Pertanian Organik Harus Dimulai dari Hulu ke Hilir, Dewan Usulkan Pemerintah Beri Subsidi Hasil

Sistem Pertanian organik merupakan salah satu bagian dari penerapan pertanian yang berkelanjutan

Penulis: Wema Satya Dinata | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/I Made Prasetia Aryawan
JELANG FESTIVAL - Petani tampak menggarap sawahnya di kawasan Warisan Budaya Dunia (WBD) Jatiluwih, Penebel, Tabanan, Kamis (6/9/2018). Pertanian Organik Harus Dimulai dari Hulu ke Hilir, Dewan Usulkan Pemerintah Beri Subsidi Hasil 

Menurutnya, selama ini petani diberikan subsidi awal berupa pupuk, bibit dan alat-alat pertanian.

Dan dalam prakteknya tidak membuat petani sejahtera karena banyak bantuan yang tidak tepat sasaran dan tidak tepat guna.

“Contohnya seperti di daerah Kintamani, saya banyak menemukan traktor-traktor besar, yang sebenarnya tidak cocok untuk medan Kintamani, tapi barang-barang seperti itulah yang sampai di Kintamani. Hal-hal seperti ini artinya ada bantuan tapi tidak tepat guna,” ujar Parta mencontohkan.

Apa itu subsidi hasil?

Adalah subsidi yang diberikan untuk memastikan petani mendapat uang atau hasil saat panen.

Parta menceritakan bahwa ibunya merupakan seorang petani cabai.

Pernah beberapa waktu lalu harga cabai mahal hingga tembus Rp 100 ribu, sehingga ada perasaan sumringah ibunya karena berpikiran akan mendapat keuntungan yang besar. 

Namun tak berselang lama situasi itu menjadi ramai di media, sehingga akhirnya Pemerintah melakukan operasi pasar.

Pemerintah, seperti Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, Bulog melakukan operasi pasar.

“Akhirnya harganya menjadi Rp 20 ribu, menangis memen tiange (Ibu saya). Akhirnya negara pun memusuhi dia (petani red). Ketika dia panen negara memusuhi,” tuturnya.

Baca: Meskipun Kondisinya Sehat, Ketut Budi Arta Bangga Menjadi Peserta JKN-KIS

Baca: Gede Wira Koleksi 70 Piala, Rajin Ikut Lomba Menggambar dan Mewarnai Sejak Setahun Lalu

Menurutnya, cara membuat petani sejahtera bukanlah berada pada persoalan produksinya, namun lebih pada persoalan adakah kepastian petani itu mendapat uang atau hasil ketika dia panen, baik produknya berupa organik ataupun anorganik.

“Kalau seperti ini terus, petani akan segini-segini saja. Dan ketika petani tidak berkembang kehidupannya, maka dipastikan kita tidak akan bisa mengerem alih fungsi lahan di Bali,” imbuhnya.

Ditambah lagi, Petani yang masih ada di Bali saat ini adalah petani yang sudah berumur, sedangkan petani yang muda-muda sudah tidak ada lagi.

Anggota Komisi II DPRD Bali, Gede Kusuma Putra mengatakan sistem pertanian organik tidak mungkin bisa diterapkan secara serentak di Bali.

“Tolong dimulai dari hulu, contoh Jatiluwih, jangan coba-coba memulai di hilir. Kalau dimulai dari hilir, ketika di hulu air sudah tidak organik karena ada pestisida maka tidak bisa,” kata Kusuma Putra.

Halaman
123
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved