39 Ogoh-ogoh di Denut Dinilai Disbud Denpasar Hari Ini, Termasuk 'Tedung Agung' Banjar Tainsiat
Salah satunya yang dinilai yakni ogoh-ogoh Banjar Tainsiat dengan ogoh-ogohnya Tedung Agung.
Penulis: Putu Supartika | Editor: Wema Satya Dinata
Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR- Hari ini, Rabu (18/3/2020) sebanyak 39 ogoh-ogoh di Kecamatan Denpasar Utara (Denut) dinilai.
Salah satunya yang dinilai yakni ogoh-ogoh Banjar Tainsiat dengan ogoh-ogohnya Tedung Agung. Ogoh-ogoh Tedung Agung ini digagas oleh I Nyoman Gde Sentana Putra alias Kedux.
Ketua ST. Yowana Saka Bhuwana, Pandie Paramadyaksa Ganantara mengatakan, pengerjaan ogoh-ogoh Tedung Agung tetap menggunakan bahan ramah lingkungan dengan waktu pengerjaan kurang lebih dua setengah bulan.
Namun terkait konsep sketsa Tedung Agung telah digarap sebelumnya oleh Kedux.
• Ini Jenis Golongan Darah yang Paling Rentan jika Terinfeksi Virus Corona
• Polisi Temukan Cairan Liquid Mengandung Narkotika, Kapolresta Jansen: Pelaku Membeli Secara Online
• Longsor di Banjar Bangle Desa Bunutan Karangasem Tutup Badan Jalan, Hambat Aktivitas Warga
Hal berbeda setiap tahunnya kita berusaha tampilkan yang tak terlepas dari filosofi ogoh-ogoh itu sendiri.
Dari tema Tedung Agung ide dari Kedux bahwa Tedung Agung merupakan konsep ogoh-ogoh yang jika di ambil dari folosofinya merupakan penyeimbang dunia.
"Jika dikaitkan dengan situasi kekinian maka Tedung Agung ini sejalan dengan konsep kosmologi Tri Hita Karana yang merupakan falsafah memayungi atau melindungi serta melestarikan keaneka ragaman budaya dan lingkungan di tengah derasnya hantaman globalisasi dan homogenisasi tanpa mengenyampingkan nilai-nilai ketuhanan," katanya.
Sebelumnya, menurut arsitek ogoh-ogoh Banjar Tainsiat, Nyoman Gede Sentana Putra atau yang biasa disapa Kedux konsep tedung agung ini ia dapatkan saat bulan Desember 2019 lalu.
"Di sini kan panas sekali, pas keluar kok dingin. Namun di sini panas pakai payung, di sana dingin juga pakai payung. Nah dapatlah saya ide payung Bali yang ada ornamennya yang unik," kata Kedux saat ditemui di rumahnya beberapa waktu lalu.
Kedux menyebutkan ada banyak filosofi dari payung ini yakni penyeimbang dunia.
"Jika dikaitkan dengan situasi kekinian maka Tedung Agung ini sejalan dengan Konsep kosmologi Tri Hita Karana yang merupakan falsafah yang dapat memayungi atau melindungi dan melestarikan keaneka ragaman budaya dan lingkungan di tengah derasnya hantaman globalisasi dan homogenisasi tanpa mengenyampingkan nilai-nilai ketuhanan," kata Kedux.
Selain itu, tedung ini bisa juga dilihat dari konsep kepemimpinan dimana tedung melambangkan sosok yang mengayomi masyarakat.
Jari-jari yang mengembang pada setiap tedung atau payung melambangkan gotong royong yang terfokus pada satu poros yang merupakan satu titik tujuan.
"Bulat pada Tedung merupakan falsafah dari keseimbangan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini yang meliputi hubungan dengan sesama manusia, hubungan dengan alam sekitar, dan hubungan dengan ke Tuhan yang saling terkait satu sama lain. Inti dari konsep ini dimana pelaksanaannya harus seimbang, selaras antara satu dan lainnya sehingga mampu membentengi diri dari sifat-sifat hidup manusia yang modern yang lebih mengedepankan individualisme dan materialisme," kata Kedux.