Peneliti Australia Ungkap Dokumen Rahasia 1983 Soal Rencana Aksi Militer Indonesia di Timor Leste
Dikutip dari Sydney Morning Herald, Jumat (12/10) Clinton mengaku menemukan dokumen rahasia tersebut pada tanggal 3 Oktober 1983
TRIBUN-BALI.COM - Seorang peneliti Australia beberkan dokumen yang menyebut bahwa Indonesia pernah berencana membom Timur Timor dengan bombakar, Napalm.
Peneliti Australia bernama Clinton Fernandes itu beberkan isi dokumen rahasia tahun 1983 mengenai rencana aksi militer Indonesia di Timor Timur.
Clinton Fernandes sendiri ialah peneliti Australia sekaligus rektor kepala di Akademi Angkatan Bersenjata Australia.
Dikutip dari Sydney Morning Herald, Jumat (12/10) Clinton mengaku menemukan dokumen rahasia tersebut pada tanggal 3 Oktober 1983 yang ia ambil dari Arsip Nasional Australia.
Baca : Jet Tempur Andalan Amerika Jatuh, Pentagon Perintahkan Tarik Sementara Armada F-35
Clinton juga menyebut jika rencana pemboman tersebut juga diketahui oleh pemerintah Amerika Serikat.
Hal ini menjadi penemuan Clinton mengenai penelitiannya mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan Indonesia di Timor Timur saat menduduki bekas jajahan Portugis tersebut selama 24 tahun.
Clinton mengaku dalam dokumen juga menemukan surat dari konsulat Australia di Bali, Malcolm Mann yang dikirimkan kepada penasihat Kedubes Australia Dennis Richardson di Jakarta tanggal 26 September 1983.
Isi surat sendiri adalah hasil pembicaraan Malcolm dengan konsulat AS di Surabaya saat itu, Jay McNaughton.
Baca : Sasar Konjen Amerika di Bali, Aksi Massa GRM Menentang IMF WB: Kami Tidak Butuh IMF !
Dalam surat McNaughton mengaku pernah melihat laporan intelijen mengenai kegiatan militer Indonesia yang sedang mengisi Loadout F-5 Tiger II dengan bom pembakar Napalm untuk digunakan membombardir Timor Timur.
Menurut McNaughton, teknisi AS juga dimintai tolong agar memasang bom-bom Napalm di poin-poin cantelan senjata F-5 Tiger II.
Richardson kemudian meneruskan laporan itu kepada Kementerian Luar Negeri Australia di Canberra.
Laporan tersebut malah direspon acuh tak acuh oleh PM Australia saat itu, Bob Hawke.
Bob malah ingin masalah tersebut tak dibahas lagi lantaran bisa menganggu negosiasi Australia-Indonesia terkait eksplorasi minyak dan gas di Laut Timor.
