Berita Bali
Presiden Cabut Aturan Soal Investasi Miras, Penjual Arak: Diibaratkan Pisau Berbelati Dua
Pemerintah memutuskan untuk mencabut aturan mengenai investasi industri minuman keras yang tercantum dalam lampiran Peraturan Presiden (Perpres)
Penulis: Zaenal Nur Arifin | Editor: Wema Satya Dinata
Laporan Wartawan Tribun Bali, Zaenal Nur Arifin
TRIBUN BALI.COM, DENPASAR - Pemerintah memutuskan untuk mencabut aturan mengenai investasi industri minuman keras (Miras) yang tercantum dalam lampiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
Keputusan ini disampaikan Presiden Joko Widodo, pada hari Selasa 2 Maret 2021 dalam keterangan pers yang disiarkan langsung secara streaming melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden.
Lantas, bagaimana tanggapan penjual arak terkait dicabutnya Perpres tersebut?
Pemilik warung Pan Tantri di Sanur, I Kadek Darma Apriana (36) merasa was-was dan serba salah.
Baca juga: Dewan Bali Hormati Keputusan Jokowi Soal Pencabutan Perpres Investasi Miras
"Arahnya kami bingung dan kami merasa takut serta was-was ketika itu dicabut.
Diibaratkan pisau berbelati dua, ilegal kami masalah. Legal kami masalah juga," ungkapnya saat ditemui tribunbali.com.
Lebih lanjut Darma Apriana berharap ada aturan yang melindungi pengusaha kecil baik warung penjual arak maupun pengusaha arak itu sendiri.
"Ketika Bapak Presiden mencabut pelegelan investasi industri minuman keras, yang kami harapkan sebagai penjual arak dan petani arak ada Undang-undang yang melindungi kami pengusaha dan penjual arak Bali yang merupakan minuman tradisional khas Bali.
Semoga bisa menerbitkan aturan yang melindungi kami sebagai warunh yang menjual arak yang melestarikan budaya kami," jelasnya.
Tetapi saat Perpres tersebut tidak dicabut, akan menjadi dimanfaatkan investor dengan membuat pabrik arak besar legal dan memenuhi semua persyaratan akan mematikan usaha kecil petani arak kita yang sudah ada.
Lebih lanjut, Darma Apriana berharap Peraturan Gubernur Bali No 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali harus memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP-MB), ketika tidak memiliki SIUP-MB akan terpidana langsung.
"Yang kami harapkan ketika kami sebagai penjual arak, ketika kami tidak memiliki SIUP-MB agar keberadaan kami selalu di-tipiring (tindakan pidana ringan).
Fungsi dari tipiring itu sebagai yang mengawasi kami untuk kami sebagai pelakon-pelakon arak selalu menjaga kualitasnya," harapnya.
Ketika arak Bali dilegalkan dan dikenakan bea cukai, cukainya lebih mahal dibandingkan minuman keras jenis lainnya yang beredar di Bali cukainya lebih mahal.
Baca juga: Arak Tradisional Legal, Pelaku Pariwisata di Bali Apresiasi Terbitnya Perpres No.10 Tahun 2021
Sebelumnya warung Pan Tantri sudah sempat mengurus SIUP-MB namun dalam prosesnya kami dimintai ke petani arak kami untuk mengurus koperasi, dan membuat sebuah pabrik arak lebih besar.
"Yang jadi kendala ketika kami harus memiliki koperasi dan mempunyai pabrik serta mengurus bea cukai dan BPOM.
Kami tidak bisa menjual dengan harga sekarang ini yang dapat dijangkau masyarakat ekonomi ke bawah.
Jika dihitung-hitung kami harus menjual arak diatas Rp 100 ribu, artinya pangsa pasar kami yang sekarang tidak dapat menjangkau nya karena berubah harganya," paparnya.
Sebelumnya Perpres Nomor 10/2021 itu terbit pada 2 Februari 2021 sebagai peraturan turunan UU Cipta Kerja.
Perpres Nomor 10/2021 itu memang tidak mengatur khusus miras melainkan soal penanaman modal.
Namun, disebutkan dalam beleid tersebut bahwa industri miras di daerah tertentu di Indonesia, yakni Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua.
Presiden Jokowi menyebut keputusan itu ia ambil setelah mendengar berbagai masukan.
"Setelah menerima masukan-masukan dari ulama-ulama MUI, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan ormas-ormas lainnya serta tokoh-tokoh agama lain serta juga masukan-masukan dari provinsi dan daerah," ungkap Presiden.
Lampiran III Perpres Nomor 10/2021 menyebutkan investasi miras hanya diperbolehkan di Provinsi Bali, NTT, Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya dan kearifan setempat.
Baca juga: Begini Tanggapan MUI, PBNU dan Muhammadiyah Soal Perpres Miras di Bali dan 3 Provinsi Lain
Tapi penamanan modal untuk industri di luar daerah-daerah tersebut dapat dilakukan bila ditetapkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal berdasarkan usulan gubernur.
Hal tersebut termuat dalam Lampiran III angka 31 dan angka 32 huruf a dan b.(*)