Ngopi Santai
Makan Are Gau Bersama Jakob Oetama
Jakob Oetama dan Frans Seda bersahabat karib. Persahabatan yang unik. Satu berwatak NTT (Flores) yang keras, bicara lugas, blak-blakkan.
Penulis: DionDBPutra | Editor: Eviera Paramita Sandi
Frans Seda mengajak Jakob Oetama dan petinggi Kompas Gramedia lainnya menuju makam orangtuanya. Frans Seda menyalakan lilin. Kami berdoa di sana.
Teh, kopi, ubi rebus dan kue sudah menanti ketika Frans Seda mengajak Jakob Oetama, August Parengkuan, St. Sularto, Julius Pour, Petrus Waworuntu, Rikard Bagun, Damyan Godho menuju rumah induk terbuat dari
kayu untuk beristirahat.
Mudah ditebak, ubi rebuslah yang paling laris “diserbu" para tamu ketimbang kue. Canda tawa pun tetap mewarnai acara sore itu.
Sebelum kembali ke Waiara pukul 15.40, Frans Seda mengajak Jakob Oetama melihat Nua Bharaka, kampung adat di puncak bukit kecil, persis di sisi kanan jalan Lekebai-Maumere.
Sahabat dalam Suka dan Duka
Keduanya berangkulan. "Selamat ulang tahun, Pak Frans," kata Jakob Oetama dengan suara lirih menahan haru.
Momen indah tersebut tercipta Kamis (27/10/2005) malam, dalam acara syukuran hari ulang tahun ke-79
Frans Seda di Maumere.
Syukuran yang dihadiri ratusan undangan diawali misa konselebran dipimpin Pastor Philipus Tule, SVD.
Para tokoh masyarakat Sikka hadir di sana antara lain, Lorens Say, Daniel Woda Palle, EP da Gomez, Alex Longginus dan Soter Parera.
Jakob Oetama dan Frans Seda bersahabat karib. Persahabatan yang unik. Satu berwatak NTT (Flores) yang keras, bicara lugas, blak-blakkan.
Yang lainnya pria Jawa, Jawa Tengah yang berpembawaan halus, lembut bahkan malu-malu.
"Bagi saya, Frans Seda adalah sahabat dalam suka dan duka. Memberi kekuatan dan meneguhkan hati di saat sulit. Tiada henti mendorong kami untuk maju," kata Jakob Oetama saat memberikan kesannya tentang Frans
Seda.
Secara khusus, Jakob Oetama kembali mengisahkan peran Frans Seda pada awal kelahiran Harian Kompas tanggal 28 Juni 1965. Bagaimana pergulatan mereka saat itu menghadapi bermacamragam tantangan yang
tidak ringan.
"Saya merasa beruntung mempunyai sahabat seperti Pak Frans," ujarnya.
Mengenai Kompas Gramedia, Jakob Oetama mengatakan sukses diraih grup ini bukan karena kemampuan dirinya semata dalam memimpin.
"Semua ini merupakan Providentia Dei, penyelenggaraan ilahi," katanya.
"Itulah pembawaan Pak Jakob sejak dulu. Tidak pernah mau menonjolkan diri," kata Frans Seda yang langsung bangun dari tempat duduk menyambut sahabatnya itu dan keduanya kembali berpelukan.
Acara syukuran ulang tahun Frans Seda Kamis malam itu berlangsung sederhana namun berkesan. Tidak ketinggalan irama musik dan lagu- lagu daerah Lio-Sikka-Ngada seperti gawi, rokatenda dan ja’i.
Tak terasa jarum waktu hampir menunjuk pukul 24.00 Wita. Jakob dan Frans pamit untuk beristirahat. Kami pun kembali ke Waira, melepas lelah mengingat esok hari ziarah dua sahabat itu masih panjang.
Kegiatan Jakob Oetama dan Frans Seda pada Jumat 28 Oktober 2005 adalah ziarah ke patung Bunda Maria Segala Bangsa setinggi 28 meter di Nilo serta bicara dalam seminar di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik
(STFK) Ledalero.
Sebelum ke Nilo, saya kembali mendapat kehangatan luar biasa dari Pak Jakob yaitu menemaninya sarapan pagi. Beliau menanyakan beberapa informasi mengenai Nilo dan saya menjelaskannya.
Warga Nilo berjubel, berdesak-desakan di sisi kiri dan kanan jalan. Bunyi gong waning (gendang) membahana di lereng bukit itu. Prosesi adat Huler Wair menyambut kehadiran Frans Seda dan Jakob Oetama di
sana.
Diawali sapaan dalam bahasa adat setempat—Jakob Oetama dan Frans Seda diperciki air kemudian dikenakan selendang dan destar Sikka. Mereka tampak gagah.
Selepas acara Huler Wair, kedua sahabat itu diantar memasuki rumah adat Nilo baru menuju Patung Bunda Maria Segala Bangsa yang berdiri anggun di bukit Keling.
Di sana sudah banyak peziarah yang berdoa. Setelah berdoa dan mendapat berkat seorang pastor dari Kongregasi Pasionis, rombongan Jakob Oetama-Frans Seda meninggalkan Nilo menuju Seminari Tinggi Ledalero.
Waktu hampir pukul 10.00 Wita. Philip Gobang tampak melirik buku panduan acara Festival Ledalero. Tertulis di sana, Jakob Oetama bicara tentang pers mulai pukul 09.00 Wita.
Nah? Mengertilah saya mengapa Philip beberapa kali terlihat bicara dengan Pastor Paul Budi Kleden, SVD (kini superior general SVD di Roma) lewat telepon selulernya.
Mohon maaf! Itulah kata pertama Jakob Oetama saat diberi kesempatan menyampaikan pikiran dan pandangannya sebagai pembicara tunggal dalam seminar di aula STFK Ledalero pagi itu.
"Ke Flores ini, bagi saya adalah suatu penziarahan pribadi. Mohon maaf terlambat tiba di sini (Ledalero). Tadi saya dibawa lebih dulu ke Bunda Maria di Nilo. Tentu sebagai wartawan saya sudah bepergian ke mana-mana. Tapi di sini saya melihat panorama, lingkungan alam yang kaya, yang memikat, mencerminkan kebesaran Tuhan. Jarang ada panorama, suatu lingkungan, suatu langit biru bersih seperti tanjakan tujuh kilometer ke Bunda Maria di Nilo itu. Luar biasa. Luar biasa..." kata Jakob mengungkapkan kekagumannya.
Jakob Oetama yang berbicara dalam seminar bertema: Peran Pers Indonesia dalam Membentuk Budaya Politik Demokratis antara lain, menggarisbawahi perubahan revolusi teknologi informasi yang membuat segala peristiwa di seluruh dunia penyebarannya berlangsung serentak-seketika dan interaktif.
"Perubahan yang dibawa oleh revolusi teknologi informasi luar biasa. Orang macam saya ketinggalan zaman. HP (handphone) saja hanya pakai untuk telepon, SMS saya belum menggunakannya, sangat ketinggalan,”
kata Jakob Oetama.
“Komputer saya sudah pakai, tapi sekadarnya. Kalau rusak, wah...cari cucu. Kalau cucu di sekolah, telepon kantor. Orang macam saya seharusnya malu karena bergerak di bidang komunikasi, tapi dalam menghandel teknologinya ketinggalan. Tentu saja lembaga (Kompas Gramedia) tidak boleh ketinggalan," katanya sambil tersenyum disambut aplaus peserta seminar yang memenuhi aula STFK Ledalero saat itu.
Demikian sekilas kenangan yang saya rekam saat Jakob Oetama berkunjung ke NTT hampir lima belas tahun lalu. Yang mengiris hati adalah empat tokoh yang bersama dalam ziarah kala itu sudah berpulang.
Frans Seda meninggal dunia 31 Desember 2009 dalam usia 83 tahun.
Om Damyan Godho 29 Januari 2019, August Parengkuan kembali ke haribaanNya 17 Oktober 2019 dan Jakob Oetama di hari Rabu kelabu 9 September 2020.
Mengenang mereka, tak terasa air mata ini berlinang. Beristirahatlah dalam damai dan kasih Tuhan. (dion db putra)