Kepala BB Vet Duga Kematian Babi di Badung karena Cuaca, Masih Tunggu Hasil Pengujian di Medan
Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar, I Wayan Masa Tenaya mengaku sudah turun ke lapangan untuk melakukan pengambilan sampel terhadap babi yang mati
Penulis: Wema Satya Dinata | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR-Kepala Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar, I Wayan Masa Tenaya mengaku sudah turun ke lapangan untuk melakukan pengambilan sampel terhadap beberapa babi yang mati di Kabupaten Badung.
Pengambilan sampel bagi babi yang mengalami suspect selanjutnya sudah dikirim ke Medan karena terkait pengujian sampel di Indonesia, khususnya penyakit Babi, difokuskan di Balai Veteriner Medan sebagai lab rujukan penyakit babi.
“Jadi sampel yang kita ambil sudah dikirimkan ke Medan. Khusus pengujian penyakit eksotik, pengujian untuk babi bertempat di Medan, Sumatera Utara,” kata Masa saat ditemui di Ruang Kerjanya, Senin (20/1/2020).
• Setelah Aksi Klaim Natuna, China Marah Kapal Induk Amerika Berlayar di Selat Taiwan
• Disebut-sebut Jadi Simpanan Petinggi Garuda, Siwi Sidi Puwanti Datangi Polda Metro
• Banyak Babi Mati, Dewan Harapkan Peternak Babi di Badung Tidak Cemas
Pihaknya mengaku sudah mengambil sampel sesuai aturan dan sudah melaporkan kejadian ini ke Jakarta.
Setelah itu Pemerintah Pusat yang mengambil kebijakan dengan berbagai pertimbangan.
“Walaupun ditembuskan ke BBVet Denpasar, tapi harus menunggu arahan Jakarta. Saya tidak boleh menyampaikan itu. Saya tidak tahu kapan selesai karena masih harus dianalisis di Jakarta,” ujarnya.
Menurut dugaannya kemungkinan matinya babi di Badung ini akibat pengaruh cuaca saja, karena saat ini, di Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya, kondisi cuaca sedang buruk.
• Aktor Asal Bali Ini Tetap Usaha Bayi Tabung Meski Istri Hampir 50 Tahun Dan Dua Kali Gagal
• BNNP Bali Ungkap Tindak Pindana Narkotika Jaringan Medan, Pelatih Surfing Ditangkap di Canggu
• Pendiri Lotte Group Meninggal Dunia, Awali Usaha dari Permen Karet hingga Jadi Konglomerat Korea
Saat ini Indonesia sedang memasuki musim Pancaroba yakni peralihan dari musim kemarau yang panjang ke musim hujan.
Sebelumnya sudah ada penyakit pada babi di Bali seperti Septicemia Epizootica (SE), Hog Cholera, dan streptococcus.
Sedangkan penyakit yang lainnya belum dilaporkan ada, seperti penyakit eksotik termasuk African Swine Fever (ASF) yang sedang terjadi di beberapa negara.
Lebih lanjut dijelaskan terkait tugas BBVet adalah melakukan tugas investigasi, surveillance dan monitoring.
Sudah disepakati dengan Dinas Peternakan se-Bali, kalau ada masyarakat yang melapor terkait penyakit-penyakit babi agar disampaikan ke Dinas Peternakan setempat.
• Hendak Bersihkan Sungai, Sudiarsa Terkejut Menemukan Jenazah Bayi di Dalam Ransel
• Masih Marak, Berikut Data Kasus Pembuangan Bayi di Bali 2018-2019
Selanjutnya dinas akan turun ke lapangan untuk memverifikasi dan mengkaji apakah kasusnya pantas dilaporkan ke BBVet.
“Jadi itu dilaporkan kepada kami, dan atas rekomendasi dinas kabupaten kami menindaklanjuti untuk mengetahui apa penyakitnya. Terkait pengujian, laboratorium yang ada di Indonesia sudah dibagi sesuai tugas dan fungsi utamanya. Seperti di Bali digunakan sebagai rujukan nasional untuk penyakit SE dan Jembrana ” terangnya.
Dikatakan segala usaha apapun, termasuk menjadi peternak Babi, pasti ada risikonya.
Pemberian makan dari sampah mungkin segera harus ditinggalkan karena hal itu tidak berstandar dan berpotensi menularkan penyakit apa saja dari makanan itu.
Sehingga adanya penyakit ASF yang terjadi di Cina dan Sumatera Utara mungkin sudah mempengaruhi pikiran para peternak di Bali sehingga harus melapor ke BBVet.
Yang sudah melapor, kebetulan populasi tertinggi ada di Bali Selatan seperti Denpasar, Badung, dan Tabanan.
“Ini sporadis karena musim hujan. Sebelumnya pada musim kering gak ada yang mati,” ujarnya.
Pencegahannya bisa dilakukan dengan bio security dan bio safety.
Maksudnya, peternak harus memastikan jangan ada yang lalu lalang memasuki kandang, dan jangan sampai memasukkan makanan yang sudah terkontaminasi dari luar.
Pemerintah sudah memberikan informasi awal kepada peternak babi bahwa harus waspada dan hati-hati terkait rambu-rambu saat beternak.
Di samping itu, tidak semua penyakit ada vaksinnya, misalnya streptococcus.
Tetapi walaupun sudah ada vaksinnya belum tentu semua babi divaksinasi.
Seperti Hog Cholera semestinya divaksin 2 minggu setelah ditempatkan di tempat yang baru, sedangkan untuk menghindari SE, di atas 3 bulan baru bisa divaksin.
Kepala Bidang Pelayanan Veteriner, I Ketut Wirata menambahkan seluruh laporan masyarakat yang sudah diverifikasi oleh dinas dan dinyatakan layak untuk diuji, selanjutnya dari BBVet Denpasar pasti turun ke lapangan.
“Itu merupakan bentuk tugas dan fungsi kita. Tidak boleh kita menunda dan menangguhkan, tetap harus direspon. Untuk kasus di Badung itu memang sudah ditangani,” ujar Wirata
Terkait hasilnya, pihaknya mengaku tidak bisa mengintervensi terkait sesuatu pengujian penyakit yang baru.
Nanti hasilnya mungkin akan ditembuskan ke BBVet Denpasar juga, tetapi sampai saat ini belum diterima.
“Yang pasti sudah dilaporkan ke pusat, selanjutnya pusat yang menyampaikan kepada kami terkait hasilnya (pengujiannya red),” jelasnya.
Sebelum sampai pada hasil, ia menyarankan sebaiknya peternak memotong siklus penularan penyakit melalui bio security dan bio safety.
Seperti kalau ada babi yang sakit dilaporkan, sebaiknya diisolasi dengan memindahkan dan menjauhkan dari kelompok babi yang sehat.
Sedangkan jika babi itu sampai mati harus segera dikuburkan dan kandangnya dibersihkan dengan disinfektan, serta jangan langsung diisi babi yang baru.
Langkah lain termasuk menyediakan tempat mencuci dengan disinfektan bagi orang sebelum masuk ke kandang babi
Wirata menyampaikan hampir seluruh gejala penyakit pada hewan gejalanya sama, kecuali ada gejala khas, misalnya antraks terjadi pendarahan di semua lubang.
Sehingga untuk mengetahui penyakitnya perlu dilakukan pengujian laboratorium.
Khusus untuk penyakit ASF, kata dia, biasanya tingkat kematian babi sangat tinggi, jumlahnya mencapai ribuan ekor.
Sedangkan di Bali sifatnya masih sporadis, tidak serentak dan mewabah.
Menurut dugaannya kemungkinan matinya babi itu terjadi karena pengaruh cuaca. (*)