Tak Pungut PHR 6 Bulan, Bangli Berpotensi Alami Penurunan PAD 50 persen
Dengan rincian Rp. 5,8 miliar dari sektor pajak restoran, dan Rp 909 juta dari sektor pajak hotel.
Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Wema Satya Dinata
TRIBUN-BALI.COM, BANGLI – Kebijakan pemerintah pusat untuk tidak memungut Pajak Hotel dan Restoran (PHR) selama enam bulan, berpotensi memicu turunnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bangli hingga 50 persen.
Walaupun ada kompensasi dari pemerintah pusat, Pemkab Bangli menilai jumlah yang didapatkan belum tentu menutup kekurangan secara menyeluruh.
Kepala Badan Keuangan, Pendapatan, dan Aset Daerah (BKPAD) Bangli, I Ketut Riang mengatakan, pendapatan dari sektor PHR untuk tahun 2020 ditarget sebesar Rp. 6,7 miliar.
Dengan rincian Rp. 5,8 miliar dari sektor pajak restoran, dan Rp 909 juta dari sektor pajak hotel.
• IMF Kucurkan Dana Rp 708,8 Triliun untuk Penanganan Virus Corona
• Tanggal Ini Pengumuman Hasil SKD CPNS
“Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, dimana untuk pajak restoran hanya ditarget sebesar Rp 2,4 miliar dan pajak hotel sebesar Rp 187,8 juta,” sebutnya saat ditemui Kamis (5/3/2020).
Riang tidak memungkiri pihaknya sudah sempat menerima Surat Edaran (SE) dari Kepala Dinas Pariwisata Bali ihwal 0 persen PHR selama enam bulan.
Hal ini tidak terlepas dari wabah Virus Corona yang tengah merebak.
Meski demikian, imbuh Riang, pemerintah pusat akan memberikan kompensasi penetapan 0 persen PHR ini.
“Ini untuk 10 Provinsi dengan sejumlah destinasi wisata. Informasi yang saya baca di media, kompensasinya sebesar Rp. 3,3 triliun,” ucap dia.
Dikatakan, beberapa waktu lalu pemerintah pusat juga sempat mengundang Sekda di seluruh Indonesia yang akan diberlakukan kebijakan 0 persen PHR.
Kendati demikian, pihaknya mengaku belum tau secara jelas seperti apa hasil koordinasi tersebut.
“Informasinya, dasar hibah dari pemerintah pusat itu berdasarkan realisasi di masing-masing objek. Umpamanya Bangli, target kita Rp 5 miliar per tahun, jika dihitung dalam enam bulan, estimasi pendapatan sebesar Rp 2,5 miliar. Itulah itungannya. Kemudian untuk pencairan uang dari pusat, menggunakan STPD (Surat Tagihan Pajak Daerah),” jelas Riang.
Riang mengaku hingga kini pihaknya belum menerapkan kebijakan 0 persen PHR.
Ini mengingat belum ada regulasi yang pasti.
Dia menjelaskan untuk tidak memungut harus ada perda yang berisi klausul tentang peringanan, serta ditindak lanjuti dengan perbup.
“Dasar hukum ini harus ada, sehingga tidak salah dalam penerapannya. Saya dengar (0 persen PHR) mulai dari 1 Maret hingga akhir Agustus. Tapi regulasinya mana, orang kita perbup dan perda saja belum. Pusat juga belum ada kepastiannya,” katanya.
Meskipun ada kompensasi dari pemerintah pusat sebesar Rp 3,3 triliun, Riang pesimis jumlah tersebut mampu menutupi seluruh kekurangan PAD dari sektor PHR.
Pasalnya kompensasi yang diberikan, dibagi untuk seluruh wilayah yang di-nolkan PHRnya.
“Tapi kita belum tau akan dialokasikan berapa, karena belum ada datanya dari pemerintah pusat. Yang pasti dari PHR tidak akan terpenuhi. Karena dengan enam bulan selanjutnya untuk mencover kekosongan itu agak susah. Mengingat kedatangan tamu tidak akan berbeda tiap bulannya. Mudah-mudahan enam bulan sisanya ini pendapatan mencapai Rp 4 hingga 5 miliar, sehingga target bisa terpenuhi. Tapi itu kecil kemungkinannya,” ujar Riang.
Dengan kecilnya kemungkinan untuk menutup PHR yang hilang selama enam bulan, Riang mengaku akan menggenjot sektor pajak lainnya.
Terutama dari sisi retribusi masuk pariwisata.
Ia menilai sektor pendapatan dari sisi retribusi ini sangat potensial, mengingat target retribusi pariwisata tahun 2020 berdasarkan tarif baru.
Dimana sesuai data, sektor retribusi pariwisata tahun 2020 ditarget sebesar Rp 41 miliar.
“Kalau aspirasi itu diamini dengan mengembalikan seperti tarif lama, akan semakin terkoreksi. Semakin jauh (PAD-nya), karena disanalah yang paling besar. Kalau PHR kan kecil,” ungkapnya. (*)