Purnama, Tumpek Wayang, hingga Buda Kliwon, Ini Rerahinan di Bali Selama November 2019
Pada bulan November 2019 ini, terdapat delapan hari raya atau rerahinan umat Hindu di Bali.
Penulis: Putu Supartika | Editor: Meika Pestaria Tumanggor
Artinya saat Pancawara Kliwon, merupakan payogan atau beryoganya Bhatara Siwa.
Pada saat ini sepatutnya melakukan penyucian dengan mempersembahkan wangi-wangian bertempat di merajan, dan diatas tempat tidur.
Sedangkan di halaman rumah, halaman merajan dan pintu keluar masuk pekarangan rumah, patut juga mempersembahkan segehan kepel dua kepel menjadi satu tanding, dan setiap tempat tersebut, disuguhkan tiga tanding yaitu:
Di halaman merajan, kepada Sang Bhuta Bhucari.
Di pintu keluar masuk, kepada Sang Durgha Bhucari.
Dan untuk di halaman rumah, kepada Sang Kala Bhucari.
Maksud persembahan berupa labaan setiap Kliwon ini untuk menjaga agar pekarangan serta keluarga semuanya mendapat perlindungan dan menjadi sempurna.
Sementara untuk Kajeng Kliwon juga disebutkan:
Kadi ring keliyon nemu atutan kewala tambahane sega warna limang warna, dadi awadah, ring dengen juga genahing caru ika, ika sanding lawang ring luur, aturane canang lenga wangi burat wangi, canang gantal, astawakna ring Durga Dewem, ne ring sor, ring Durga Bucari, Kala Bucari buta Bucari, palania ayu paripurna sira aumah, yania tan asiti mangkana I Buta Bucari, aminta nugeraha ring Bhatari Durga Dewem, mangerubadin sang maumah, angadakakan desti, aneluh anaranjana, mangawe gering sasab merana, apasang pengalah, pamunah ring sang maumah, muang sarwa Dewa kabeh, wineh kinia katadah da waduanira Sang Hyang Kala, nguniweh sewaduanire Dewi Durga, tuhunia mangkana, ayua sira alpa ring wuwus manai.
Artinya;
Sementara itu pada hari raya Kajeng Kliwon, untuk upakaranya sama seperti pada hari Pancawara Kliwon, hanya tambahannnya yaitu segehan lima warna lima tanding.
Pada samping kori sebelah atasnya dipersembahkan canang wangi-wangi, burat wangi, canang yasa, dan yang dipuja ialah Hyang Durga Dewi.
Yang disuguhkan di bawah untuk Sang Durga Bhucari, Kala Bhucari, Bhuta Bhucari, dengan tujuan agar berkenan memberikan keselamatan kepada penghuni rumah.
Jika tidak melakukan hal itu, maka Sang Kala Tiga Bhucari akan memohon penugrahan kepada Bhatara Durga Dewi, untuk mengganggu penghuni rumah, dengan jalan mengadakan gering atau penyakit dan mengundang kekuatan black magic, segala merana, mengadakan pemalsuan, yang merajalela di rumah, yang mana mengakibatkan perginya para Dewata semuanya, dan akan memberi kesempatan para penghuni rumah disantap oleh Sang Hyang Kala bersama-sama dengan abdi Bhatara Durgha.
4. Tumpek Wayang
Pada Sabtu (16/11/2019) umat Hindu merayakan Tumpek Wayang.
Bagi yang lahir wuku Wayang mereka akan mengikuti ruwatan atau sapuh leger.
Akademisi yang juga seorang praktisi yang dalam hal ini adalah dalang, Komang Indrawan, atau yang lebih dikenal dengan nama Komang Gases mengatakan bahwa peruwatan wayang sapuh leger yang dilakukan bagi mereka yang lahir wuku wayang kembali kepada teologi dan mitologi sejarah orang tua dulu, yang mengatakan bahwasannya wayang sapuh leger merupakan warisan yang patut dilestarikan.
“Tujuannya bukan hanya ngeruak atau membersihkan badan secara jasmani, tapi juga ngeruak bhuana alit dan bhuana agung,” kata Indrawan.
Bhuana Alit yang dibersihkan menurutnya adalah badan yang kita miliki dan terkena aura negatif sehingga perlu membersihkan diri.
“Secara kasat mata kan kita mesiram (mandi) tapi secara batin membersihkan kayika, wacika, dan manacika (perbuatan, perkataan, dan pikiran). Jangnkan hanya melukat sapuh leger atau bebayuhan melik, semua penglukana memiliki pertanda agar kita lebih mengerti dan paham bahwa usai melukat kenapa kita berkata kasar, kenapa melakukan kegiatan tidak baik, kenapa kita berpikir tidak baik. Seperti itu sebenarnya,” imbuh Indrawan.
Ia menekankan, bahwa jika seseorang tidak mengerti maka percuma melukat, walaupun sampai 200 kali mebayuh maupun melukat, kalau karakter tidak bagus tetap saja tidak bisa bersih.
Menurutnya mebayuh, melukat, mesudamala hanya pertanda untuk mengingatkan kepada diri agar bisa menjaga perkataan, perbuatan, maupun pikiran.
“Tujuan sapuh leger kan bisa juga kita lihat dari katanya yaitu sapuh yang berarti membersihkan dan leger itu leget atau kotor. Sehingga sama artinya dengan membersihkan sesuatu yang kotor.” katanya.
5. Buda Wage Klawu
Buda Wage Klawu pada bulan ini dilaksanakan pada Rabu (20/11/2019).
Buda Wage Klawu ini dirayakan setiap enam bulan sekali atau 210 hari sekali.
Pertemua antara saptawara Buda (Rabu) dengan pancawara Wage serta wuku Klawu inilah yang disebut sebagai hari raya Buda Wage Klawu.
Hari raya ini juga dikenal dengan nama Buda Cemeng Klawu dan dirayakan hari ini, Rabu (24/4/2019).
Hari raya ini merupakan pemujaan terhadap Bhatara Rambut Sedana yang dilaksanakan di merajan keluarga, pemilik toko, pura khayangan tiga desa pakraman, maupun pura khayangan jagat di Bali.
Beberapa umat Hindu juga ada yang memaknainya dengan menghaturkan banten di tempat penyimpanan uang maupun di uangnya.
Selain itu, dalam lontar Sundarigama disebutkan;
Buda waga, ngaraning Buda Cemeng, kalingania adnyana suksema pegating indria, betari manik galih sira mayoga, nurunaken Sang Hyang Ongkara mertha ring sanggar, muang ring luwuring aturu, astawakna ring seri nini kunang duluring diana semadi ring latri kala.
Berdasarkan terjemahan lontar Sundarigama yang diterbitkan oleh Parisada Hindu Darma Kabupaten Tabanan tahun 1976, artinya;
Budha Wage, Budha cemeng namanya, keterangannya ialah, mewujudkan inti hakekat kesucian pikiran, yakni putusnya sifat-sifat kenafsuan, itulah yoga dari Bhatari Manik Galih, dengan jalan menurunkan Sang Hyang Omkara amrta (inti hakekat kehidupan), di luar ruang lingkup dunia skala.
Maka patut melakukakan upacara dengan sarana wangi-wangi, memuja disanggar dan di atas tempat tidur serta menghaturkan kepada Sang Hyang Çri, lalu melakukan renungan suci pada malam harinya.
Selain itu, dalam kepercayaan masyarakat Bali pada hari ini tidak diperbolehkan untuk melakukan transaksi dengan uang misalnya membayar hutang, menagih hutang atau menabung.
Walaupun pada saat ini kepercayaan ini sangat sulit untuk dilaksanakan, namun ada pelajaran berharga yang bisa dipetik bahwa sebagai manusia kita harus mampu untuk mengendalikan diri dan mengekang hawa nafsu.
Selain itu menjadi paham bahwa uang bukan segalanya karena di atas segala-galanya masih ada kuasa Tuhan yang mengatur semua itu.
6. Hari Bhatara Sri
Jumat (22/11/2019) dirayakan hari Bhatara Sri.
7. Anggara Kasih Dukut
Pada Selasa (26/11/2019) yakni Anggara Kasih Dukut.
Anggara (Selasa) Kliwon Dukut merupakan hari raya Hindu yang jatuh setiap enam bulan sekali atau yang biasa disebut Anggara Kasih Dukut.
Anggara Kasih Dukut merupakan hari raya atau rerahinan yang jatuh berdasarkan pertemuan antara Saptawara yaitu Anggara, Pancawara yaitu Kliwon, dan wuku Dukut.
Terkait Anggara Kasih, dalam Lontar Sundarigama disebutkan:
Nahanta waneh, rengen denta, Anggara Keliyon ngarania Anggara Kasih, pekenania pengasianing raga sarira. Sadekala samana yogia wang amugpug angelakat sealaning sarira, wigenaning awak, dena ayoga wang apan ika yoganira, Betara Ludra, merelina alaning jagat teraya, pakertinia aturakna wangi-wangi, puspa wangi, asep astanggi muang tirta gocara.
Artinya:
Yang lain lagi yang perlu diperhatikan, ketika Anggara bertemu Kliwon disebut sebagai Anggara Kasih.
Anggara Kasih merupakan hari untuk mewujudkan cinta kasih terhadap dirinya.
Selain itu juga menunjukkan rasa kasih pada semua makhluk.
Sehingga pada hari itu sepatutnya melakukan peleburan dosa, dan merawat dari diri segala kecemaran.
Kecemaran ini utamanya kecemaran pikiran yang melekat pada diri.
Caranya yaitu dengan jalan melakukan renungan suci.
Karena dalam keadaan yang demikian, Sang Hyang Ludra melakukan yoga, yang bertujuan memusnahkan kecemaran dunia.
Adapun sarana upakara yang dipersembahkan yaitu wangi-wangi, dupa astangi, dan dilanjutkan dengan matirtha pembersihan.
8. Tilem Kelima
Selasa (26/11/2019) merupakan perayaan bulan gelap pada bulan kelima atau Tilem Kelima bagi umat Hindu khususnya di Bali.
Menurut Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Putu Eka Guna Yasa, pemujaan kepada gelap atau Tilem itu jelas sekali ditujukan kepada Siwa.
Menurutnya, dalam Jnyana Sidantha disebutkan di dalam matahari ada suci, di dalam suci ada siwa, di dalam siwa ada gelap yang paling gelap.
Hal itulah yang menyebabkan tilem mendapatkan pemuliaan.
Guna mengatakan di daerah Bangli ada Pura Penileman, dimana setiap Tilem dilakukan pemujaan di sana.
"Di Pura Penileman dilakukan pemujaan kepada Siwa, karena ada warga masyarakat yang nunas (meminta) pengidep pati atau sarining taksu jelas sudah Siwa. Bukti arkeologis ada arca Dewa Gana yang merupakan putra Siwa,” katanya.
Sehingga dalam konteks kebudayaan di Bali yang dimuliakan bukan bulan terang saja atau Purnama, tapi gelap yang paling gelap juga dimuliakan.
Sementara itu, dalam buku Sekarura karya IBM Dharma Palguna halaman 9 dikatakan, kepada kita para Guru Kehidupan (dan Guru Kematian) mengajarkan agar menghormati gelap, tidak kurang dari hormat pada terang.
Hormat pada gelapnya bulan mati (Tilem) tidak kurang dari hormat kita pada terang bulan purnama.
Disebutkan lebih lanjut dalam buku itu pada halaman 10, pembelaan Mpu Tan Akung kepada gelap yaitu gelap tidak harus dihindari atau diusir dengan mengadakan terang buatan.
Tapi dengan memasukinya, menyusupinya, meleburkan diri di dalamnya, atau memasukkannya ke dalam diri.
Saat Tilem atau bulan mati, umat Hindu wajib untuk mengenyahkan segala dosa, noda, dan kekotoran dari dalam diri.
Dalam lontar Sundarigama juga disebutkan.
Mwang tka ning tilem, wenang mupuga lara roga wighna ring sarira, turakna wangi-wangi ring sanggar parhyangan, mwang ring luhur ing aturu, pujakna ring sanggar parhyangan, mwang ring luhur ing aturu, pujakna ring widyadari widyadara, sabhagyan pwa yanana wehana sasayut widyadari 1, minta nugraha ri kawyajnana ning saraja karya, ngastriyana ring pantaraning ratri, yoga meneng, phalanya lukat papa pataka letuh ning sarira.
Artinya:
Pada saat Tilem, wajib menghilangkan segala bentuk dosa, noda, dan kekotoran dalam diri.
Dengan menghaturkan wangi-wangian di Sanggar atau di parahyangan, dan di atas tempat tidur, yang dipersembahkan kepada bidadari dan bidadara.
Akan lebih baik jika mempersembahkan 1 buah sesayut widyadari untuk memohon anugerah agar terampil dalam melaksanakan segala aktivitas.
Pemujaan dilakukan tengah malam dengan melakukan yoga, atau hening.
Pahalanya adalah segala noda dan dosa yang ada dalam diri teruwat. (*)