Simpang Ring Banjar

Lestarikan Kesenian Arja, Sanggar Sibuh Emas Banjar Kelusu Aktif Lagi

Aktivitas kesenian Banjar Kelusu, Desa Pejeng Kelod, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar kembali menggeliat

Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/I Wayan Eri Gunarta

Banyak Krama Kesurupan

Sejumlah perempuan sibuk membuat jajanan upakara di jaba tengah Pemerajan Agung Dalem Tenggaling lan Pura Agung, Banjar Kelusu Kamis (19/4/2018) siang.

Hal itu dilakukan serangkaian persiapan karya Malik Sumpah, Rsi Gana, Mupuk Pedagingan, Ngenteg Linggih, dan Gingkup, pada 16 Mei 2018.

Panitia Karya, Anak Agung Gede Geriya mengatakan, tempat suci tersebut merupakan Pura Dadya.

Di Banjar Kelusu sendiri, jumlah pengamongnya sebanyak 38 Kepala Keluarga (KK).

Seingat dia, ritual agung ini, belum pernah digelar pendahulu sebelumnya.

Sebab biaya yang dibutuhkan relatif besar.

Namun terkait anggaran, pihaknya tidak bisa menyebutkan, lantaran bersifat spontan.

“Astungkara, untuk biayanya ditanggung keluarga Puri Agung Kelusu. Krama hanya diminta bantuan tenaga,” ujarnya.

Menurut mantan Kepala Dinas Kebudayaan (Disbud) Gianyar ini, ritual agung ini digelar untuk menuntaskan Tri Rna atau tiga utang manusia dalam kehidupan.

Pitra Rna (utang pada leluhur), yang sudah dibayar melaui pelebon dan ngasti.

Rsi Rna (utang kepada pendeta), dan Dewa Rna (utang kepada Tuhan).

Terkait ritual agung ini, kata dia, dilukan untuk Dewa Rna.

Ritual tersebut akan berlangsung selama 14 hari penuh.

Dalam ritual ini, krama akan nedunin Ida Bhatara Sehunan, Ratu Sakti (Rangda) dan Ratu Alit (Hanoman).

Biasanya setiap Ida Bhatara tedun, sebagian besar krama kesurupan.

“Karena itulah, selama ini Ida Bhatara jarang tedun,” ujarnya.

Terkait adanya sesuhunan Hanonam, Gung Geriya menceritakan, puluhan tahun lalu, Puri Agung Kelusu memiliki Sekaa Drama Gong dengan judul Ramayana.

Setelah Drama Gong vakum karena kehilangan generasi, sehingga topeng Hanoman yang saat itu dipakai pentas distanakan di Pemerajan Agung Dalem Tenggaling lan Pura Agung.

“Dulu Ratu Alit sering pentas, tapi sejak melinggih tidak pernah pentas lagi. Jangankan pentas, nedunin pun kami harus ekstra hati-hati. Setiap tedun, banyak yang kesurupan,” ujarnya.

Gung Geriya mengatakan, Pura Dadya biasanya kesulitan menggelar ritual agung karena terbentur biaya.

Sebab bantuan pemerintah hanya diberikan pada Desa Pakraman.

Padahal, kata mantan Staf Ahli Bupati Gianyar ini, Dadya juga berperan dalam bidang kebudayaan, yang menjadi roh perekonomian Bali.

“Pura Dadya juga harus diperhatikan pemerintah, jangan hanya diberikan ke Desa Pakraman saja. Sebab Dadya juga berperan dalam ajeg Bali,” ujarnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved