Begini Sosok Titi Wati di Mata Dokter Asal Bali yang Mengoperasinya
Dari pertemuannya dengan Titi, ia mengatakan pasiennya itu berkepribadian humble dan gampang diajak bicara.
Penulis: Busrah Ardans | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Ia juga menyebutkan, hari ini sudah masuk hari kedua pascaoperasi.
Pihaknya pun selalu berkomunikasi dengan pihak dokter di sana. Kondisi Titi Wati diakuinya stabil.
"Artinya tidak ada nyeri, mual, muntah, artinya tidak ada gejala-gejala gangguan pascaoperasi. Saat ini teman-teman rehab medis membantu pasien untuk latihan gerak pasif. Kemudian untuk dokter penyakit dalam tetap mengendalikan kadar gula darah. Teman-teman kardiologi mempertahankan fisiologis jantungnya baik. Begitu juga teman-teman dari dokter paru dan kulit," paparnya.
Bagian gizi pihak RS di sana pula menset-up ulang jenis makanan, pola makanan, dan jumlah makanan yang bisa dikonsumsi.
"Sejauh ini fungsi-fungsi organnya baik. Gerakan pasif yang dilakukan seperti simulasi orang berjalan, gerakan sendi. Sejauh ini pantangan hampir tidak ada, paling karena dia punya penyakit kencing manis jadi itu aja pantangannya," sambungnya.
Timnya juga bersyukur tidak ada kendala teknis yang berarti. Per hari ini pun dikatakannya, Titi tidak pakai infus dan dari teorinya 3-4 hari pascaoperasi pasien bisa dipulangkan.
Gede Eka juga membeberkan semua biaya operasi Titi ditanggung pihak di sana.
"Biayanya ditanggung penuh oleh Pemda Kalimantan Tengah. Tapi kami men-support sumberdaya daya manusia, men-support alat canggihnya yang dibawa dari RS Bros. Sementara Sanglah menyumbangkan sumber daya manusianya,"
Baca: Tak Banyak yang Tahu, Dokter Asal Bali ini Berhasil Operasi Pasien Obesitas 220 Kg Titi Wati
Baca: 7 Fakta Titi Wati, Wanita Berbobot 350 Kg, Mengaku Pernah Langsing Hingga Suruh Suami Nikah Lagi
Baca: Bocah Obesitas dengan Bobot 234 Kilogram Ini Kini Bisa Berjalan Kembali, Begini Tekadnya
"Dari keterangan Pemerintah dan pihak RS, mereka akan mengawasi pola makan Titi. Apalagi pihak Pemda memberikan bantuan kepada keluarganya untuk membuka usaha untuk kehidupan mereka," tambahnya.
Obesitas dalam konsennya sudah dinyatakan penyakit oleh WHO sejak 2016.
"Saya punya data obesitas penduduk Indonesia di tahun 2018 yang dewasa itu 21,8 persen, meningkat dibanding tahun 2013 yang mencatat 14,8 persen. Dari jumlah tersebut yang paling tinggi ada di Sulawesi Utara, kemudian Jakarta, Kalimantan Timur dan Papua,"
"Kalau kita bicara obesitas menurut Rakerdas (Riset Kesehatan Dasar) 2018 itu sebenarnya obesitas di Indonesia cukup tinggi. Sampai di angka 21 persen. Sementara kecenderungannya, penduduk di kota jauh lebih rentan terkena obesitas dibanding penduduk desa. Dan paling rentan diderita 29 persen perempuan, 11 persen laki-laki," jelasnya sembari menunjukkan data.
Sementara penyakit yang paling banyak di Indonesia adalah pertama hipertensi, DM dan ketiga obesitas.
Nomor satu dan dua berkaitan erat dengan obesitas. Dia belum tahu pasti penyebabnya, harus ada riset lagi untuk mengetahui penyebabnya.
Dari pandangannya, sebab pertamanya ialah pola hidup. Seperti adanya kuliner, kedua, menyepelekan masalah makan. Asal makan, namun tidak melihat isi atau kandungan gizi, volume kebutuhan tapi asal makan.
