Kritik Aksi Demo UU Cipta Kerja, Prof Windia: Biasakan Kalau Demo Jangan Merusak
Aksi demonstrasi penolakan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) 'Omnibus Law'' di sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk Bali, sempat memanas.
Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Ady Sucipto
Laporan wartawan Tribun Bali, I Wayan Sui Suadnyana
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Aksi demonstrasi penolakan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) 'Omnibus Law'' di sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk Bali, sempat memanas.
Di Pulau Dewata, massa aksi Bali Tidak Diam yang melakukan demonstrasi di depan kampus Universitas Udayana (Unud) Jalan Panglima Besar Sudirman, Denpasar, dipukul mundur oleh aparat kepolisian setelah aksinya melewati pukul 18.00 Wita.
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Stispol) Wira Bhakti Denpasar, Prof. Wayan Windia mengingatkan semua pihak dalam menyampaikan pendapat melalui demonstrasi agar tidak brutal dan merusak.
• LBH Bali : UU Cipta Kerja Ancam Hak Masyarakat Adat & Berpotensi Perusakan Lingkungan
• Ketua BEM Unud Sayangkan Demo Mahasiswa di Bali Malah Dibawa ke Isu SARA
• Muncul Pertanyaan, Siapakah Massa Berpakaian Hitam yang Demo di Denpasar, Bandung, dan Palembang?
Baginya, aksi demonstrasi yang keras dan merusak oleh banyak pihak bisa dianggap sebagal tindakan brutal.
“Merusak aset publik akan merugikan semua pihak, yakni merugikan rakyat dan pemerintah," kata Prof. Windia dalam siaran persnya yang diterima Tribun Bali, Sabtu (10/10/2020).
Dengan adanya kerusakan berbagai fasilitas umum, anggaran yang harus dialokasikan untuk rakyat akan berkurang karena dialihkan untuk perbaikan sarana dan prasarana yang rusak.
Padahal di masa pandemi ini, pemerintah memerlukan banyak dana untuk melayani rakyatnya.
Windia mencatat, bahwa sering sekali ada demonstrasi yang bersifat politis lalu menimbulkan kericuhan dan brutal.
Misalnya demo pada saat pemilu dan demo yang dilakukan para buruh beberapa waktu lalu.
"Padahal kita memiliki dasar negara dan falsafah negara yakni Pancasila.
Tampaknya sangat sulit sekali untuk menerapkan Pancasila dalam tata kehidupan sosial masyarakat di Indonesia," jelasnya.

Guru Besar Fakultas Pertanian Unud itu menilai, sulitnya penerapkan Pancasila dalam tata kehidupan sosial masyarakat di Indonesia karena belum diterapkan secara nyata dalam pembangunan nasional kita.
Harusnya, paling tidak harus dinyatakan dalam dokumen pembangunan nasional, bahwa pembangunan yang diterapkan di Indonesia adalah pembangunan sebagai pengamalan dari Pancasila.
Baginya, jika visi semacam itu dilaksanakan dengan konsisten dan konskwen, maka akan bisa memunculkan masyarakat Pancasila.