Berita Bali
Tak Semahal Babi, Harga Daging Sapi di Bali Relatif Stabil
Kondisi ini menyebabkan sebagian babi di Bali mengalami kematian dan sebagian lagi dijual lebih cepat oleh para peternak.
Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Wema Satya Dinata
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Keberadaan daging babi di Bali dikabarkan merangkak naik sejak beberapa bulan terakhir.
Kondisi ini diakibatkan karena babi di Bali sempat mengalami suspek African Swine Fever (ASF).
Kondisi ini menyebabkan sebagian babi di Bali mengalami kematian dan sebagian lagi dijual lebih cepat oleh para peternak.
Berbeda dengan babi, harga daging sapi di Pulau Dewata relatif selalu stabil.
• Soal Usulan Bagi-bagi Bibit Babi Gratis di Bali Karena Langka, PHMI: Lebih Baik BLT untuk Peternak
Kondisi ini disebabkan karena keberadaan sapi di Bali mencukupi, sedangkan masyarakat tidak banyak yang mengonsumsinya.
"Kalau di Bali saat ini daging sapi itu masih normal karena kita tahu kan konsumsi daging sapi di Bali tidak banyak," kata Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, Anak Agung Istri Intan Wiradewi di kantornya.
Di sisi lain, pasokan daging sapi di Bali sangat mencukupi, sehingga harganya masih tetap di sekitar Rp 100 ribuan.
Meskipun harga di daerah lain serta Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta naik, harga daging sapi di Bali tetap stabil.
"Astungkara stabil, karena kan pasokan kita cukup. Karena kan lagi ke hukum pasar, ketersediaan sama permintaan.
Berbeda dengan babi ya, walaupun perlahan (naiknya) tetap dia masih tinggi," kata Intan.
PHMI Usulkan BLT untuk Peternak
Perkumpulan Peternak Hewan Monogastrik Indonesia (PHMI) angkat suara mengenai efektivitas berkaitan dengan usulan bantuan bibit babi gratis bagi para peternak akibat kelangkaan yang melanda di Bali.
Sekretaris PHMI Putu Ria Wijayanti mengatakan, pembagian bibit babi gratis harus dikaji dari sisi efisiensi
Menurutnya, usulan pembagian bibit gratis dirasa kurang efektif bagi para peternak.
"Dari pada Bapak Ibu Pimpinan membagikan bibit babi gratis, lebih baik kasih BLT (Bantuan Langsung Tunai) untuk peternak sebagai subsudi harga pakan yang terus melambung, atau bantuan beli babi ke peternak untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat pada saat hari raya," kata Ria kepada Tribun Bali, Selasa 2 Februari 2021.
• Babi Bali Biasanya Dipasarkan hingga Jakarta, Kini Langka di Bali, Berikut Ini Fakta-faktanya
Menurut Ria, menyebarkan bibit babi gratis hanya akan menyuburkan peternak musiman.
"Justru ini akan sangat merugikan buat mereka yang memang berprofesi sebagai peternak," ujar dia.
Peternak musiman mengandalkan bibit gratis biasanya tidak keberatan babi dibeli murah karena tidak ada biaya pembelian bibit.
"Kondisi ini mohon dipahami, jangan sampai bantuan Bapak Ibu menjadi racun yang justru mematikan peternak sendiri," ujarnya.
Seperti diketahui, bahwa populasi babi mengalami penurunan karena wabah.
Akibatnya ketersediaan babi menipis dan harga melambung.
Karena harga melambung orang pun ingin memelihara.
"Mulailah orang berbondong bondong membeli bibit, karena bibit terbatas, harga bibit pun naik. Yang pengen beternak jadi kesulitan," sebutnya.
Untuk solusinya, apabila pemerintah membagikan bibit babi gratis harus dipahami bahwa di Bali saja sekarang bibit susah dan mahal.
"Waktu harga bibit murah, lebih murah dari pada harga sandal jepit. Kok tidak diborong saja ? Terus bagi-bagi bibit gratis untuk masyarakat. Masyarakat terbantu, peternak tertolong. Lah sekarang, giliran bibitnya mahal malah mau beli trus dibagi-bagi gratis ?," paparnya
• Peternak Babi di Bali Menjerit, Harga 1 Ekor Sampai Rp 1 Jutaan, Bibit Babi Makin Langka dan Mahal
"Anggap saja program itu berjalan. Bibit dari luar kemudian didatangkan, populasi meledak, lalu harga babi jatuh, apakah pemerintah mau menanggung kerugian peternak ?" tanya Ria.
Hal inilah yang harus dipikirkan pemerintah.
"Ini yang saya bilang jangan sampai Bapak Ibu Pimpinan ambil, kebijakan manis manis bikin kencing manis, bukannya kami tidak tau diri, mau dikasih bantuan kok menolak. Atau ingin untung sendiri tidak mau bagi bagi peluang pada yang lain," ujar dia
"Selama bantuannya tidak tepat sasaran, yang malah membuat jalan kami di depan malah makin berat. Tentu kami menolak," sebutnya.
Sebab jika ingin membentuk ekonomi yang kuat melalui sektor peternak babi jangan sampai muncul peternak karbitan.
"Digoyang isu sedikit, langsung jual ternak murah. Digoyang iklan sepeda motor terbaru, langsung buka diskon besar-besaran. Yang akan rugi adalah mereka yang betul betul beternak demi ekonomi keluarga," tegasnya.
Lanjut dia, bahwa masyarakat Bali sudah babak belur di sektor pariwisata. Masyarakat mau tidak mau harus berpikir bagaimana caranya bertahan hidup.
Sektor yang masih bisa dibuat bertahan hidup terutama bagi mereka yang harus kembali ke desa adalah Pertanian dan Peternakan.
"Kalau sektor ini masih diobrak-abrik dengan kebijakan "cari selamat sesaat" dan digorang goreng dengan isu-isu penyakit atau virus yang bikin orang malas jadi peternak atau petani, lalu kita mau bagaimana lagi?," kata dia.
"Bibit babi gratis, agar bisa turunkan harga babi. Setelah turun peternak menjerit," pungkas dia.
• Soal Babi yang Langka di Pasaran, DPRD Bali Minta Pemprov Bagikan Bibit Gratis
Dewan Minta Bagikan Bibit Gratis
Sebelumnya diwartakan Tribun Bali, Populasi babi Bali menurun hingga 42,31 persen.
Hal ini dikarenakan babi Bali sempat mengalami suspect African Swine Fever (ASF).
Akibatnya, harga bibit dan daging babi menjadi melonjak di pasaran.
Terkait hal tersebut, Wakil Ketua DPRD Bali, Nyoman Sugawa Korry ikut angkat bicara.
Ia meminta Gubernur Bali melalui Dinas Petrtanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali merancang program untuk menyiapkan dan memberikan bibit babi ke para peternak
“Jadi kenaikan harga babi itu tidak lepas dari kelangkaan stok, karena sebelumnya terjadi wabah penyakit babi itu, untuk itu kami berharap segera pemerintah, Gubernur melalui dinas peternakan ini merancang sebuah program yang memberikan dan menyiapkan bibit kepada para peternak, terutama usaha ternak babi di masyarakat,” katanya, Senin 1 februari 2021.
Selain itu, Ketua DPD I Golkar Bali ini menyebut jika pemerintah sigap dalam penaggulangan wabah tersebut.
Pasalnya, menurut dirinya Pemerintah dinilai kurang sigap dalam penanggulangan wabah tersebut.
“Disamping itu juga upaya penanggulangan ini juga, penanggulangan wabah itu agar segera diantisipasi,” terangnya.
Bahkan, ia menyebut akan memperjuangkan di APBD Perubahan 2021 agar terkait program penyediaan bibit tersebut.
“Ya itu saya dorong di anggaran perubahan, untuk menyiapkan program itu, saya banyak mendapat aduan dari para peternak babi di bawah,” ucapnya.
Seperti diberitakan, populasi babi Bali menurun hingga 42,31 persen.
Hal ini dikarenakan babi Bali sempat mengalami suspect African Swine Fever (ASF).
Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, Anak Agung Istri Intan Wiradewi mengatakan, populasi babi pada tahun 2019 mencapai 690.378 ekor.
Jumlah babi kemudian turun menjadi 398.291 ekor pada tahun berikutnya.
"Populasi babi kita memang menurun. Menurun dari tahun 2019 ke 2020 itu menurun 42 persen.
Kenapa, karena dari akhir tahun 2019 ke 2020 kemarin ada wabah penyakit yang menyebabkan babi itu menurun," kata Intan saat ditemui di kantornya, Senin 1 Februari 2021.
Menurutnya, penurunan populasi babi ini sebagian memang mati karena terserang ASF dan sebagian lagi dijual cepat oleh para peternak.
Para peternak menjual babinya lebih cepat dikarenakan takut mati sehingga dapat menyebabkan kerugian yang lebih banyak.
"Sebagian memang iya kena penyakit. Sebagian lagi karena dijual oleh peternak karena takut babinya mati, jadinya dijual. Dijual sebelum sakit lah.
Itu yang menyebabkan populasi babi kita turun 42 persen," kata Intan.
Akibat penurunan populasi ini, ketersediaan daging babi di pasaran menurun sejak akhir tahun 2020.
Sesuai hukum pasar, ketersediaan daging babi yang tipis di pasaran membuat harganya melambung tinggi.
Terlebih peternak kini meminimalisir pemotongan babi betina dalam jumlah yang banyak karena dikembangkan sebagai indukan baru.
"Ini juga mempengaruhi. Misalnya peternak punya anak babi 10, yang bagus itu masih dia pakai buat indukan baru lagi.
Sementara yang lima dipakai indukan, yang lima (sisanya) baru dibesarkan untuk dipotong.
Ini yang penyebab jumlahnya (daging babi) di pasaran berkurang," jelas Intan.
Intan mengatakan, harga daging babi saat ini sudah menembus di Rp 90 ribuan.
Kenaikan harga ini merangkak sedikit demi sedikit sejak triwulan ke-4 tahun 2020.
"Jadi naiknya bukan tiba-tiba melonjak menjadi Rp 90 ribu perlahan dari Rp 60 ribu, Rp 65 ribu, (dan) Rp 70 ribu.
Begitu terus merangkak naik menjadi sekitar di angka Rp 90 ribuan. Jadi endak tiba-tiba naik, pelan dia naiknya," tuturnya.
Tak hanya daging, kenaikan juga dialami pada bibit babi.
Kondisi ini dikarenakan para peternak masih menggunakan bibitnya untuk keperluan sendiri guna memperbanyak indukan.
Sehingga bibit yang dilempar para peternak ke pasar menjadi berkurang.
Padahal, permintaan bibit babi di Bali sudah mulai meningkat saat ini.
Hal ini disebabkan karena petani yang awalnya takut memelihara babi akibat ASF, kini mereka mulai mencoba memelihara lagi.
"Rumah-rumah tangga yang dulu memelihara satu dua ekor, (sudah) pengen memelihara lagi. Ya ini jadi kan permintaan bibit banyak.
Sementara produksi dan indukan kita memang masih sedikit, dari peternak masih membuat indukan buat mereka sendiri. Jadi yang dilempar ke pasaran sedikit," kata dia.
Intan memperkirakan, harga bibit babi di pasaran saat ini lebih dari Rp 1 juta per ekor.
Harga ini tidak serta-merta bisa diturunkan mengingat perlu proses yang cukup panjang.
"Nah ini kan kaitannya dengan makhluk hidup ya babi, restocking itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Kita memang butuh waktu untuk itu. Butuh waktu gimana kita bisa menciptakan bibit, kan itu butuh dari indukan yang ada.
Jadi ya tidak banyak yang bisa kita lakukan selain menunggu proses ini secara alami. Karena kan tidak bisa di-cloning atau apa," tuturnya.
Sejauh ini Bali belum mengambil keputusan untuk mengambil bibit babi dari daerah luar karena alasan kesehatan.
Ada beberapa penyakit yang ada di daerah luar namun tidak ada di Bali.
Jika babi di Bali sudah terjangkit suatu penyakit maka akan sangat sulit untuk dibersihkan.
"Jadi memasukkan dari luar Bali iya harus betul-betul selektif. Jangan sampai ini membawa penyakit lagi malah menjadi masalah buat kita.
Jadi kalau ada pemasukan babi dari luar, tentu akan dikaji dari daerah mana.
Artinya kemungkinan itu ada asalkan akan dikaji dari teman-teman di bidang keswan dari daerah mana yang diizinkan," terangnya.
Selama ini, bahkan dalam kondisi normal, memang belum ada babi dari luar daerah yang didatangkan ke Pulau Dewata.
Namun babi Bali sendiri telah dipasarkan ke sejumlah daerah, seperti Jakarta dan Surabaya.
Namun pemasaran ini lebih banyak pada babi potong.(*)
