Sejarah Etnis Tionghoa di Kawasan Gajah Mada Denpasar, Datang Saat Masa Penjajahan Belanda
Hampir 101 tahun etnis Tionghoa telah menempati wilayah sekitaran Jalan Gajah Mada Denpasar, Bali.
Penulis: Putu Supartika | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Hampir 101 tahun etnis Tionghoa telah menempati wilayah sekitaran Jalan Gajah Mada Denpasar, Bali.
Mereka berkembang dan bertumbuh melewati masa pasang surut juga di wilayah ini.
Ada tiga suku besar dari etnis Tionghoa yang menempati kawasan ini yakni Suku Kek atau Hakka, Suku Hokkian, dan Suku Tiociu.
• Analisis I Dewa Gede Windhu, Masuknya Etnis Tionghoa ke Bali, Dari Pelinggih hingga Permainan Ceki
• LIPSUS IMLEK: Etnis Tionghoa di Kawasan Gajah Mada Denpasar, Toko Bhineka Djaja Jadi Bukti Sejarah
• 5 Mitos Pernikahan Tionghoa yang Tak Boleh Dilanggar agar Enteng Jodoh
Dalam lipsus Imlek kali ini, Tribun Bali merangkum tentang etnis Tionghoa yang hampir ratusan tahun menempati kawasan Gajah Mada.
Diperkirakan, mereka telah datang dan menempati kawasan Jalan Gajah Mada sekitar tahun 1920-an pada masa penjajahan Belanda.
Menurut penuturan salah seorang warga etnis Tionghoa, Sujadi Prasetio atau Tio Sing Khoei (87) etnis Tionghoa yang menetap di Gajah Mada dulunya datang dari Lombok.
Setelah itu beberapa dari mereka merantau dan menempati wilayah Kuta, Badung.
Dari Kuta inilah mereka kemudian mulai datang ke kawasan Gajah Mada termasuk Jalan Kartini hingga ke Jalan Gunung Agung Denpasar.
“Waktu tahun 1920-an awal saya kira di Denpasar ini belum berkembang betul (etnis Tionghoa). Orangtua saya itu di Lombok dulu membuat pabrik beras di sana. Di seputaran Gajah Mada waktu itu masih alang-alang,” kata Tio yang ditemui di kediamannya Jalan Kartini Gang II, Denpasar Rabu 10 Februari 2001 kemarin.
Saat masa awal, kebanyakan etnis Tionghoa yang menempati Gajah Mada kebanyakan suku Tiociu yang berasal dari Provinsi Guangsong.
“Awalnya di Gajah Mada banyak tukang sepatu, tukang gigi, tukang kayu, kemudian baru ada palen-palen. Dulu Gajah Mada belum begini, sederhana, semua seng, di rumah saya semua seng dulu dan sengnya bertahan lama sampai ratusan tahun,” katanya.
Bahkan menurutnya, dulu Jalan Gajah Mada belum bernama Gajah Mada.
Akan tetapi sampai saat ini masih belum ditemukan apa nama kawasan tersebut.
“Sudah saya tanya yang tua, belum juga ada yang tahu. Setelah berkembang baru namanya Gajah Mada,” katanya.