Bisnis Live Streaming Raturu TV di Masa Pandemi di Bali, dari Hobi Jadi Hoki
Awal kiprah Raturu TV dimulai pada September tahun 2017, hingga kini tetap bertahan di tengah badai pandemi Covid-19
Penulis: Eviera Paramita Sandi | Editor: Irma Budiarti
Dari sinilah nama Raturu TV mulai mengudara.
Apalagi saat itu akhirnya juga banyak media mainstream yang memberi tautan siaran langsung tersebut ke berita.
Ditambah lagi juga banyak relawan di sekitar Gunung Agung yang mengajaknya bergabung di grup WhastApp seputar Gunung Agung dan memberinya informasi lokasi yang bagus untuk melihat gunung.
Lama-kelamaan siaran langsung Raturu TV selalu dinanti masyarakat dan dikenal warga Bali khususnya di Karangasem.
“Saya ingin membantu masyarakat sana. Jadi orang Karangasem itu, jangan dibayangkan semua bisa melihat gunung. Tidak. Tidak semua orang Karangasem bisa melihat gunung. Hanya titik-titik tertentu yang bisa melihat gunung. Mereka yang tidak bisa melihat gunung mengandalkan live saya,” ceritanya.
Semakin lama, Raturu TV pun terus mempercanggih peralatannya.
Demi niatnya untuk memerangi hoaks dan juga membantu masyarakat sekitar Gunung Agung ia pun membeli kamera CCTV dan tripod untuk dipasang di daerah-daerah yang sekiranya bisa menampilkan jelas gambar Gunung Agung.
Semua itu ia beli dengan uangnya sendiri.
Meski harganya tidak murah Sigit tetap nekad memasang dua kamera sisi TV di daerah Subagan dan di rumah salah seorang warga.
Ini mengambil risiko terburuk, bisa saja kamera itu bisa saja dicuri.
“Beberapa kamera ada yang saya pasang di halaman rumah orang atau relawan, saya minta izin untuk pasang CCTV yang terkoneksi dengan internet, kepentingannya, kalau saya nggak bisa live mereka bisa relay dari ponsel mereka yang kemudian saya masukkan sebagai source di Facebook saya,” terang Sigit.
Apa yang dilakukan Sigit ini dilakukan secara sukarela bersama para relawan.
Ia bilang ini sebagai proyek idealis.
Baginya, siapapun yang mau ikut dan bisa membantu maka akan diajaknya bergabung termasuk rekan-rekan wartawan.
Proyek idealis Sigit ini pun akhirnya berubah menjadi proyek professional sejak adanya tawaran dari kolega media Australia yang memintanya melakukan live streaming untuk acara Austrax Australia di Nusa Dua.
Padahal saat itu, Sigit hanya mempunyai ilmu yang sangat dasar tentang live streaming.
Bahkan jaringan internet juga belum berlangganan.
Namun Sigit mengiyakan saja tawaran tersebut meskipun pada hari kedua pekerjaannya gagal karena kendala internet.
Sigit memang tak punya pendidikkan atau pelatihan khusus untuk mengerjakan proyek professional ini.

Sarjana teknik elektro yang mengaku “terima bongkar tapi tidak terima pasang” ini akhirnya mulai belajar teknik dan perakitan alat live streaming sejak 2015 hanya lewat internet dan Youtube.
“Tidak ada yang mengajarkan saya. Saya senang belajar hal baru. Dan saat itu live streaming masih sangat baru, jadi saya belajar sendiri. Sebelum orang live saya sudah belajar dari youtube, internet. Belajarnya lama sekali, tiap hari kalau tidak ada kerjaan saya ngutek-ngutek terus,” akunya.
Sedangkan untuk peralatan, semua itu tentunya tidak hanya didapatkan di Bali, ataupun Indonesia.
Lagi-lagi Sigit menggunakan internet untuk berburu isi kotak ularnya di Australia sampai Jepang.
Dari sekian peralatan yang termahal adalah kamera seharga puluhan juta rupiah.
Untuk fokus di bidang ini, Sigit terus menambah dan melengkapi peralatannya, sedikit demi sedikit saat dirinya mendapatkan uang dari pekerjaan selalu dibelikan peralatan professional.
Mulai kamera, video capture, kabel, microphone, audio dan lain-lain. Semua itu menjadi asetnya yang ditaksir nilainya sekarang mencapai Rp 100 juta-an.
Ketika ada permintaan atau panggilan kerja untuk Raturu TV, ia membawa semua peralatannya tersebut dalam sebuah kotak hitam besar bertuliskan Raturu TV yang disebut-sebut sebagai “Kotak Ular”.
Membuka Peluang Penghasilan Untuk Rekan Seprofesi
Di masa susah sekarang, Raturu TV tak hanya bermanfaat untuk Sigit Purwono sendiri, beberapa wartawan yang juga sama-sama terdampak pandemi ikut terbantu keuangannya.
Nasib mereka hampir sama seperti yang dialami Sigit, ada banyak kontributor TV di Bali yang kini berkurang penghasilannya bahkan sampai diputus kontraknya karena banyak perusahaan media melakukan efisiensi.
Peluang dari pekerjaan live streaming akhirnya bisa menjadi solusi, membuka lapangan kerja baru dan menambah penghasilan bagi rekan-rekan jurnalis yang ikut bergabung di Raturu TV.
Hal ini juga dibenarkan oleh Zhie, salah satu kru Raturu TV yang sudah sejak lama ikut dalam proyek live streaming ini.
Zhie adalah seorang ayah beranak satu yang bekerja sebagai kontributor TV nasional di Bali.
Ia merasakan dampak yang cukup keras semasa pandemi Covid-19.
Hal ini akibat adanya berbagai pembatasan aktivitas dan kegiatan di Bali sejak bulan maret 2020.
Praktis, lahan liputan Zhie menjadi berkurang.
Ini terjadi karena sebagai video jurnalis televisi nasional, Zhie dituntut selalu menyajikan gambar dengan bertemu langsung.
Berbeda dengan wartawan koran, radio maupun siber yang bisa mewawancarai narasumber melalui telepon atau media sosial.
Keadaan ini juga semakin sulit bagi wartawan TV ketika berbagai kalangan, khususnya institusi pemerintahan banyak menghindari pertemuan langsung dan memilih wawancara secara daring atau melalui telepon.
Zhie mengaku berkurangnya pendapatan sudah terasa sejak awal 2020, tepatnya semenjak wabah di Wuhan mulai diberitakan dan banyak wisatawan yang pergi dari Bali.
Perlu diketahui, selain sebagai kontributor TV nasional Zhie juga kerap mengambil job sebagai stringer TV asing hingga camera person di Liga sepak bola Bali.
“Dampaknya saat ini memang benar-benar terasa, beberapa pekerjaan yang biasa digarap saat normal kini banyak yang hilang,” keluhnya.
Untuk menutup kebutuhan yang masih terus bertambah, Zhie akhirnya banyak mengambil job bersama tim Raturu TV.
Hal ini pun disyukuri Zhie karena ternyata kegiatan live streaming yang dulunya tidak terlalu ramai di saat normal kini justru jadi kesibukan utama semasa pandemi.
Tentunya kesibukan ini juga dengan hasil yang sepadan.
Honor yang didapatkan untuk satu proyek live bisa mencapai 2-4 kali harga beritanya bila tayang di TV nasional.
Dan kegiatan ini diakuinya menyenangkan.
Pertama karena waktu kerja yang lebih fleksibel dan materinya yang lebih banyak hiburan atau olahraga.
“Kebetulan saya juga suka sepak bola dan sering ikut main bola sama Pak Sigit. Jadi ya bisa dibilang ini bekerja sambil bersenang-senang,” katanya sambil tertawa.
Sama halnya dengan Andi Setyawan atau karib disapa Andhiess.
Pemain Putra Renon FC yang juga kru Raturu TV ini mulai sering kerja bersama Raturu TV sejak tahun 2018, di awal-awal live streaming bola.
Pria yang sebelumnya bekerja sebagai video jurnalis di salah satu biro media nasional di Bali ini awalnya bergabung karena kesamaan hobi main bola dan liputan sepak bola.
Di Putra Renon FC, Andhiess berlaku sebagai pemain sedangkan di Raturu Andhiess biasa berlaku sebagai cameraman, atau operator sekaligus DOP.
“Sering gantian, karena timnya memang kecil,” kata Andhiess. Selama pandemi ini, ayah dua anak ini merasa terbantu dengan pekerjaan di Raturu TV. Apalagi sebagai pekerja lapangan yang sempat terhambat bekerja karena pembatasan kegiatan masyarakat. Siaran live streaming akhirnya menjadi jalan keluarnya untuk mengatasi krisis.
Kini, Andhiess setidaknya satu minggu sekali selalu mengikuti kegiatan live streaming bola Raturu TV.
Bukan hanya karena penghasilan, menurut Andhiess ada banyak ilmu yang bisa didapat dari sini.
“Untungnya owner tidak pelit ilmu, semua ilmu yang dimiliki tidak segan untuk dibagikan. Waktunya juga fleksibel,” tandasnya.
Bagaimana tentang bagi hasilnya?
Sigit mengurai blak-blakan tentang penghasilan Raturu TV selama ini.
Menurutnya, untuk menentukan harga jasa live streaming-nya, ia tidak menetapkan harga yang baku bahkan banyak yang gratis, seperti acara sepak bola misalnya.
Namun lain halnya bila itu turnamen besar atau event komersial, maka Sigit menetapkan harga.
Sigit menghitung harga berdasarkan kamera dan kru.
Per kamera biasanya dihargai Rp 2,5 hingga Rp 3 juta, namun itu juga melihat siapa pengguna jasanya dilihat berdasarkan kemampuannya.
Apabila hal itu merupakan misi sosial, maka gratis pun akan dibantu dengan totalitas.
Sedangkan untuk pembayaran kru dilakukan dengan cara bagi hasil yang fleksibel.
“Saya kalau ada kerjaan, semisal bayarannya Rp 10 juta, saya ambil setengahnya, setengahnya lagi bagi-bagi untuk kru. Tapi itu juga tidak saklek, menyesuaikan saja. Semisal saya segini sudah cukup, yang lain untuk kru, yang penting alat dan pulsa saya terbayar.Tapi bila bayarannya ternyata sedikit misalnya ya saya bagi saja sama rata semuanya, alat tidak saya hitung,” urai Sigit.
(Bersambung)