Kenali Masturbasi Pada Anak yang Menginjak Usia Pubertas

Jika pada orang dewasa yang sudah biasa berhubungan seksual mungkin tidak perlu lagi masturbasi.

freepik
Ilustrasi pasangan - Kenali Masturbasi Pada Anak yang Menginjak Usia Pubertas 

Laporan Wartawan, Ni Luh Putu Wahyuni Sri Utami

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Masturbasi adalah pilihan sebuah aktivitas seksual.

Jadi tidak ada maksimal atau minimal ketika seseorang melakukannya.

Jika pada orang dewasa yang sudah biasa berhubungan seksual mungkin tidak perlu lagi masturbasi.

Tapi dalam situasi tertentu misalkan ketika sedang berjauhan dengan pasangan atau mau menemukan variasi gaya baru dengan pasangannya.

Baca juga: Mitos tentang Masturbasi, Kenali Efek Sampingnya: Dari Lecet, Kecanduan hingga Merasa Bersalah

Baca juga: Reporter Harian Terkemuka di Amerika Ini Terpaksa Disanksi Setelah Masturbasi Saat Panggilan Zoom

Baca juga: Sering Masturbasi Sebabkan Persendian Lutut Keropos, Mitos atau Fakta? Ini Penjelasan Dokter Bagus

dr. Made Oka Negara, M.Biomed selaku dosen FK Udayana yang juga selaku Ketua Asosiasi Seksologi Indonesia Cabang Denpasar berikan penjelasan terkait masturbasi pada Tribun Bali, Minggu 14 Februari 2021.

"Jadi pilihannya macam-macam bagi pasangan dewasa yang sudah resmi. Namun bagi orang yang belum menikah, belum memiliki pasangan dan sudah mempunyai dorongan seksual, sebenarnya ada fase-fase perkembangan seksual. Ada namanya fase oral, fase phalic dan fase genital. Fase genital itu merupakan dimana laki-laki dan perempuan merasakan daerah pada kelaminnya merupakan daerah yang menyenangkan, karena pusat dari kepuasan dan kesenangan seksual ada pada kelamin," katanya.

Fase genital akan memasuki manusia pada umumnya ketika berumur 11 atau 12 tahun ke atas hingga umurnya sudah senja.

Jadi memasuki fase genital ini orang-orang akan merasakan daerah peka rangsangannya ada pada daerah genital atau kelaminnya.

Dan ketika manusia sudah memasuki masa pubertas secara biologis termasuk pada emosi dan keterampilan sosialnya sudah memandang bahwa dirinya memiliki dorongan seksual.

"Maka dari itu jika ada sentuhan seksual sedikit saja ia sudah merasa terangsang. Dan bisa saja belum diberikan edukasi seksual yang cukup untuk mengatasi dorongan seksual. Misalnya pada anak yang tinggal bersama dengan orangtuanya dalam rumah yang ukurannya satu petak, dan ketika anak masih kecil tak sengaja ia melihat kedua orangtuanya sedang berhubungan seksual," sambungnya.

Disana lah akan memberikan suatu stimulus pada anak yang nantinya akan mengartikan bahwa terdapat kontak pada kelamin, dan ketika ia sudah pubertas ia akan menyadari bahwa apa yang dilakukan oleh orangtuanya adalah merupakan hubungan seksual.

Sehingga anak akan berpikir bahwa orangtuanya telah berani melakukan hal tersebut didepannya dan akan membuat daya kontrolnya akan lemah.

Dibandingkan dengan yang tidak menonton serta diedukasi sejak dini oleh orangtuanya.

Dari dua alasan ini akhirnya menjadikan ketika ada dorongan seksual pada laki-laki membuatnya menonton film dewasa, atau ketika sedang melihat perempuan menggunakan baju yang agak ketat stimulus atau dorongan seksualnya sudah muncul pada remaja yang sudah pubertas ini.

"Dikarenakan ada stimulus yang muncul ini, terdapat tiga hal yang dapat dipacu. Salah satunya, tetap ia memberhentikan dorongan seksualnya karena dia sanggup. Yang kedua mungkin saja karena terbuka dan melihat peluang ia sudah melakukan aktivitas seksual. Dan yang ketiga akan melakukan masturbasi," ujarnya.

Dan perilaku untuk memenuhi dorongan seksual sendiri merupakan perilaku masturbasi.

Jika pada laki-laki biasanya melakukan masturbasi dengan mengocokkan alat kelaminnya ketika ereksi hingga mengalami ejakulasi.

Sedangkan pada perempuan ketika dorongan seksual muncul biasanya akan melakukan perangsangan pada kelaminnya dengan menggunakan jarinya atau benda-benda yang menstimulus kelamin.

"Dan sebenarnya pada masturbasi tidak ada maksimal dan minimal yang terpenting adalah tidak dilakukan secara berlebihan. Karena masturbasi dilakukan lebih banyak pada orang yang belum menikah, seperti masih mengenyam pendidikan yang artinya mereka masih mengemban tugas dan belajar. Artinya kalau misalnya pendidikan terganggu akibat terlalu sering masturbasi tentu saja akan berdampak pada anak tersebut ketika sedang belajar," terangnya.

Kalau dikatakan minimal berapa kali melakukan masturbasi, dapat dikatakan minimal artinya apakah ia merasa wajar-wajar saja jika melakukannya hanya satu atau dua kali dalam seminggu.

Yang artinya ketika dorongan seksual muncul akan dieksekusi dengan wajar dan dilakukan dengan masturbasi lalu dilakukan selama satu hingga dua kali dalam seminggu dan hal tersebut tidak masalah.

Atau bahkan sampai ia tidak melakukan masturbasi pun tidak masalah.

Itu artinya secara normal nantinya akan terdapat dorongan seksualnya ketika saat ini belum ada kesempatannya.

"Mungkin dikarenakan sedang fokus belajar, dan nantinya secara alamiah dorongan seksualnya akan muncul stimulus untuk melakukan hubungan seksual. Dan secara biologis jika melakukan masturbasi ketika SMP itu merupakan hal yang wajar-wajar saja," pungkasnya. (*).

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved