Serba Serbi

Ini Makna Penjor dan Rangkaian Perayaan Hari Suci Galungan Dalam Hindu Bali

Galungan sebagai satu diantara hari raya besar, dalam Hindu Bali sebentar lagi akan dirayakan. Tepatnya pada Buda Kliwon Dungulan

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Tribun Bali / Rizal Fanany
ilustrasi-penjor. Ini Makna Penjor dan Rangkaian Perayaan Hari Suci Galungan Dalam Hindu Bali 

Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Galungan sebagai satu diantara hari raya besar, dalam Hindu Bali sebentar lagi akan dirayakan. Tepatnya pada Buda Kliwon Dungulan, tanggal 14 April 2021.

Sehari sebelum hari raya Galungan, adalah penampahan Galungan. Dan sehari setelahnya adalah manis Galungan.

Lalu apa makna Galungan, filosofi dan sarana upakara (bebantenan) yang harus disiapkan.

Berikut penjelasan Jero Mangku Ketut Maliarsa, kepada Tribun Bali, Jumat 9 April 2021.

Baca juga: Empat Hari Jelang Hari Raya Galungan, Kondisi Pelabuhan Sanur Denpasar Masih Lengang

“Inti Galungan ataupun perayaan suci lainnya, adalah melakukan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, berterimakasih atas karunia beliau selama ini,” jelas pemangku asli Bon Dalem ini.

Sehingga harus didasari oleh ketulusan, keikhlasan, kepercayaan, dan dasar kesucian dalam menjalankannya. Sehingga mendapatkan anugerah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Galungan di Bali, sejak dahulu kala memang sudah dikenal meriah dan dirayakan di seluruh pelosok Pulau Dewata.

Bahkan setiap perayaan hari raya yang jatuh enam bulan sekali ini, dipastikan merupakan hari libur.

Sehingga umat Hindu bisa khusyuk melakukan persembahan dan persembahyangan. Namun perlu digarisbawahi, kata dia, bahwa Galungan bukan ajang pesta pora.

“Sebab saat hari raya ini, umat Hindu malah seharusnya mampu mengendalikan diri. Melakukan penyucian diri, berbuat kebajikan, kegiatan mulia, bahkan beramal (dana punia),” sebutnya.

Kemudian melakukan pemujaan kepada ida bhatara-bhatari, dewa-dewi, dan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Melakukan yadnya yang tulus ikhlas, silaturahmi dengan keluarga, saling memaafkan dan menerapkan sifat bijaksana lainnya.

Sehingga segala sifat dan perilaku buruk, dapat dikendalikan dengan baik.

Setiap Galungan, selain sembahyang di pamerajan, masyarakat Hindu juga melakukan persembahyangan di Pura Kahyangan Tiga, kawitan, kahyangan jagat, dan sebagainya.

Baca juga: Jelang Galungan 2021, Penjual Hiasan Penjor di Kapal Badung Bali Mulai Diserbu Warga

Mengunjungi tempat-tempat suci, dimana ida Tuhan dan manifestasinya berstana.

Menghaturkan banten sebagai rasa terimakasih dan syukur kepada beliau.

Beberapa banten, yang biasa dihaturkan saat Galungan adalah sodahan, banten kurenan, punjung, penyeneng, rayunan, dapetan, geboban, dan lain sebagainya.

“Hal inipun disesuaikan dengan kemampuan masing-masing umat Hindu,” jelasnya.

 Sehingga yadnya itu tidak memberatkan, namun dilakukan dengan ikhlas.

Ia menjelaskan, banten ini memiliki simbolnya masing-masing. Seperti banten panyeneng sebagai simbol lingga, yang memiliki filosofi wujud Tuhan.

 Kemudian banten kurenan sebagai simbol penyatuan semua anggota keluarga guna memuliakan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Gebogan sebagai simbol anugerah yang melimpah, sehingga diharapkan rezeki akan hadir nantinya.

Rayunan sebagai wujud bakti, dengan mempersembahkan boga (makanan) sebagai sumber kehidupan umat manusia. Lalu banten punjung, sebagai simbol kekerabatan umat Hindu terhadap semua manifestasi Tuhan.

“Untuk itu, semua tempat suci disuguhi banten punjung,” jelasnya.

Baca juga: Galungan Sebentar Lagi, Apa Esensinya Dalam Ajaran Hindu Bali

Lalu ciri khas lainnya dari perayaan Galungan adalah adanya penjor. Yang diletakkan di depan rumah atau biasa disebut lebuh (pintu masuk).

Ini adalah sebagai wujud umat Hindu menegakkan kebenaran sejati. Sebab hanya kebenaran Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang abadi.

Untuk itu, isian penjor berupa hasil alam yang melimpah sebagai simbol alam semesta (bhuana agung). Dan rasa terimakasih manusia kepada alam semesta atas segala pemberiannya.

Pemangku Pura Campuhan Windhu Segara ini, menjelaskan kelapa pada penjor sebagai simbol alam. Pala gantung sebagai simbol isi dari alam. Pala bungkah juga simbol isi dari alam semesta ini. Wastra atau kain putih kuning, sebagai simbol persembahan yang tulus ikhlas dan suci kepada Tuhan.

Masih banyak lagi eteh-eteh banten atau upakara, yang tidak bisa ia sebutkan satu per satu.

Galungan selama ini, dikenal sebagai simbol menangnya Dharma (kebenaran) melawan Adharma (ketidakbenaran).

“Dharma itu berasal dari akar kata ‘dh’ yang artinya menyangga dunia ini serta segenap ciptanNya,” sebut Jero Mangku Ketut Maliarsa.

Baik dari bhuana agung hingga bhuana alit. Oleh karena itu, pelaksanaan Dharma artinya adalah mengenal kembali hal tersebut.

Dimana segalanya adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Dharma lah yang menopang dunia ini, dan memberi kesejahteraan pada manusia juga adalah Dharma.

Kemudian Dharma membawa menuju kebahagiaan abadi dan kekal. Dharma berasal dari Tuhan dan menuntun ke jalan Tuhan.

 “Bisa juga Dharma adalah alat atau sarana menuju ke alam Tuhan,” katanya.

Menuju apa yang dicita-citakan umat manusia yaitu moksa. (*)

Artikel lainnya di Serba Serbi

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved