Corona di Bali

Pengamat Sosial Unud Ini Menilai Rapid Test Sebagai Syarat Administrasi Layak Dicabut

Pengamat sosial menilai kebijakan rapid test maupun swab test sebagai syarat administrasi diharapkan dapat segera dicabut

Tribun Bali/I Wayan Sui Suadnyana
Foto: Aksi tolak rapid dan swab test sebagai syarat administratif serta syarat perjalanan di seputaran Monumen Perjuangan Rakyat Bali Bajra Sandi, Denpasar, Minggu (26/7/2020) 

Laporan wartawan Tribun Bali, Adrian Amurwonegoro

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Pengamat sosial menilai kebijakan rapid test maupun swab test sebagai syarat administrasi diharapkan dapat segera dicabut dan dievaluasi kembali oleh pemerintah dalam aturan penerapannya terhadap masyarakat.

"Selain memberatkan juga tidak efektif dan rentan dimanfaatkan oleh pihak RS, lebih baik dicabut saja aturan soal rapid test sebagai syarat administrasi," kata Sosiolog Universitas Udayana Bali, Gede Kamajaya S.Pd., M.Si kepada Tribun Bali, Minggu (26/7/2020).

Kamajaya sendiri merasakan bagaimana ketidakberaturan implementasi kebijakan rapid test di sebuah rumah sakit swasta di Bali.

Bahkan ia analogikan aturan soal biaya rapid test hanya "Macan Kertas".

Perhatikan Cara Menggoreng, Berikut Tips Membuat Donat Kentang Empuk dan Mengembang dengan Sempurna

Pengamat Sosial Ini Rasakan Ketidakberaturan Rapid Test, Gejolak Grassroot Sah-sah Saja

Frozen Food, Bisnis yang Cukup Menjanjikan Saat Pandemi Covid-19

"Sebagai contoh kemarin saya mengantar keluarga rapid di salah satu runah sakit swasta di Buleleng, membayar Rp 175 ribu, kalau menunggu hasilnya sampai jam 6 petang, kalau mau hasilnya keluar dua jam bayar Rp 300 ribu," ungkapnya.

"Artinya aturan Kementrian Kesehatan soal rapid test cuma macan kertas, banyak RS yang masih tidak patuh pada aturan itu dan tidak ada sanksi atau sidak apapun. Pengalaman saya mengantar keluarga rapid yang akan melakukan perjalanan mengindikasikan ini juga rentan dimanfaatkan oleh RS atau oknum tertentu sebagai ladang uang," imbuh dia.

Ia berpendapat bahwa rapid test tidak efektif untuk menjadi syarat administrasi, sedangkan swab test lebih tepat menjadi prosedur kesehatan untuk menguji seseorang dari indikasi Covid-19 karena memberikan hasil yang lebih akurat pada DNA Covid-19, akan tetapi harus ada kebijakan agar tidak memberatkan masyarakat jika digunakan sebagai syarat administrasi terlebih masyarakat saat ini sedang mengalami perlambatan ekonomi dari berbagai sektor pekerjaan.

"Jadi akhirnya banyak orang jadi berasumsi ini dijadikan ladang uang oleh RS yang membandel, meskipun mungkin saat ini rapid salah satu yang dipakai untuk mendeteksi virus akan tetapi tingkat akurasinya juga diragukan banyak ahli, jadi saya rasa kurang tepat. Kalau ada aksi, saya pikir itu sah-sah saja orang berpendapat sesuai argumen mereka," ujarnya.

Menurutnya, diperlukan keterlibatan dari berbagai pihak untuk mensuskeskan dan menjalankan fungsi mengawasi, menjalankan dan evaluasi new normal dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan di lapangan.

Selain itu, pemerintah bisa mengambil kebijakan yang menderita sakit bawaan diprioritaskan dirawat/treatment khusus di rumah sakit sehingga lebih efisien, sedangkan yang tidak bergejala atau tidak memiliki penyakit bawaan dapat melaksanakan karantina mandiri dengan pendampingan dan pengawasan.

"Pemerintah juga perlu membuat kebijakan dengan basis data yang kuat, semisal data base soal sakit bawaan apa yg diidap seseorang yang paling rentan mengalami kematian jika kena Covid-19," ujarnya.

Sebelumnya diberitakan, sejumlah massa melakukan aksi di seputaran Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Bajra Sandhi, Denpasar, Bali, Minggu (26/7/2020).

Massa yang menamakan dirinya Masyarakat Nusantara Sehat (MANUSA) ini menyatakan sikapnya untuk menolak rapid dan swab test sebagai syarat kebijakan tatanan kehidupan era baru dan syarat bagi pelaku perjalanan.

MANUSA ini terdiri atas Front Demokrasi Perjuangan Rakyat (Frontier) Bali dan Komunitas Bali Tolak Rapid.

Massa mengawali aksinya dengan berkumpul di parkir timur Monumen Bajra Sandi.

Kemudian mereka bergerak sembari bernyanyi meneriakkan tolak rapid dan swab test menuju pintu masuk utama di sebelah selatan Monumen Bajra Sandi.

Di depan pintu masuk utama monumen tersebut, massa aksi melakukan orasi secara bergiliran.

Korlap aksi, Made Krisna Dinata mengatakan, aksi yang diikuti ratusan peserta ini dilakukan dengan "berolahraga bareng" guna mengkritisi adanya kebijakan rapid dan swab test sebagai syarat administrasi.

"Kita mengedukasi agar masyarakat itu tahu dan juga mengkritisi kebijakan pemerintah yang menyematkan rapid test dan swab test sebagai syarat administrasi," kata Krisna Dinata saat ditemui awak media sebelum aksi.

Krisna menyebutkan, ada beberapa dokter, ahli dan rumah sakit yang menjelaskan bahwa rapid dan swab test tidak berguna dan tidak bisa dijadikan untuk mendeteksi virus.

Dalam pernyataan sikapnya, Krisna mengutip pernyataan dari Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS PatKLIn).

Dinyatakan oleh PDS PatKLIn bahwa pemeriksaan swab tes negatif maupun rapid test non-reaktif tidak menjamin seseorang terpapar Covid-19.

Pernyataan tersebut disampaikan melalui surat nomor 166/PP-PATKLIN/VII/2020 tertanggal 6 Juli 2020 yang disampaikan kepada Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Dikutip pula pernyataan dari Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) melalui surat edaran nomor 735/1B1/PP.PERSI.IV/2020 prihal larangan dalam promosi layanan rumah sakit tertanggal 24 April 2020.

Dalam surat edaran itu, PERSI menyampaikan agar tidak menjadikan pelayanan pemeriksaan rapid test screening Covid-19 sebagai persyaratan untuk pasien dapat dilayani oleh pihak rumah sakit dan biaya pemeriksaannya dibebankan pada pasien.

Karena hal ini bersifat menyesatkan, memaksa dan melanggar hak-hak pasien.

Tak hanya itu, pihaknya juga mengutip pendapat ahli Epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono dalam pemberitaan di media massa.

Pandu menyampaikan bahwa rapid test sangat tidak akurat, tidak bisa mendeteksi Covid-19 dengan baik sehingga hanya membuang-buang uang negara.

Ahli Virologi Indor Cahyono juga menyampaikan bahwa rapid test tergolong tidak akurat karena metode ini hanya digunakan untuk screening awal virus corona saja.

Pakar Biologi Mulekuler Ahmad Utomo juga dikutip dalam pernyataan sikap tersebut yang menyampaikan bahwa rapid test adalah metode yang dinilai kurang efektif dalam membatasi penyebaran Covid-19 karena hanya bisa mendeteksi antibodi.

Dari berbagai pendapat tersebut, Krisna menuding bahwa kebijakan rapid test dan swab tidak tepat digunakan untuk syarat administrasi, baik itu dalam perjalanan maupun berwirausaha.

Kebijakan yang dimaksud yakni syarat rapid test pada program sertifikasi tatanan kehidupan era baru atau new normal yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali.

Krisna memaparkan, kebijakan tersebut diawali dengan diterbitkannya surat edaran dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali nomor 443.33/6463/P2P/2020 tentang rapid test bagi pelaku perjalanan.

Selanjutnya Dinas Pariwisata Provinsi Bali juga mengeluarkan kebijakan rapid test dengan biaya mandiri sebagai salah satu syarat perusahaan pariwisata mendapatkan sertifikasi penerapan protokol kesehatan.

Syarat rapid test ini tertuang dalam surat Dinas Pariwisata Provinsi Bali nomor 556/2782/IV/Dispar tentang sertifikat tatanan kehidupan era baru.

Kebijakan rapid test juga diperkuat oleh Gubernur Bali melalui surat edaran nomor 3355 tahun 2020 tentang tatanan kehidupan era baru tertanggal 5 Juli 2020.

Dalam surat tersebut intinya mewajibkan rapid test dilakukan untuk penghuni indekos, vila, kontrakan atau mess.

Hal yang sama juga berlaku untuk pengelola destinasi wisata, wisata perjalanan, hotel, restoran dan pasar tradisional.

Di sisi lain, pihaknya juga menyatakan bahwa Ombusmand RI memperhatikan diterapkannya rapid test non-reaktif sebagai syarat berpergian telah dijadikan sebagai ladang bisnis.

Ombusmand juga menegaskan, swab maupun rapid test jangan dijadikan syarat karena itu merupakan penyalahgunaan.

"Sehingga kebijakan Pemprop Bali yang mewajibkan hasil rapid test dan/atau swab test sebagai syarat administrasi sertifikasi tata kehidupan era baru atau New Normal serta syarat perjalanan, merupakan bentuk bisnis yang berkedok kesehatan," tulisnya dalam pernyataan sikap tersebut.

Di sisi lain, massa menilai kebijakan yang tepat justru diambil oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur yang menyatakan bahwa masyarakat pengguna jasa transportasi/pelaku perjalanan yang akan melakukan perjalanan darat, laut, maupun udara diperbolehkan melakukan perjalanan tanpa memerlukan dokumen-dokumen terkait dengan kesehatan bebas Covid-19 serta hasil rapid test dan swab.

Pernyataan tersebut terdapat dalam surat edaran Gubernur Nusa Tenggara Timur nomor BU550/08/DISHUB/2020 tentang Bebas Dokumen Kesehatan/Bebas Covid-19 Bagi Pelaku Usaha.

"Seharusnya Pemprov Bali menjadikan kebijakan Gubernur NTT sebagai contoh implementasi new normal yang tepat. Bukannya malah membebani rakyat dengan kewajiban yang tidak efektif seperti kebijakan melakukan rapid test sebagai syarat administrasi sertifikasi tatanan kehidupan era baru atau new normal serta syarat perjalanan," imbuhnya. (*).

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved