas Kehutanan Provinsi Bali terkait kasus evakuasi seorang spiritualis yang menjalani pertapaan.
Puskor Hindunesia sangat menyesalkan tindakan Dinas Kehutanan yang mengevakuasi Mahaguru Aertrya yang bertapa.
Ia juga mempertanyakan mengapa Dinas Kehutanan Pemprov Bali tidak berkoordinasi terlebih dahulu dengan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebelum evakuasi.
“Ini langsung menggerebek seorang spiritualis, sehingga ibaratnya seperti mengerdilkan agama Hindu. Selama memang benar bertapa, seharusnya dibiarkan. Tapi kalau terbukti merambah hutan, kita pasti salahkan apalagi melakukan penebangan liar,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Pemprov Bali, I Gede Nyoman Wiranata mengatakan pihaknya mengevakuasi Mahaguru Aertrya Narayana karena tinggal tanpa izin dalam kawasan hutan lindung.
Ia menjelaskan, warga masyarakat yang ingin bertapa bisa memohon izin ke Pemprov Bali, karena menurut Undang Undang (UU) tidak boleh seorangpun tinggal di kawasan hutan lindung.
“Kan memang tidak ada izin. Kalau sebelumnya ada koordinasi, ya tidak apa-apa. Juga kita khawatirkan dari segi keamanan di dalam kawasan hutan lindung. Walaupun kita tidak curiga terlalu jauh, namun secara UU memang tidak boleh tinggal di kawasan hutan lindung,” jelasnya.
Disebutkan Wiranata, jika pertapa tersebut memang bagian dari Hindu, seharusnya ada lembaga resmi yang mengayominya.
Misalnya, ada rekomendasi dari PHDI untuk bertapa.
Ia mencontohkan seperti penggunaan daging penyu dalam upacara.
Walaupun penyu dilarang dipakai karena merupakan satwa dilindungi, tetapi dengan mendapatkan rekomendasi dari Dinas Kelautan, maka penyu masih bisa untuk upacara.
“Yang kita khawatirkan, nanti kalau ada apa-apa di dalam hutan, dikira polhut (polisi hutan) melakukan pembiaran. Serba salah juga, karena polhut melaksanakan tindakan berdasarkan aturan UU. Sebetulnya kami juga kasihan kalau teman-teman Hindu kena getahnya,” jelasnya.
Secara terpisah, Ketua PHDI Bali, Prof. IGN Sudiana mengatakan dirinya belum mengetahui perihal Mahaguru Aertrya Narayana.
Sudiana akan memastikan lebih dulu status si pertapa, dan apakah dia telah memberitahu pihak PHDI atau belum soal kegiatannya.
“Kalau umat Hindu meminta perlindungan ke kita, akan kita berikan. Apakah beliau orang Hindu atau dari ajaran lain, saya belum berani memastikan. Tetapi kalau umat Hindu memberitahu ke kita, nanti kita akan turun untuk memberikan perlindungan,” jelas Sudiana kemarin.(*)