Koster Ingin Ekonomi Bali Tak Hanya Bergantung dari Pariwisata, Akademisi:Harus Tercermin dalam APBD

Kalau sektor pertanian tidak mulai diurus maka sektor pertanian Bali akan runtuh. Kita tahu sendiri akibatnya," kata Prof Windia

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Wema Satya Dinata
dok
ILUSTRASI-Lahan pertanian di Kecematan Tegalalang, Gianyar. Gubernur Bali Wayan Koster berkeinginan agar perekonomian masyarakat di Pulau Dewata tidak lagi sepenuhnya bergantung dari sektor pariwisata. Ekspor berbagai produk pertanian dan industri lokal Bali dapat dijadikan sebagai penunjang perekonomian masyarakat di Pulau Dewata. 

Laporan Jurnalis Tribun Bali, I Wayan Sui Suadnyana

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Gubernur Bali Wayan Koster berkeinginan agar perekonomian masyarakat di Pulau Dewata tidak lagi sepenuhnya bergantung dari sektor pariwisata.

Wacana dari Gubernur Koster tersebut mendapatkan tanggapan dari akademisi.

Guru Besar Fakultas Pertanian (FP) Universitas Udayana (Unud), Prof. I Wayan Windia mengaku setuju dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Gubernur Koster. 

"Kalau sektor pertanian tidak mulai diurus maka sektor pertanian Bali akan runtuh. Kita tahu sendiri akibatnya," kata Prof Windia saat dihubungi Tribun Bali dari Denpasar, Rabu (3/6/2020).

Bupati Banyuwangi Paparkan Skema New Normal di Webinar Kemendagri dan Kemenpan RB

Semua Wilayah Terpapar Covid-19, Bali Tak Masuk 102 Daerah yang Akan Terapkan New Normal

Sebagai Ungkapan Rasa Syukur Tabanan Masih Kondusif, Komang Sanjaya Sembahyang di Pura Puser Tasik

Menurutnya, jika Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali memang mau mengurus selain sektor pariwisata, khususnya pertanian, maka harus tercermin dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

 Selain itu Pemprov Bali juga harus bersiap karena pembangunan sektor pertanian tidak mendapatkan hasil yang instan.

"Jangan hanya kaok-kaok tentang perlunya pertanian tapi tak ada muncul anggarannya dalam APBD," kata ahli Subak Unud itu.

 Prof Windia juga meminta kepada Gubernur Koster agar jangan sekadar berwacana dan harus betul-betul memunculkan berbagai program pembangunan sektor pertanian dan didukung dengan anggaran dari APBD Provinsi Bali.

"Jangan sekadar wacana. Harus betul-betul muncul dalam program-program Pemda dan didukung anggaran dalam APBD," pintanya.

Dirinya menuturkan, seharusnya ide mengenai hal ini sudah dilaksanakan dua dekade yang lalu ketika sumbangan sektor primer (pertanian) ketika Produk Domestik Regional Broto (PDRB) Bali masih sekitar 19 persen dan sumbangan sektor tersier (pariwisata) sekitar 68 persen. 

Pada saat itu sudah banyak para pakar yang khawatir, tetapi masyarakat di Bali khususnya kaum elit terlanjur keenakan.

"Kini sumbangan sektor primer sudah anjlok menjadi 14 persen. Sakit sekali sektor pertanian kita," jelasnya.

 Baginya yang perlu dikembangkan saat ini bukanlah bahan mentah produk pertanian, melainkan harus mendapatkan olahan terlebih dahulu.

Produk pertanian olahan inilah yang harusnya diekspor ke luar negeri. Industri pengolahan, tuturnya, sangat penting peranannya bagi perekonomian masyarakat.

Kapolri Beri Kenaikan Pangkat Ke Polisi yang Lumpuhkan Pelaku Penyerangan dan Bakar Mobil Patroli

Sebaran 684 Kasus Baru Covid-19 di 23 Provinsi, di Jawa Timur Lampaui Jakarta, Bali 3 Kasus Baru

Kadek Jefri Lelang Lukisan dengan Bahan Pangan, Harga Awal Senilai Beras Satu Ton

Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mengimpor manggis adalah untuk diolah kulitnya menjadi bahan obat, kosmetik dan sebagainya. 

"Yang kita ekspor harus bahan olahan. Jangan sekedar manggis. Harus olahan manggis," kata dia.

 Windia juga memandang lebih baik Bali mengembangkan sektor pertanian dan olahannya dibandingkan dengan sektor pariwisata.

Sektor pariwisata di Bali sudah jenuh dan sudah mulai merusak alam dan sosial Bali.

"Sektor pariwisata tak usah diurus lagi. Mereka sudah pintar. Mungkin dinas pariwisata dibubarkan saja dan kemudian Bali perlu digabungkan dengan dinas kebudayaan. Kalau kebudayaan bali lestari praktis sektor pariwisata budaya yg berkualitas akan terjadi," tegasnya.

 Sebelumnya, usai menyerahkan stimulus kepada koperasi di Gedung Wiswa Sabha Kantor Gubernur Bali, Selasa (2/6/2020), Gubernur Koster mengungkapkan keinginannya agar masyarakat di Pulau Dewata tak sepenuhnya bergantung dari pariwisata.

 "Jadi kita harus sudah mulai melakukan suatu upaya untuk tidak bergantung sepenuhnya kepada pariwisata. Jadi sudah harus memikirkan sektor lain untuk memperkuat perekonomian di Bali," tuturnya.

 Menurut Koster, ekspor berbagai produk pertanian dan industri lokal Bali dapat dijadikan sebagai penunjang perekonomian masyarakat di Pulau Dewata.

Terlebih berbagai produk tersebut memang diminati oleh masyarakat di luar negeri.

 Koster menuturkan, salah satu produk dari Bali yakni buah manggis sangat digemari oleh masyarakat di luar negeri. Buah ini sudah diekspor ke berbagai negara, seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Dubai, Uni Emirat Arab.

"Paling disenangi (oleh mereka) manggis Bali," kata Gubernur Bali asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng itu.

Padahal, selain Bali ada berbagai daerah lain yang juga menghasilkan produk buah manggis, seperti Jawa Barat dan beberapa provinsi lainnya.

Namun, Koster menuturkan, produksi manggis Bali baru sekitar 4.000 sampai 5.000 ton per tahun. Jumlah produksi ini masih kurang karena RRT sendiri membutuhkan manggis sebanyak 9.000 ton per tahun.

Koster berkeyakinan, ketika nanti situasi sudah normal dari pandemi Covid-19, pasar ekspor untuk produk manggis diperkirakan akan sangat bagus.

Selain manggis kini produk pertanian lain seperti buah naga, salak dan pisang juga sudah mulai diminati di luar negeri. Pihaknya pun mengaku sedang mengembangkan pisang di Bali.

Kemudian untuk di bidang industri lokal Bali seperti perak, emas, patung juga akan diekspor ke luar negeri.

"Kita akan menjadi Bali sebagai pusat ekpor ke negara-negara lain," tutur mantan anggota DPR RI itu.

 Sebenarnya, kata Koster, ekpor yang dilakukan dari Bali ke berbagai negara masih sedang berjalan. Hanya saja, akibat transportasi belum dibuka dan tak ada penerbangan antarnegara, ekspor produk ini tidak bisa dijalankan lewat udara.

Ekspor ini, kata dia, hanya bisa dijalankan lewat laut dan harus melalui perjalanan yang cukup jauh.

 Jika ekspor menggunakan jalur laut, kapal dari Pelabuhan Benoa terlebih dahulu harus menuju ke Pelabuhan Tanjung Priok. Setelah itu baru diperbolehkan berjalan ke negara tujuannya sehingga membutuhkan waktu mingguan.

"Nah ini agak mahal karena kemasannya kan terlalu lama, buahnya kalau terlalu lama kan rusak dia diperjalanan," tuturnya.

"Jadinya (saat) ini (ekspor) terganggu sedikit. Nanti kalau transportasi udara sudah normal saya kira sudah banyak yang negara yang membuka pasar untuk Bali dalam bidang komuditas pertanian dan juga industri kerajinan rakyat," paparnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved