Berita Bali

Tak Semahal Babi, Harga Daging Sapi di Bali Relatif Stabil

Kondisi ini menyebabkan sebagian babi di Bali mengalami kematian dan sebagian lagi dijual lebih cepat oleh para peternak.

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Wema Satya Dinata
Tribun Bali/I Wayan Sui Suadnyana
Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, Anak Agung Istri Intan Wiradewi saat ditemui Tribun Bali di kantornya, Senin 1 Februari 2021 

Bahkan, ia menyebut akan memperjuangkan di APBD Perubahan 2021 agar terkait program penyediaan bibit tersebut.

“Ya itu saya dorong di anggaran perubahan, untuk menyiapkan program itu, saya banyak mendapat aduan dari para peternak babi di bawah,” ucapnya.

Seperti diberitakan, populasi babi Bali menurun hingga 42,31 persen.

Hal ini dikarenakan babi Bali sempat mengalami suspect African Swine Fever (ASF).

Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, Anak Agung Istri Intan Wiradewi mengatakan, populasi babi pada tahun 2019 mencapai 690.378 ekor.

Jumlah babi kemudian turun menjadi 398.291 ekor pada tahun berikutnya.

"Populasi babi kita memang menurun. Menurun dari tahun 2019 ke 2020 itu menurun 42 persen.

Kenapa, karena dari akhir tahun 2019 ke 2020 kemarin ada wabah penyakit yang menyebabkan babi itu menurun," kata Intan saat ditemui di kantornya, Senin 1 Februari 2021.

Menurutnya, penurunan populasi babi ini sebagian memang mati karena terserang ASF dan sebagian lagi dijual cepat oleh para peternak.

Para peternak menjual babinya lebih cepat dikarenakan takut mati sehingga dapat menyebabkan kerugian yang lebih banyak.

"Sebagian memang iya kena penyakit. Sebagian lagi karena dijual oleh peternak karena takut babinya mati, jadinya dijual. Dijual sebelum sakit lah.

Itu yang menyebabkan populasi babi kita turun 42 persen," kata Intan.

Akibat penurunan populasi ini, ketersediaan daging babi di pasaran menurun sejak akhir tahun 2020.

Sesuai hukum pasar, ketersediaan daging babi yang tipis di pasaran membuat harganya melambung tinggi.

Terlebih peternak kini meminimalisir pemotongan babi betina dalam jumlah yang banyak karena dikembangkan sebagai indukan baru.

"Ini juga mempengaruhi. Misalnya peternak punya anak babi 10, yang bagus itu masih dia pakai buat indukan baru lagi.

Sementara yang lima dipakai indukan, yang lima (sisanya) baru dibesarkan untuk dipotong.

Ini yang penyebab jumlahnya (daging babi) di pasaran berkurang," jelas Intan.

Intan mengatakan, harga daging babi saat ini sudah menembus di Rp 90 ribuan.

Kenaikan harga ini merangkak sedikit demi sedikit sejak triwulan ke-4 tahun 2020.

"Jadi naiknya bukan tiba-tiba melonjak menjadi Rp 90 ribu perlahan dari Rp 60 ribu, Rp 65 ribu, (dan) Rp 70 ribu.

Begitu terus merangkak naik menjadi sekitar di angka Rp 90 ribuan. Jadi endak tiba-tiba naik, pelan dia naiknya," tuturnya.

Tak hanya daging, kenaikan juga dialami pada bibit babi.

Kondisi ini dikarenakan para peternak masih menggunakan bibitnya untuk keperluan sendiri guna memperbanyak indukan.

Sehingga bibit yang dilempar para peternak ke pasar menjadi berkurang.

Padahal, permintaan bibit babi di Bali sudah mulai meningkat saat ini.

Hal ini disebabkan karena petani yang awalnya takut memelihara babi akibat ASF, kini mereka mulai mencoba memelihara lagi.

"Rumah-rumah tangga yang dulu memelihara satu dua ekor, (sudah) pengen memelihara lagi. Ya ini jadi kan permintaan bibit banyak.

Sementara produksi dan indukan kita memang masih sedikit, dari peternak masih membuat indukan buat mereka sendiri. Jadi yang dilempar ke pasaran sedikit," kata dia.

Intan memperkirakan, harga bibit babi di pasaran saat ini lebih dari Rp 1 juta per ekor.

Harga ini tidak serta-merta bisa diturunkan mengingat perlu proses yang cukup panjang.

"Nah ini kan kaitannya dengan makhluk hidup ya babi, restocking itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Kita memang butuh waktu untuk itu. Butuh waktu gimana kita bisa menciptakan bibit, kan itu butuh dari indukan yang ada.

Jadi ya tidak banyak yang bisa kita lakukan selain menunggu proses ini secara alami. Karena kan tidak bisa di-cloning atau apa," tuturnya.

Sejauh ini Bali belum mengambil keputusan untuk mengambil bibit babi dari daerah luar karena alasan kesehatan.

Ada beberapa penyakit yang ada di daerah luar namun tidak ada di Bali.

Jika babi di Bali sudah terjangkit suatu penyakit maka akan sangat sulit untuk dibersihkan.

"Jadi memasukkan dari luar Bali iya harus betul-betul selektif. Jangan sampai ini membawa penyakit lagi malah menjadi masalah buat kita.

 Jadi kalau ada pemasukan babi dari luar, tentu akan dikaji dari daerah mana.

Artinya kemungkinan itu ada asalkan akan dikaji dari teman-teman di bidang keswan dari daerah mana yang diizinkan," terangnya.

Selama ini, bahkan dalam kondisi normal, memang belum ada babi dari luar daerah yang didatangkan ke Pulau Dewata.

Namun babi Bali sendiri telah dipasarkan ke sejumlah daerah, seperti Jakarta dan Surabaya.

Namun pemasaran ini lebih banyak pada babi potong.(*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved