Ritual Sasih Kesanga, Alarm untuk Menjaga Hutan dan Air
Perayaan ritual di Sasih Kasanga dapat dimaknai sebagai alarm atau sebuah peringatan untuk menjaga hutan dan air.
Penulis: Putu Supartika | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Rembug Sastra Purnama Badrawada edisi purnama Sasih Kasanga 1941 Saka dilaksanakan di Pura Agung Jagatnata Denpasar, Bali dengan mengungkap aspek ekologis yang disembunyikan dalam ritus Sasih Kasanga di dua pura penting di Batur, Kintamani.
Pembicara dalam rembug ini yakni IK Eriadi Ariana (Jero Panyarikan Duuran Batur) dengan moderator Dosen Sastra Bali Universitas Udayan, Putu Eka Guna Yasa.
Dengan membawakan materi berjudul "Kasanga, Danau, dan Hutan: Monumen-monumen Pemuliaan dari Kaki Gunung Batur."
Data pada materi ini bersumber dari upacara yang digelar Pura Ulun Danu Batur dan Pura Alas Arum Batur pada Sasih Kasanga.
• Mengapa Kini Orang Lebih Mudah Nyinyir daripada Mikir?
• Rem Blong dan Persneling Rusak, Truk Tronton Tabrak Mobil dan Motor di Klungkung
• Ini Dua Faktor yang Bisa Menyebabkan Warna Gigi Menguning
Ia menyebut, Pura Ulun Danu Batur berelasi erat sebagai pemuliaan danau (air), sedangkan Pura Alas Arum Batur berkaitan dengan pemuliaan hutan.
"Danau dan hutan penting dimaknai secara mendalam, terlebih jika dikaitkan dengan bulan yang curah hujannya begitu tinggi seperti pada Sasih Kasanga," kata alumnus Sastra Jawa Kuno Universitas Udayana ini.
Ia mengatakan, perayaan ritual di Sasih Kasanga dapat dimaknai sebagai alarm atau sebuah peringatan untuk menjaga hutan dan air.
Karena jika manusia gagal mengelola hutan dan air ini pasti akan berdampak terjadinya bencana.
Ia mengatakan, Pura Ulun Danu Batur terkait dengan subak yang tergantung air, sedangkan Pura Alas Arum terkait dengan subak abian (ladang).
Antropolog Dr. I Ngurah Suryawan mengungkap saat ini ada ironi yang terjadi di Bali.
Di mana daerah resapan air yang terjadi di hulu Bali dalan kondisi yang tidak baik.
"Timpang dengan pemanfaatan yang dilakukan masyarakat di hilir. Oleh karenanya, diperlukan kesadaran menyeluruh dari berbagai komponen masyarakat Bali menyikapi persoalan ekologi Bali yang kian tak harmonis," katanya.
Ia mengatakan, perlu ada gerakan nyata yang harus dilakukan masyarakat dan tak boleh apolitis dengan persoalan ini.
Sementara itu, akademisi Politeknik Negeri Bali, IBP Suamba mengatakan perlu dibangun semacam pusat kajian tentang Batur.
Pusat kajian ini nantinya bisa merekam budaya maupun pengetahuan yang eksis di Batur.
"Ini akan berpeluang besar, di satu sisi akan menfokumentasikan kebudayaannya yang khas, termasuk sejarahnya," katanya.
Ditambahkan, jika pusat studi ini bisa dibangun, ia tidak hanya akan menjadi kantung data Batur.
Nantinya, ia juga dapat berkembang sebagai daya tarik untuk orang yang ingin belajar Batur maupun kebudayaan Bali Mula di kawasan Pegunungan Kintamani. (*)