Prof Suarka Optimistis Bahasa Bali Tak Punah, Kruna Mider Sebagai Wadah Kata-kata Asing

Akademisi Fakultas Ilmu Budaya Unud, Prof I Nyoman Suarka merasa optimis jika bahasa Bali tidak akan mengalami kepunahan

Penulis: Wema Satya Dinata | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/I Wayan Erwin Widyaswara
Peserta Festival Bahasa Bali mengerjakan tulisan di sisi timur Lapangan Puputan I Gusti Ngurah Made Agung, Denpasar, Kamis (23/2/2016). 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Akademisi Fakultas Ilmu Budaya Unud, Prof I Nyoman Suarka merasa optimistis jika bahasa Bali tidak akan mengalami kepunahan.

Menurutnya ada beberapa hal yang menjadi alasan bahasa Bali tidak akan punah, antara lain pertama, bahasa Bali memiliki aksara sendiri sehingga pelestarian bisa dengan cara menggunakan aksaranya.

Kedua, penutur bahasa Bali masih cukup banyak.

Bahasa daerah terancam punah bila penuturnya semakin sedikit, sedangkan untuk bahasa Bali masih tetap eksis dan dipergunakan masyarakat dalam komunikasi sehari-hari.

Ketiga, bahasa Bali integral dalam kehidupan masyarakat Bali.

Integral maksudnya ketika berbicara mengenai adat, agama dan seni di Bali wajib menggunakan bahasa Bali.

Baca: Perbekel Gila Mesatua Bali, Rayakan Bulan Bahasa Bali dengan Buat Video Mesatua Setiap Hari

Baca: Alissa Stern, Bule Asal Amerika Bawa Bahasa Bali Raih Nobel Bahasa, Orang Bali Sendiri Bagaimana?

Sedangkan, di Papua bahasa suku mereka adalah bahasa Indonesia.

Mereka tinggalkan bahasa daerahnya, dan merasa lebih baik menggunakan bahasa Indonesia.

“Ini yang menyebabkan bahasa itu punah, karena sikap penuturnya yang mulai meninggalkan,” terangnya di Denpasar, Jumat (1/3/2019).

Keempat, lanjut Prof Suarka, bahasa Bali memiliki kekuatan.

Kekuatan adaptasi bahasa Bali berupa perangkat untuk menyesuaikan diri terhadap kata-kata asing yang disebut Kruna mider.

Seringkali masyarakat umum menganggap ketika ada kata-kata asing dikira merusak bahasa Bali, menurutnya itu salah.

Baca: Kesetiaan Orang Bali Dirantauan Terhadap Bahasa Bali Lebih Kuat Dibanding yang Tinggal di Bali

Baca: Hanya 12,73 Persen Masyarakat yang Masih Mengajarkan Bahasa Bali kepada Anak-anaknya

Jadi justru memperkaya bahasa Bali yaitu kruna midernya.

Kruna mider berfungsi untuk mewadahi kata-kata serapan bahasa asing, dan kruna ini berfungsi umum kepada siapa saja dan juga bisa digunakan oleh semua orang kepada semua tingkatan.

Sifatnya universal, berlaku untuk semua penuturnya.

“Misalnya, ampura Ratu Peranda HP titiang telas pisan pulsane. Ampura ring driki titiang matur, malih jebos lanturang titiang. Titiang kantun otw ratu, macet ring margi. Ratu stand by manten ring Griya, ampura dumun. Jadi bahasa itu lazim saja, Ida Peranda pasti mengerti,” imbuhnya mencontohkan.

Kata stand by, otw, HP, dan pulsa termasuk kruna mider.

Kruna mider itu berfungsi sebagai wadah dari kata-kata asing itu, sehingga ia meminta masyarakat jangan takut menggunakan bahasa Bali.

Lebih lanjut dikatakannya, ranah pemakaian bahasa, namanya bahasa ibu.

Baca: Terbitkan 90 Buku Berbahasa Bali & Indonesia, Manda: Yang Beli Hanya Mahasiswa yang Mau Skripsian

Baca: Terbitkan 90 Buku Berbahasa Bali & Indonesia, Manda: Yang Beli Hanya Mahasiswa yang Mau Skripsian

Dan bahasa ibu domainnya ada di keluarga.

Inilah tujuannya agar bahasa Bali dibiasakan mulai dari keluarga.

“Gampang saja, misalnya memberi label pada anak. Jadi supaya memakai kata-kata Bali misalnya kalau anak pertama, Ni Luh Putu atau Putu Gede untuk anak pertama laki-laki. Harus ada kata-kata yang memberi label pada mereka sebagai bentuk pengakuan identitas orang Bali,” tuturnya.

Dalam keluarga, orang Bali tidak perlu menggunakan bahasa Bali halus, tetapi bisa menggunakan bahasa kepara atau bahasa sehari-hari, karena bahasa Bali adalah bahasa yang elastis.  

Sejarah menunjukkan bahasa Bali adalah bahasa yang sangat adaptif, sehingga dia (bahasa Bali) bisa menerima unsur-unsur pinjaman dari berbagai bahasa, dan dia akan menggunakan bahasa yang dipinjam itu sesuai dengan kaidah bahasa Bali.

“Dia tidak luluh dengan kaidah bahasa lain. Katakanlah bahasa Jawa Kuno, makanya aksara di Jawa jumlahnya 20, sedangkan di Bali jumlahnya 18. Dia ‘perkosa’ aksara itu sesuai kaidah bahasa Bali,” tandas mantan Ketua panitia Bulan Bahasa Provinsi Bali tahun 2019 ini. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved