Legong Klasik Saba Tampil di PKB 2019, Sanggar Seni Saba Sari Terus Upayakan Pelestarian
Kesenian Legong Klasik Saba ini dibawakan oleh para seniman Sanggar Seni Saba Sari, Desa Saba
Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Irma Budiarti
Legong Klasik Saba Tampil di PKB 2019, Sanggar Seni Saba Sari Terus Upayakan Pelestarian
Laporan Jurnalis Tribun Bali, I Wayan Sui Suadnyana
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Suasana hari Kamis (27/6/2019) siang pukul 11.00 Wita sangatlah terik dan panas, namun tak menyurutkan semangat pengunjung untuk menonton Kesenian Legong Klasik Saba.
Kesenian klasik ini dibawakan oleh para seniman Sanggar Seni Saba Sari, Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh, sebagai Duta Kabupaten Gianyar serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-41 tahun 2019.
Sanggar Seni Saba Sari tak hanya menampilkan legong klasik khas Saba semata.
Sebagai persembahan awal, dimainkan instrumen gamelan bertajuk Sekar Gendotan karya maestro I Wayan Lotring.
Garapan kedua yakni Tari Gabor yang ditujukan sebagai sebuah tari penyambutan.
Sebagai persembahan ketiga, sanggar dari gumi seni Gianyar ini menampilkan Tari Legong Lasem dan keempat yakni Tari Jauk Manis.
Baca: Mantan Perbekel Desa Dauh Puri Klod Diperiksa, Kasus Dugaan Korupsi APBDes Rp 1 Miliar Lebih
Baca: Ternyata Kulit Pisang Bisa Kurangi Keriput di Wajah, 6 Langkah Ini Bisa Ditiru
Persembahan pamungkas pun datang dari Tari Legong Raja Cina yang direkonstruksi dan dikembangkan oleh AA Ngurah Serama Semadi.
Sebagai pemimpin Sanggar Seni Saba Sari, AA Ngurah Serama Semadi mengungkapkan bahwa sanggar ini telah lama mengupayakan pelestarian kesenian Legong Klasik.
“Mulanya pada tahun 1911 oleh ayah saya sendiri yakni AA Gde Raka Saba,” ujar pria yang akrab dengan sapaan Gung Aji ini yang dijumpai saat pementasan di Kalangan Angsoka, Taman Budaya (Art Center) Denpasar, Kamis (27/6/2019).
Sebagai penerus dari sanggar yang berlokasi di Puri Saba, kediaman Gung Aji, ia pun mulai menyadari bahwa terdapat sebuah Tari Legong yang keberadaannya perlu direkonstruksi.
“Raja Cina ini adalah Legong hasil rekonstruksi yang saya lakukan pada tahun 2012, dulu pernah mati dan tidak ada legong itu,” terang Gung Aji.
Baca: Bersitegang dengan Leo Tupamahu pada Laga BU vs Kalteng Putra, Begini Komentar Sukadana
Baca: Perluas Kerja Sama Strategis, BRI Berikan Fasilitas Kustodian pada BPD Bali
Berbekal warisan tabuh pengawak, Gung Aji pun memulai proses rekonstruksi dengan bermain pada referensi tari Legong di masa lalu dari sang ayah, sehingga dapat membayangkannya, mengolah, dan menyesuaikan antara gerak dan tabuhnya.
Dalam merekonstruksi, Gung Aji tak sendiri, kehadiran maestro sekaligus pengamat seni layaknya I Wayan Dibia, I Made Bandem dan Ni Ketut Arini memberi masukan membuat rekonstruksi ini akhirnya rampung.