Aliansi Masyarakat Sipil Sebut Pidana dalam Kasus Jerinx Tidak Tepat, Ini Permintaan Mereka
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) atau Institute for Policy Research and Advocacy bersama jaringan dari Aliansi Masyarakat Sipil meminta
Penulis: I Wayan Erwin Widyaswara | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) atau Institute for Policy Research and Advocacy bersama jaringan dari Aliansi Masyarakat Sipil meminta kepolisian agar segera menghentikan penyidikan tersangka I Gede Ary Astina alias Jerinx.
Menurut mereka, kasus ini tidak tepat dijerat menggunakan pasal pidana baik Undang-Undang ITE maupun KUHAP.
"Kami berpendapat, penggunaan pasal pidana UU ITE untuk menjerat Jerinx atas postingan yang dibuatnya ini tidaklah tepat. Lebih lanjut, penahanan yang dikenakan terhadapnya tidaklah perlu untuk dilakukan dan cenderung dipaksakan," kata Deputi Direktur Advokasi ELSAM, Andi Muttaqien dalam keterangan tertulisnya, Kamis (13/8/2020)
Adapun pernyataan Jerinx terhadap penanganan Covid-19 yang kontraproduktif, menurut Aliansi Masyarakat Sipil, perlu menjadi pemicu untuk menghadirkan diskursus publik yang lebih sehat, ketimbang menggunakan jalur kriminalisasi melalui instrumen UU ITE.
• Perubahan APBD Tahun 2020, Bupati Giri Prasta Prioritaskan APBD untuk Ringankan Beban Masyarakat
• Cegah Covid-19, Pemerintah Desa Peguyangan Kangin Intensifkan Penyemprotan Disinfektan
• Satgas Intelijen dan Satgas Bantuan Pamtas RI-RDTL Prajurit Kodam IX/Udayana Kembali ke Home Base
Andi menjelaskan, Penggunaan Pasal 28 ayat (2) untuk menjerat Jerinx atas postingan yang dibuatnya jelas tidaklah tepat dan menyalahi makna dari ketentuan tersebut.
Sebab, menurut dia, ketentuan tersebut pada dasarnya hanya dapat digunakan untuk menjerat ekspresi-ekspresi yang termasuk ke dalam kategori _incitement to hatred/violence/discriminate_ atau penghasutan untuk melakukan suatu tindakan kebencian/kekerasan/ diskriminasi berdasarkan SARA.
"Elemen penting dalam ketentuan itu yakni 'menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)' Niat menjadi satu komponen yang paling penting untuk membedakan antara ekspresi yang sah (legitimate expression) dengan ekspresi yang termasuk ke dalam ujaran kebencian," jelas Andi
Mereka juga berpendapat bahwa ekspresi yang disampaikan oleh Jerinx di dalam postingan Instagramnya tersebut--yang merujuk kepada IDI sebagai “kacung WHO”--sangat jauh untuk dapat dikatakan memenuhi unsur ini.
• Dituduh Fabio Quartararo Lakukan Konspirasi Dengan KTM, Michelin Angkat Bicara
• Persija Yakin Shin Tae-yong Akan Panggil Lagi Zico dan Figo untuk Piala Dunia U-20
• Jelang MotoGP Austria, Fabio Quortararo Cium Bau Konspirasi
Ia menjelaskan, untuk dapat mengetahui apakah sebuah ekspresi masuk kualifikasi sebagai penyebaran ujaran kebencian, ada beberapa hal yang harus dilihat.
Pertama, menurut Andi, di dalam ekspresi, kedua yakni posisi dan status individu yang menyampaikan ekspresi tersebut, kemudian niat dari penyampaian ekspresi untuk mengadvokasikan kebencian dan menghasut, kemdudian Kekuatan muatan dari ekspresi, jangkauan dan dampak dari ekspresi terhadap audiens, dan kemungkinan dan potensi bahaya yang mengancam atas disampaikan ekspresi.
"Rentannya penyalahgunaan pasal incitement to hatred ini, mengharuskan aparat penegak hukum untuk lebih berhati-hati dalam menilai suatu ekspresi memiliki muatan bahaya (harmful) serius, sehingga dapat dipidana. Sedangkan dalam peristiwa ini, kualifikasi bahaya tersebut belum terpenuhi," jelas Andi
Bahkan, menurut Aliansi Masyarakat Sipil, tidak hanya penggunaan Pasal 28 ayat (2) UU ITE terhadap Jerinx yang tidak tepat, penggunaan Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik juga sama sekali tidak berdasar. Sebab, menurut Andi, Pasal 27 ayat (3) dalam penerapannya haruslah mengacu kepada ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang mengatur mengenai pencemaran terhadap individu.
• Jasa Raharja Ingatkan Bebas Denda PKB, BBNKB, SWDKLLJ Segera Berakhir
• Rai Mantra Minta Desa/Kelurahan di Denpasar yang Wilayahnya Zona Orange Perketat Protokol Kesehatan
"Artinya, pasal tersebut hanya dapat dikenakan terhadap pencemaran yang ditujukan terhadap orang perseorangan, bukan terhadap institusi ataupun badan hukum," ujarnya.
Pun demikian dengan Pasal 27 ayat (3) KUHP yang merupakan delik aduan absolut yang artinya individu yang dicemarkan itu sendiri yang harus melaporkan perbuatan pidana terhadapnya dan bukan perwakilannya. Itu sebabnya, Aliansi Masyarakat Sipil menilai ini menjadi tidak masuk akal, yang mana ketika institusi yang harus diwakili oleh seseorang menggunakan ketentuan ini.
"Dalam kasus Jerinx, pencemaran nama baik yang dilaporkan adalah pencemaran terhadap institusi IDI. Oleh karenanya, secara otomatis Pasal 27 ayat (3) UU ITE sama sekali tidak dapat diterapkan terhadapnya," tegas Andi
Atas penangkapan dan penetapan Jerinx sebagai tersangka ini, Aliansi Masyarakat Sipil yang terdiri dari ICJR, Elsam, PIL-NET, IJRS, HRWG, DebtWatch Indonesia, IMPARSIAL, PBHI, YLBHI, LBH Pers, Greenpeace Indonesia, PSHK, Indonesia for Global Justice, Yayasan Satu Keadilan, ICEL, dan LeIP, mengingatkan kembali agar Aparat Penegak Hukum berhati-hati dalam menerapkan UU ITE.
"Kejaksaan sebagai Dominus Litis yang memiliki kewenangan untuk menuntut perkara ini, harus dengan tegas menolak perkara, sebab pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat Jerinx ini jelaslah tidak sesuai dengan maksud pembentukannya dan terlihat sangat dipaksakan hanya untuk memenuhi sentimen punitif dari masyarakat," kata Andi
Tidak hanya itu, menurut Andi, penahanan yang dilakukan terhadap Jerinx oleh kepolisian bukanlah langkah yang tepat untuk diambil, terlebih di masa pandemi Covid-19 ini, di mana seluruh pihak di dalam sistem peradilan pidana sedang berusaha keras mengurangi jumlah tahanan dari dalam fasilitas penahanan untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19 di dalam fasilitas.
"Meskipun pasal yang digunakan untuk menjerat Jerinx ancamannya lebih dari 5 (lima) tahun, namun demikian Kepolisian yang memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan harus dapat melihat urgensi dari pelaksanaan upaya paksa ini dengan lebih baik. Terlebih, pasal yang diancamkan kepada Jerinx, sama sekali tidak melibatkan adanya kekerasan, yang seharusnya menjadi bahan pemikiran bagi Kepolisian untuk tidak memprioritaskan penahanan terhadapnya," jelas Andi
Atas dasar itu, Aliansi Masyarakat Sipil
*kami mendesak sejumlah hal berikut ini
1. Kepolisian untuk menghentikan penyidikan perkara ini, mengingat tidak terpenuhinya sejumlah unsur pidana sebagaimana dijelaskan di atas.
2. Segera mengeluarkan Jerinx dari tahanan, penahanan Jerinx dapat menjadi gambaran tidak pekanya penyidik terhadap kondisi pandemi Covid-19 yang saat ini juga menjadi persoalan di tempat-tempat penahanan.
3. Kejaksaan apabila perkara ini tidak dihentikan penyidikannya, sebagai dominus litis, menolak melakukan penuntutan karena tidak layaknya perkara ini untuk diajukan ke persidangan.
4. Aparat penegak hukum untuk lebih hati-hati menggunakan ketentuan di dalam UU ITE dan menerapkannya dengan ketat sesuai dengan batasan-batasan yang sudah ditentukan.
5. Pemerintah dan DPR untuk segera memprioritaskan perubahan kembali UU ITE, melihat UU ITE masih belum tepat sasaran dan penggunaanya cenderung eksesif. (*)